38. Lion Girl

109 17 7
                                    

Tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hal pertama yang langsung menarik perhatian Jeiden begitu memasuki kelas adalah bangku Chaerra di bagian paling depan. Pemuda itu datang lebih awal dari kemarin, tapi tetap saja begitu memasuki kelas suasana sudah begitu ramai terutama dari pojok belakang. Haikal, Rendra, William, Hadi, Yoga, Senya, dan Eli sudah duduk berjejer lesehan di lantai saling berteriak entah membahas apa. Jeiden yang semula tak berniat bergabung jadi berjalan mendekat mendapati bangku Chaerra yang hanya dihuni oleh tas biru tuanya.

“Yang lain mana, Nya?”

Senya yang semula sudah sibuk menabrak-nabrakkan sisi tubuhnya ke arah Haikal sebal jadi menoleh. ”Gak ke mana-mana, nih di sini semua,” jawab gadis itu menunjuk orang-orang dengan dagu.

”Maksud gue yang gak ada di sini.”

”Ya berarti belum di sini. Gimana sih lo?” jawab Senya menoleh malas.

Jeiden jadi ikut malas sendiri, menoleh ke sisi lain di mana Eli tengah mendongak menyimak keduanya. ”Yang lain mana, El?”

”Xafier?” tanya Eli menduga karena kerap kali pemuda di hadapannya itu merusuh pada Xafier. ”Belum berangkat kayaknya, dia sering bareng Soni.”

Haikal yang semula fokus menggerakkan jari-jemari jadi ikut melirik. ”Lo tanya to the point tuh apa gak bisa?”

”Ya udah, yang lain ke mana?” ujar Jeiden cepat pada akhirnya ke arah Haikal menyerah sendiri.

”Chaerul?”

Suara kekehan dari yang lain segera terdengar menyahut. Hadi dan Rendra langsung terbahak walau dengan mata yang mencoba fokus pada ponsel masing-masing. William dan Yoga juga tak mampu menahah bibir untuk tak tertarik, masih saja merasa lucu pada drama salah kirim yang sudah terjadi tiga hari lalu.

Wajah menggoda dan songong Haikal membuat Jeiden yang sudah berusaha menahan rasa kesal akibat tak segera mendapatkan jawavan yang ia inginkan jadi mengumpat kecil, melepaskan tas hitamnya untuk ia lempar tepat ke wajah cowok sawo matang itu. Padahal sudah berkali-kali Haikal memancingnya, tapi masih juga Jeiden terjerat pada pemuda itu.

”Chaerul tuh siapa sih?” tanya Senya serius. ”Chaerul Anwar? Penulis itu?”

Haikal yang sudah tertawa kecil jadi menoleh sinis. ”Chairil anjir. Lo kalau pelajaran puisi jangan tidur makannya. Goblok banget.”

”Gue gak tau makannya tanya!”

Tubuh mungil Senya sudah akan berdiri, bersiap menabrak lengan Haikal semakin kencang. Tangan Jeiden menyelak, menarik kembali tubuh mungil itu untuk duduk dengan tenang. Tapi begitu berhasil membuat Senya kembali mundur, ia yang giliran maju, langsung mengapit leher Haikal kencang dengan cepat membuat cowok itu memekik terkejut.

”Dari kemarin gue biarin aja makin jadi ya mulut lo!”

”Cekik Jei cekik, cekik sampai mampus!” sorak Senya sudah melemparkan ponselnya pada Eli, mengangkat kedua tangannya sembari mengepal heboh.

”Anj-” Haikal tersedak ludah yang tak bisa ia telan dengan benar, memberontak sembari menarik-narik seragam Rendra mencari pertolongan. ”Jeiden bangsat!”

Rendra dibuat makin terbehak, menampar-nampar tangan Haikal yang sudah merauk lengan seragamnya. Tubuh mungil pemuda itu jadi bergerak berdiri, beranjak dengan kekehan puas. ”Hidup bareng, tapi kalau mati kita urus masing-masing ya, Kal.”

”WOI JEI!”

Panggilan keras dari pintu membuat seluruh orang yang tengah ramai di belakang itu terkejut bersamaan, langsung diam untuk melongok ke sumber suara. Jeiden yang sudah menekan leher Haikal di sikunya juga ikut melepaskan diri, bangun karena namanya dipanggil kencang. Pemuda itu mengangkat dagu, melemparkan pandangan bertanya pada Bisma dan beberapa komplotan IPS.

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang