Suara ketukan pintu pelan membuat Jeiden memutar kursinya, menatap pintu putih kamarnya menunggu siapa yang datang. Mata pemuda itu rasanya sudah berair karena sejak tadi hanya fokus pada satu titik komputer, memeriksa file-file yang dikirimkan oleh sang kakak sepupu supaya dapat mendapatkan tiket yang ia inginkan. Kepalanya rasanya sudah berputar, minta diistirahatkan yang memberikan efek layaknya kurang darah.
”Ayah masuk.”
Begitu suara aba-aba itu terdengar, Jeiden kembali membalik kursi ke arah komputer. Ia benar-benar leboh rela matanya perih akibat cahaya biru daripada perih akibat menghadapi sosok laki-laki tegap yang sudah ia coba hindari beberapa minggu terakhir ini. Jeiden bahkan tak ingat kapan terakhir kali mereka bicara? Dua minggu? Tiga minggu? Tragedi dengan Chaerra meledakkan amarahnya begitu saja, membuat pemuda itu jadi punya keberanian untuk melakukan segala pemberontakannya sekarang ini.
”Lagi sibuk?”
Itu adalah nada suara paling lembut yang pernah Jeiden ingat selama 18 tahun hidupnya. Selain nada suara tak menyenangkan yang terus masuk ke dalam indra pendengaran Jeiden, hampir tak ada suara apapun. Pemuda itu bergumam, tak menoleh sama sekali walau ujung matanya dapat menangkap tubuh tegap sang ayah dengan pakaian santai sudah mengambil tempat di bagian sisi ranjang yang paling dekat dengan Jeiden.
”Ayah mau ngomong sama kamu.”
”Ngomong aja,” balas Jeiden ringan, benar-benar mencoba tak peduli, ”aku dengerin.”
”Kamu sesayang itu sama Chaerra sampai berani nunjukin sikap kayak gini? Berani perang dingin sama Ayah? Bahkan sampai hampir lebih dari satu bulan?”
Ekspresi wajah tenang Jeiden sedikit mengerut, tapi berikutnya kembali menunjukkan raut biasa dengan sedikit melirik. ”Kalau aku bilang iya, Ayah bakal berhenti ngurusin kehidupan percintaan aku?”
Suara helaan nafas terdengar berat, dengan bahu lebar dari sosok laki-laki yang selalu Jeiden kenal begitu dingin itu menurun pelan. Saat menggerakkan kepala serius pada sang ayah, pemuda itu tau ekspresi itu sangat berbeda. Entah kenapa jadi menunjukkan jelas sebuah keputusasaan dan frustasi sendiri. Apa dengan cara ia memberantas dan balas bersikap tak kalah dingin seperti ini berhasil?
”Kamu udah ngapain aja sama Chaerra?”
”Chaerra?” Suara Jeiden jelas terdengar sedikit terkejut. ”Wah, Ayah nyebut nama itu lagi?”
”Ayah tanya serius, kamu udah ngapain aja?” ulang Sean jadi berubah tajam.
Kepala Jeiden sedikit bergerak miring, entah kenapa jadi merasa congkak dengan senyum tipis. ”Tidur,” jawab pemuda itu ringan tanpa beban.
”Tidur?”
”And having sex,“ lanjutnya dengan senyum semakin mengembang puas, ”Ayah juga pernah muda kan. Aku yakin Ayah pasti paham.”
Lagi dan lagi suara helaan nafas terdengar, kali ini disertai dengan mata Sean yang sudah terpejam dengan tangan memijit masing-masing sisi kepalanya. Kalau saja Jeiden bukan seorang lakon yang baik, ia pasti sudah terbahak begitu kencang saat ini. Atau kalau saja Chaerra ada di sini, sudah dipastikan gadis itu akan menyumpahinya dengan sepatu siap menimpuk kepalanya kapan pun.
”Kamu yang maksa atau mau sama mau?”
Jeiden tak langsung menjawab karena yakin suaranya akan bergentar yang dapat memperlihatkan jelas ia tengah mengarang bebas di dalam kepalanya sekarang. ”Awalnya aku yang maksa, tapi sekarang kita sama-sama consent.”
Suasana kembali hening untuk beberapa saat, dengan deru nafas Sean yang semakin terdengar kencang. Entah kenapa jantung Jeiden jadi berdetak dua kali lebih cepat, was-was pada apa yang akan terjadi setelah ia mengatakan seluruh bahan dusta ini. Tapi di sisi lain, pemuda itu juga jadi ingin begitu tau bagaimana respons sang ayah pada kenakalannya yang sudah di luar batas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hi... Boyfriend
FanfictionJeiden & Chaerra from Win Crown Lebih baik baca Win Crown dulu, tapi kalau mau langsung baca ini juga gak papa :) Rated: 17+ . . . . . Bagaimana jika gadis yang mendapatkan julukan Singa IPA bertemu dengan pemuda dengan julukan Idol Boy School di da...