Chaerra datang lebih pagi daripada biasanya. Gadis itu mencoba untuk tak mendapati kejadian-kejadian yang dapat membuatnya semakin kesal di sekolah. Entah hanya dengan melihat Jeiden sudah berdiri di tangga, atau melihat pemuda itu sudah duduk lebih dulu tanpa dosa di bangkunya. Rasanya ia masih ingin mengamuk, kalau bisa bahkan bukan hanya melemparkan sebuah tamparan tapi juga sepatu saja sekalian.
Sayang, tindakan dan jalan pikir Chaerra benar-benar tak bisa selaras sejak kejadian kemarin malam. Padahal semalam pemuda itu datang ke rumahnya, membuat Chaerra sebenernya punya kesempatan lebih bagus untuk melemparkan vas bunga atau apapun ke wajah Jeiden. Tapi yang ada sikapnya justru seperti anak kecil yang merajuk, tidak ingin keluar dari kamar atau bahkan menemui Jeiden ketika pemuda itu mengembalikan ponsel dan tas slempang miliknya yang tertinggal di mobil.
Belum ada satu pun orang di dalam kelas begitu kaki Chaerra melangkah masuk. Gadis itu kembali menutup pintu, menatap sekeliling ngeri sendiri akibat nuansa redup pagi dini hari terasa sedikit menyeramkan. Ditambah, seolah kesialan Chaerra belum berakhir, tidak ada sampai lima detik pintu kelas kembali terbuka membuat gadis itu menoleh horor.
Jeiden dengan wajah tak kalah terkejut berdiri dengan penampilan pemuda itu biasanya yang hanya mengenakan kaos putih dan celana abu-abu panjang.
”Hai.”
Suara Jeiden terdengar lebih dulu menyapa walau jelas terdengar kaku. Chaerra yang sempat terkesiap segera melengos, melenggang menuju kursinya tanpa membalas sedikit pun. Pemuda itu hanya melirik sekilas, menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal dengan sebuah decakan sebelum melangkah ke belakang menuju bangkunya tanpa bicara lagi.
Chaerra merutuk, mengumpat pada dirinya sembari berpura-pura merunduk memainkan ponsel. Niat awal gadis itu menghindari sumber emosinya justru berakhir dengan suasana kaku dan canggung di dalam kelas yang hanya diisi oleh keduanya. Boro-boro melempar sepatu, Chaerra bahkan tak berani menoleh atau sekedar melirik.
Pintu kelas kembali terbuka, menunjukkan dua orang yang baru datang dengan senyum merekah dan wajah riang. Arina bahkan meloncat dengan gerakan layaknya kelinci, masuk ke dalam kelas sembari berteriak bernyanyi-nyanyi.
”Weh, rajin banget Jei,“ kagum Chacha menoleh aneh, ”kesambet arwah Bapak Soekarno lo pagi-pagi dah semangat mau ketemu upacara.”
”Semangat mau ketemu lo,” balas Jeiden ringan yang langsung membuat umpatan Chacha terdengar disusul dengan tawa ringan pemuda itu. ”Makannya jangan kepo, gue diem masih aja lo ganggu.”
Chacha mendelik tak terima, menaruh tasnya di bangku paling pojok yang berhadapan langsung dengan tempat guru. Gadis itu mencibir kecil, terutama pada Arina yang sudah sibuk terkekeh tidak jelas. Tubuh Chacha kembali berbalik menuju meja Arina, berdiri di depan bangku gadis itu menunggu.
”Eh, berangkat bareng ya?“ tanya Arina menyadari, memandang Jeiden dan Chaerra bergantian.
”Enggak!“
Jawaban spontan yang diberikan secara keras oleh Chaerra membuat dua gadis Chinese dengan wajah riang itu terkejut, tersentak kaget. Chacha mengerjap lucu, dengan Arina yang tak kalah terkesiap akibat pertanyaannya sendiri. Di belakang, Jeiden sudah sibuk mengulum bibir menahan senyumnya pada Chaerra yang sudah menunjukkan wajah galak.
“Oke, enggak,“ gumam Arina pelan setelah mendapat kesadaran, mengangguk paham, ”berarti emang janjian?“ ulang gadis itu masih belum cukup.
”Enggak anjir! Ngapain?”
Lagi-lagi jawaban Chaerra membuat tubuh Arina sedikit tersentak ke belakang. ”Oh, berarti emang takdir yang mempertemukan kalian?”
Chaerra hampir membentak dengan nada suara kasar kalau saja tidak ingat yang ia hadapi di hadapannya ini salah satu anak perempuan di kelas yang memang sedikit tidak jelas. Gadis itu sudah menunjukkan wajah frustasi membuat Chacha terbahak, tertawa merasa lucu pada respons Chaerra juga pertanyaan Arina. Jeiden ikut terkekeh kecil dengan suara tertahan yang berikutnya jadi kembali tenggelam akibat ekor mata Chaerra sudah meliriknya tajam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hi... Boyfriend
FanfictionJeiden & Chaerra from Win Crown Lebih baik baca Win Crown dulu, tapi kalau mau langsung baca ini juga gak papa :) Rated: 17+ . . . . . Bagaimana jika gadis yang mendapatkan julukan Singa IPA bertemu dengan pemuda dengan julukan Idol Boy School di da...