Tumpukan buku dan berkas itu masih setia ada di atas meja walau seseorang yang hampir seharian bergelut dengan benda-benda itu sudah hampir melempar apapun di hadapannya. Berbeda dengan Jeiden yang sudah mengacak rambut frustasi, laki-laki menuju dewasa ki sofa lain tampak dengan tenang merebahkan tubuh. Bibir mungil layaknya anak kecil itu sudah menghabiskan ketiga batang rokoknya, membuat Jeiden makin kesal karena ia tak bisa ikut menyahut.
”Bang,” panggil Jeiden menyerah juga, membanting satu map di tangannya, ”gue pusing.”
”Gue juga.”
Dengan tanpa beban suara itu terdengar menyahut. Tanpa menoleh, tanpa membuka mata, dan tanpa menghentikan aktifitas merokoknya. Jeiden berdecak, ikut merebahkan punggungnya yang sudah kebas karena terus duduk tegap sedari tadi ke sandaran sofa. Cowok remaja itu fokus melempar pandang pada tubuh tegap di hadapannya, masih mencoba mencari perhatian.
”Bang,” panggil Jeiden pelan, ”Bang Jenan.”
“Hm?”
”Gue pusing.”
”Lo pikir gue gak pusing anjir?” Jenan melirik tajam, bergerak malas untuk duduk. ”Jei, mendingan lo jangan bikin ulah deh. Belajar, terus jadi penerus yang baik buat bapak lo.”
”Seharian gue udah bacain nih berkas-berkas gak guna.”
”Sebulan ini lo main mulu ya bangsat!” maki Jenan tak tahan, langsung emosi. ”Kemarin kemarin lo tidur, sekarang jangan ngeluh kalau harus lari!”
”Gue masih kelas 2 SMA Ya Tuhan,” keluh pemuda itu membalas, ”gue gak harus belajar masalah ginian sekarang. Saham, tender, kontrak, analisis, apalah anjing.”
Tawa ringan terdengar serak, dengan asap rokok yang kembali mengebul. ”Makannya masuk IPS, lo sih pakai segala masuk IPA. Mau jadi dokter lo masuk IPA?”
Jeiden berdecak kasar, dengan kesal mengangkat kakinya menendang tumpukan buku yang sebagian besar sudah pernah ia baca berulang. Suara benturan antara kertas tebal dan lantai itu segera terdengar nyaring, mengisi ruangan dengan penuh bau tinta dan kertas. Map-map yang berjejer pun tak dibiarkan begitu saja, pemuda itu singkirkan dengan tangannya membuat sebagian kertas melayang mengenai tubuh Jenan.
”Lagian gue udah belajar ginian dari SMP, kenapa harus diulang-ulang muluk sih?”
”Siapa yang nyuruh lo berhenti bimbel sih?” sahut Jenan mengikuti nada suara Jeiden yang sudah emosi. ”Bapak lo udah bikin gue puyeng, lo gak usah nambahin ya. Gue suruh belajar ya belajar aja.”
”Lo nyuruh gue belajar soalnya lo butuh tiduran seharian pakek alibi bimbing Jeiden belajar bisnis. Padahal gue dari dulu belajar sendiri.”
”Ya bimbing secara mental dan kerohanian.”
”Bangsat!”
Tawa Jenan kembali terdengar pelan. Pemuda yang baru saja menginjak usia dewasa itu tanpa aba-aba melemparkan bungkus rokok dengan warna putih ke arah Jeiden yang dapat ditangkap dengan sempurna. Dengan segera tangan Jeiden mengambil satu benda silinder panjang dari sana, mengapitnya pada dua sisi bibir sebelum menyalakan ujungnya dengan korek api di meja.
”Temen lo yang waktu itu gimana?”
”Yang mana?” Jeiden tak begitu peduli, mengganti pegangan tangannya pada ponsel yang sudah ia anggukan berjam-jam.
Jari-jemari pemuda itu dengan cepat membuka aplikasi WhatsApp, memeriksa roomchat yang sudah banyak menunjukkan pesan baru masuk. Ada satu roomchat yang sengaja dia taruh di bagian paling atas selama sebulan terakhir ini, tapi sejak semalam tak ada tanda-tanda sama sekali pesannya dibalas. Hal terakhir yang Chaerra bilang hanya anak-anak perempuan XI-IPA5 menginap di rumah gadia itu, lalu setelahnya gadis itu seperti menghilang, tak membalas pesan Jeiden sedikit pun.
![](https://img.wattpad.com/cover/338433003-288-k416369.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi... Boyfriend
Fiksi PenggemarJeiden & Chaerra from Win Crown Lebih baik baca Win Crown dulu, tapi kalau mau langsung baca ini juga gak papa :) Rated: 17+ . . . . . Bagaimana jika gadis yang mendapatkan julukan Singa IPA bertemu dengan pemuda dengan julukan Idol Boy School di da...