25. Promise

125 15 1
                                    

”Kenapa panggil Ayah ke sini?”

Jeiden tak menoleh sama sekali, membiarkan seorang laki-laki paruh baya mengambil tempat di sofa tunggal yang ada tepat bersampingan dengan sofa panjang yang ia kenakan untuk duduk. Matanya masih fokus menggulir layar ponsel, membaca chat dari grup basket yang tengah ramai membicarakan mengenai babak lanjutan final basket. Nuansa tak menyenangkan segera memenuhi ruangan dengan warna dominan abu-abu, dingin dan begitu tak bersahabat.

”Kalau gak penting-”

”Tim basket aku masuk final,” kata pemuda itu cepat menaruh ponsel, ”punya kesempatan besar buat bisa juara lagi tahun ini.”

”Terus?”

Respons itu terlalu sederhana, tapi sudah begitu sering Jeiden dapatkan. Ada satu alasan kenapa pemuda itu lebih memilih untuk meminta ayahnya yang datang ke apartemen daripada mereka bertengkar di rumah, karena sang ibu tidak tau sama sekali jika hubungannya dengan sang ayah benar-benar lebih buruk dari yang diharapkan. Ibunya lebih sering berada di butik, hanya pulang di waktu tidur dan membebaskan Jeiden karena menganggap anak laki-laki tak seperlu itu untuk diperhatikan. Berbeda dengan ibu, ayahnya tipe berkebalikan di mana anak laki-laki harus terikat dengan keluarga, menjadi milik keluarga, dan diarahkan sepenuhnya untuk keluarga.

”Boleh gak sekali aja aku minta pujian?” tanya Jeiden dengan suara dingin pelan. ”Ayah selalu marah kalau nilai aku turun, aku gak ambil bimbel tahun ini, aku gak ikut main tender, aku gak bisa baca kesempatan bisnis, tapi giliran aku dapet prestasi Ayah buta.”

”Menurut kamu prestasi kamu penting?” tanya laki-laki di sisi Jeiden tajam bahkan tanpa menoleh, tangannya hanya bergerak maju meraih bungkus rokok di meja. ”Basket bisa buat kamu kenyang? Bisa buat kamu kaya? Bukannya itu yang buat kamu buang waktu dan uang-”

”Kenapa pembicaraan sama Ayah gak bisa jauh-jauh dari uang?” Jeiden mendongak sepenuhnya, mengganti nadanya dengan begitu rendah. ”Bisa gak kita ngomong sebagai ayah dan anak? Bukan sebagai rekan bisnis atau sekedar aku satu-satunya penerus buat perusahaan Ayah?”

”Siapa yang ngajarin kamu ngomong dari tadi?” Untuk pertama kalinya Sean menunjukkan wajah dengan rahang yang sudah mengeras. "Jago ngomong ya kamu sekarang.”

Entah kenapa Jeiden merasa cukup berbeda, ia tak merasakan ketakutan sebesar itu. Pemuda itu yang tak pernah berani sedikitpun menunjukkan luka walaupun itu di hadapannya ibunya jadi ikut menaikkan dagu berani, menyunggingkan sebuah senyum bangga karena berhasil memancing sang ayah. Seluruh hal yang membuatnya muak selama ini akan garis darah miliknya seolah terbuka, siap ditunjukkan setelah disembunyikan bertahun-tahun.

”Kenapa? Ayah mau mukul? Mau hukum? Pukul aja kalau gitu, pukul sampai Ayah puas! Aku mati juga keluarga ini yang rugi.”

”Kamu-”

”Ayah mikir gak kalau sikap aku berubah karena tingkah Ayah sendiri?” Jeiden menyela cukup keras yang terkesan pada membentak. ”Sampai SMP aku hidup sepenuhnya dari stir Ayah, tapi apa yang aku dapet? Aku gak dapet apa-apa selain uang, uang, dan uang yang bahkan bisa aku dapetin tanpa harus nurutin semua mau Ayah? Mama bisa ngirim aku berapa pun uang yang aku minta, semua harta Oma udah diatasnamakan Jeiden Cakra Adnan, dan aku dapet semua property yang diwarisin sama Opa. Aku udah gak punya alasan buat nurutin mau Ayah selain pengakuan dan hubungan darah antar Ayah dan anak yang nyatanya gak bisa Ayah kasih. Iya kan?”

Wajah mengeras Sean berubah menjadi sebuah senyum miring, memandang putra semata wayangnya dengan sebuah tatapan naik. ”Siapa yang ngasih tau kamu itu semua? Oma?”

”Kenapa? Ayah takut gak bisa kontrol aku lagi?” tanya Jeiden menantang. “Ayah takut aku makin berani berontak dan gak takut sama pukulan atau hukuman dari Ayah?”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang