47. Be Honest

114 14 4
                                    

”I said we both have sex.”

Ekspresi wajah tenang Chaerra berubah seketika. Gadis itu yang semula sudah nyaman menyandarkan kepala di dada Jeiden jadi bergerak menegak dengan sebelah alis terangkat. Indra pendengarannya jelas mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda itu, tapi kepalanya seolah menolak memproses kalimat itu untuk ia terima.

”Gimana?”

Gadis itu bergerak sedikit tergesa, memindahkan posisi tangannya yang semula berada di bawah lengan Jeiden untuk naik. Tangan besar pemuda itu yang masih berada di atas kepala Chaerra membuat gadis itu makin kesulitan untuk menegak dengan benar, kedua tangannya harus menahan dirinya sendiri di dada Jeiden supaya tak kembali bersandar. Raut wajah Jeiden juga ikut berubah walau mata tajam pemuda itu ikut naik memandang Chaerra di atasnya yang kebingungan.

”Gue bilang kita udah having sex.”

What?”

Jeiden mengerjap pelan, entah kenapa jadi sudah memikirkan adegan berikutnya yang akan terima karena wajah putih gadis itu kembali memerah emosi. ”Having sex,” ulangnya jadi begitu pelan.

Sebelah tangan Chaerra dengan cepat menyeruak maju, membekap bibir Jeiden supaya tak kembali bicara. Gadis itu membuang nafas masih dengan wajah kebingungan, linglung sendiri meresa otaknya kembali bekerja begitu lambat. Seluruh kepintarannya langsung terasa dikeruh habis setiap kali menghadapi pemuda di hadapannya yang selalu bertingkah di luar akal sehatnya.

”Lo udah ngomong itu tiga kali, sekali lagi gue denger beneran gue robek mulut lo!”

Tubuh gadis itu bergerak beranjak, tapi tangan besar di belakang punggungnya justru menekan kuat menahan. Chaerra jadi melirik tajam, memandang Jeiden dengan mata berbinar yang menggeleng kecil. Gadis itu jadi berdecak malas, menyentak kuat supaya dapat bangun, tapi yang ada tubuhnya justru dibanting pelan pada kasur membuatnya memekik pelan.

”Peluk gue lagi bentar,” minta pemuda itu setelah berhasil melepaskan bekapan Chaerra dan membalik posisi mereka, ”lima menit.”

Chaerra kembali memberontak pelan, menahan bahu pemuda itu supaya tak makin dekat dengan dirinya. ”Enggak! Bangun gak lo!”

”Bentar aja Chaer,” mohon Jeiden pelan, meraih tangan Chaerra dari pundaknya dengan gerakan halus supaya tak menghalanginya, ”kita udah tiga hari gak ketemu lho. Lo gak kangen sama gue?”

”Bangun dulu Jeiden! Gue sesek!”

Melihat ekspresi kesal Chaerra sudah berubah jadi ekspresi memelas membuat Jeiden berdecak kecil, benar-benar jadi beranjak dari kungkungannya pada gadis itu. Dengan raut wajah menekuk ia mengalah begitu saja, bangkit dari kasur untuk berdiri di sisi ranjang. Chaerra sudah terbatuk kecil, merasakan wajahnya kembali memanas setelah kembali menunjukkan nada suara lemah yang sejujurnya benar-benar ia benci.

”Ya udah, peluk sambil berdiri sini!”

Chaerra berdecak tak santai, bergerak bangun dengan garis wajah kembali menajam. Gadis itu mendongak dengan tatapan mata naik, duduk di sisi ranjang memandang rendah ke arah pemuda di hadapannya sekarang ini. Bisa-bisanya pemuda itu masih menunjukkan wajah santai tanpa beban, tanpa dosa, dan tanpa rasa bersalah sama sekali.

”Kasih gue satu alasan yang paling waras dan masuk akal kenapa lo bisa ngomong kalau kita having sex sebelum gue lepas sepatu dan nimpuk kepala lo!”

”Cuman salah paham, Chaer,” balas Jeiden tenang, ”lo santai aja, bakal gue lurusin kok.”

”Berapa kali lo jadiin gue tumbal di keluarga lo?” tanya Chaerra tajam. ”Lo beneran cuman manfaatin nama gue ya ternyata-”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang