29. Jeiden and Friend

115 14 4
                                    

”Tuh orang ngapain sih?”

Seorang gadis dengan tubuh mungil melirik malas ke arah ranjang kamarnya yang sudah ditempati satu orang pemuda jangkung. Tubuh besar itu kadang berguling ke kiri, berguling ke kanan, bergumam tak jelas dengan nada lagu yang tak karuan, lagu mencibir tampilan layar ponselnya sendiri tak jelas. Senya sudah berusaha tak acuh sama sekali, fokus pada ponsel, tapi ujung mata dan indra penglihatannya sejak tadi benar-benar terganggu.

William mengangkat kedua bahu tak peduli tanpa mengangkat wajah dari tampilan ponselnya. ”Biarin aja lah.”

Tubuh jangkung William kembali berguling menuju sisi ranjang yang paling dekat dengan Senya dan William duduk. Pemuda itu dengan malas menjatuhkan pandangan pada sepasang kekasih yang tengah duduk bersampingan di lantai, memainkan game online bersama. Mata tajam Jeiden yang sudah turun malas bertabrakan dengan mata memanjang Senya yang malah melontarkan tatapan permusuhan.

”Kenapa lo? Mau gue colok mata lo?” tanya pemuda itu ikut menaikkan ujung matanya tak ingin kalah.

Wajah Senya makin mengerut kesal. ”Lo ngapain sih ngintilin cowok gue muluk? Sampai cowok gue apel aja lo ikutin.”

”Heh! Anya Forger!” sentak Jeiden tak bisa pelan, menggunjing nama gadis itu yang digunakan setiap kali bermain game. ”Sebelum sama lo, cowok lo tuh kerjaannya sama gue. Playing victim banget kayak gue yang gabung ke hubungan lo berdua, padahal lo yang ganggu hubungan gue sama William.”

Wajah mengerut Senya dengan cepat menganga, bentuk mungil muka gadis itu langsung berubah lucu terutama pada poin rambut pendeknya yang malam ini seperti Dora. Jawaban asal dari Jeiden ikut membuat William jadi mendongak malas, ikut menjatuhkan pandangan malas. Ia sebenarnya tak ingin berkomentar panjang sejak tadi, tapi suara nyaring Senya di sisinya dan suara tak santai dari arah depan membuat William mau tak mau jadi bergabung.

”Lo ngapain sih?”

”Gak ngapa-ngapain, ganggu lo berdua pacaran aja,” balas Jeiden berubah ringan, ”biar lo berdua gak bisa ciuman.”

Bola mata William berputar bosan. ”Kan kemarin salah lo sendiri!” balas pemuda itu dengan suara naik sedikit membentak tak santai.

”Salah gue dari mana?” Jeiden kembali ikut berteriak. ”Lo yang tiba-tiba dateng, terus bilang ’oh’ sok kaget apaan. Padahal lo bisa langsung cabut waktu liat gue udah asyik! Gue udah bangun suasana sebaik mungkin, setenang mungkin, tiba-tiba malah lo hancurin pakai ’oh’! Sialan!”

”Gue kaget anjir, tiba-tiba ngeliatin orang ciuman udah kayak adegan live film biru!”

”Heh!” Tubuh Jeiden di atas kasur bergerak semakin tak santai, berubah duduk supaya dapat semakin mengeluarkan suara dengan lepas. ”Gue pernah mergokin lo berdua hampir telanjang aja gue biasa aja!”

”Woi! Anjing! Jangan dibahas!” Suara Senya menyela tinggi dengan cepat. ”Itu waktu mabuk! Gak bener-bener telanjang ya bangsat!”

Jeiden berdecih tak santai, dengan suara kekehan William yang terdengar kembali begitu merendahkan. Pemuda itu sudah menarik bahu Senya yang ingin maju mencakar Jeiden untuk kembali duduk, membuat kedua orang kembali melemparkan pandang perang satu sama lain. Suara decihan Jeiden makin terdengar keras, dengan tubuh besar cowok itu yang kembali tengkurap.

”Nya, lo mending mulai sekarang jangan durhaka sama gue deh, gak gue restuin jadi adik ipar tau rasa lo.”

”William bukan adik lo!” sahut Senya membalas tak ingin kalah. “Sejak kapan emaknya William ngelahirin anak kayak lo?”

”Sebelum sama lo dia jadi adik-adikan gue, mau apa lo?”

”Anjir! Berhenti gak?“ ancam William jadi tak tahan sendiri. ”Bangsat geli banget gue dengernya!”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang