48. Be Honest (II)

121 15 7
                                    

”Keluar tanpa suara, terus langsung pulang. Oke?”

Jeiden membuka pintu kamarnya, berniat memberikan jalan pada Chaerra yang hanya berguman dengan anggukan kecil. Wajah gadis itu masih mengerut kesal, belum puas dengan seluruh sumpah serapahnya pada Jeiden. Tapi begitu mendongakkan dagu untuk menatap lurus, ekspresi Chaerra justru berubah melotot dengan bibir bawah jatuh ternganga kecil.

”Gue gak bisa nganterin, jadi lo pesen on-” Kalimat Jeiden juga ikut tertelan kembali terkejut, terjinggat pelan begitu tubuhnya berbalik dari Chaerra untuk menatap lurus. ”Kalian ngapain di sini?”

”Tadi kamu teriak Chaerra gitu, kenceng banget. Mama pikir kamu udah gila.”

Jeiden mengerjap, masih lingkung pada dua orang yang selama tiga hari ini tak betegur sapa dengannya. Pemuda itu menoleh pada Chaerra yang juga masih terbelalak, berjalan mundur selangkah sebagai bentuk perlindungan diri sebelum mendongak pada Jeiden. Pemuda itu jadi berdeham kecil, mencoba tetap tenang dan biasa saja dengan tubuh kembali berbalik menghadang pandangan orang tuanya dari Chaerra.

”Kancing baju lo,” bisik Jeiden pelan, tangannya hampir maju menggapai bagian teratas baju Chaerra sebelum ditepis kasar, ”benerin rambut lo!”

”Gak usah pegang-pegang!” bentak Chaerra tajam dengan suara tertahan supaya tak terlalu keras. ”Gue bisa benerin sendiri!”

Gadis itu bergerak kaku, merasa canggung dan kikuk akibat penampilannya tak dapat dikatakan penampilan baik-baik. Dua kancing teratas dari seragamnya entah kenapa jadi memiliki kesan negatif dan terkesan tidak sopan sama sekali, ditambah rambut tergerainya yang sudah acak-acakan hampir seperti bangun tidur. Ekpresi wajahnya dibuat setenang mungkin, mengikuti Jeiden yang juga berlaku seolah mereka tak melakukan kesalahan atau sekedar hal-hal aneh.

”Kalian habis berantem?” tebak Erin memandang keduanya aneh. ”Tadi Mama denger suara kalian saling bentak?”

”Enggak,” jawab Jeiden cepat, ”cuman kesalahpahaman. Iya kan?” lanjutnya kembali menoleh, meminta jawaban dari Chaerra.

Chaerra jadi benar-benar yakin sehebat apa pemuda itu berbohong, atau mungkin selalu berbohong. Kenapa Jeiden begitu hebat mengarang cerita bebas dengan wajah menyakinkan? Antara bicara jujur dan omong kosong dari pemuda itu saja tak bisa Chaerra bedakan. Suara helaan nafas gadis itu jadi terdengar begitu berat, dengan bibir yang terpaksa menipis.

”Tante, Om, aku mau ngomong,” ujarnya cepat menatap lurus, tak lagi peduli pada mata tajam Jeiden yang sudah memicing sinis, “kesalahpahaman yang dimaksud sama Jeiden udah sangat terlalu jauh, jadi aku rasa harus ngelurusin semuanya sekarang.”

”Chaer-”

”Tante,“ sela Chaerra lebih dulu, tak membiarkan Jeiden memotong pembicaraan, ”bisa kan?” minta gadis itu berharap.

”Maksud kamu tentang-”

”Enggak, Om,” jawab Chaerra tak dapat menahan bibirnya untuk menyelak, ”gak cuman tentang having sex, datang bulan, atau semua hal negatif yang Om pikirin tentang aku, tapi dari awal. Aku beneran pengen ngomong dari awal kenapa semua omong kosong ini bisa ada dan bikin aku jadi terlibat di keluarga, Om. Bisa kan?”

Jeiden berdecak kecil, masih memandang gadis yang jauh lebih rendah darinya itu malas. Pemuda itu tiba-tiba merasakan kepalanya berdenyut hanya dengan memikirkan seberapa keras kepala Chaerra. Sangat tak bisa diajak kompromi dan membiarkan ia menyelesaikan sendiri tanpa melibatkan gadis itu lagi.

”Chaer, pulang,” tegur Jeiden pelan, ”gue yang bakal jelasin semuanya.”

”Enggak,” jawab Chaerra tegas, ”gue gak yakin lo gak bakal nambahin bahan-bahan kebohongan lagi buat lepas dari masalah ini ke masalah baru lagi.”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang