32. Confess

141 16 10
                                    

”Gak jadi bikin mie instan?”

Jeiden menoleh sekilas, mendapati gadis dengan tinggi semampai itu sudah berdiri di sisi meja makan. Suara serak berat Jeiden terdengar pelan bergumam, dengan mata yang kembali fokus menuangkan air dingin ke gelas. Tubuh gadis itu tampil lebih santai tanpa alas kaki dengan kaos putih yang dimasukin ke dalam hotpants, khas tampilan gadis itu yang selalu menunjukkan bentuk tubuh ramping dan kaki jenjang.

”Lo diet kan?” tanya Jeiden mendekat, mengambil tempat di belakang tubuh Chaerra.

Chaerra mengangguk dengan gumaman, memandang sepiring nasi dengan lauk ayam dan sambal serta lalapan. Gadis itu melirik malas ke arah Jeiden yang yang menjulurkan gelas air dingin ke meja di sisi piring, memperhatikan gerak pemuda di sisinya yang berubah menarik kursi untuk Chaerra duduk. Bola mata Chaerra memutar begitu saja, memandang Jeiden sinis seolah yang pemuda itu lakukan adalah sebuah kesalahan besar.

Pemuda itu rela membeli makanan lebih dulu ketika Chaerra mandi, memikirkan program dietnya, menyiapkan air, dan menarik kursi untuk Chaerra duduk. Dari segi mana cowok ini dapat dikatakan effortless?

”Entar naik dikit gara-gara junkfood lo badmood.”

”Gue segini juga gak habis.”

Tubuh Jeiden yang baru saja akan menyingkir menoleh kembali, mendengus pelan dengan bosan. “Makan sebanyak yang lo bisa, entar sisanya biar gue yang makan,” kata pemuda itu ringan berlalu dari sisi Chaerra untuk mengambil tempat di sisi meja yang lain supaya dapat berhadapan dengan gadis itu.

”Lo kurangin dulu!”

”Makan dulu sebisa lo,” ujar Jeiden mulai mendudukkan dirinya, menggapai piringnya sendiri. ”Lagian lo diet buat siapa sih? Badan lo  udah bagus gitu.”

”Kegendutan.”

Kelopak mata Jeiden terpejam refleks dengan helaan nafas panjang. Tubuh pemuda itu yang semula sudah merunduk untuk makan jadi kembali menegak dengan pandangan yang menyorot penuh ke arah gadis di hadapannya. Mau dilihat dari sisi manapun, tidak ada gumpalan lemak sedikit pun dari badan gadis itu. Seluruh bagian tubuh gadis itu kencang, khas anak dance pada umunya. Ramping dengan pinggang kecil dan lekukan yang tak terlalu berlebihan. Sempurna, sangat sempurna malah.

”Buta mata lo?” tanya Jeiden tajam. ”Sekali lagi lo ngomong gitu beneran gue timpuk ya kepala lo.”

”Yang pertama kali ngatain gue gendut siapa?“

”Gue bercanda Ya Tuhan, baperan banget langsung lo masukin hati.”

Giliran Chaerra yang menutup matanya frustasi, membuang nafas kasar. Gadis itu perlahan menaikkan bola matanya, menjatuhkan pandangan pada Jeiden yang juga tengah melempar pandang padanya. Sendok yang sudah ada di tangan gadis itu ikut terangkat, menunjuk Jeiden tak santai.

”Lo lagi mainin gue ya?”

Sebelah alis tebal pemuda itu terangkat. ”Mainin?”

”Lo cuman mau main-main sama gue kan?” Chaerra mengulang pertanyaannya, tangannya semakin terulur maju menunjuk Jeiden dengan sendok.

Untuk beberapa saat kedua sisi bibir pemuda itu tak bergeming sedikit pun, hanya melemparkan tatapan bosan. Suara helaan nafas Jeiden menyusul berat, dengan tubuhnya yang perlahan bersandar ke punggung kursi. Tangannya terlipat, memandang Chaerra begitu malas. Ia sudah begitu malas berada di topik pembicaraan mereka yang selalu memutar, seperti keduanya yang tengah menarik ulur satu sama lain.

”Lo mau gue serius?”

Chaerra mendengus keras, membuang wajahnya dengan bibir membulat kagum pada nada suara pemuda itu yang masih terdengar mengintimidasi. ”Lo sadar gak sih lo brengsek, bajingan, red flag, keparat-”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang