07. Tujuan Utama

133 16 1
                                        

Walaupun sudah memiliki niat untuk datang ke sekolah lebih pagi, tapi apa daya pada kakinya yang baru menginjakkan kaki begitu seluruh siswa sudah berjejer rapi di tengah lapangan utama. Pemuda itu masih menguap, meninggalkan motornya dengan malas dan tak tertarik sama sekali. Rambutnya masih acak kadul, dengan wajah bangun tidur dan mata sedikit membengkak.

”Jeiden.”

Jeiden sedikit terperanjat, menoleh pada suara yang baru saja melewatinya. ”Hai, Sher,” sapa pemuda itu ikut menarik senyum.

”Baru berangkat?”

Pemuda itu mengangguk. “Lo juga?”

”Udah dari tadi, habis dari kamar mandi.”

Gadis dengan tubuh ramping menjulang tinggi serta warna rambut kecokelatan ditambah wajah cantik layaknya Berbie itu jelas menunjukkan garis Eropa daripada Indonesia. Sherly, gadis yang dikalangan anak-anak cowok lebih dikenal dengan sebutan si Bule atau kalau tidak Berbie hidup. Sangat ramah, Jeiden bahkan terkejut saat pertama kali ia mendekati Sherly di kelas X dan langsung diterima dengan antusias oleh gadis itu.

”Oh,” gumam Jeiden pelan ingin berlalu pergi sebelum matanya menangkap tubuh tinggi Chaerra dengan tas biru pemberiannya semalam di antara gadis-gadis XI-IPA5. ”Eh, Sher, boleh minta nomor Yunka gak? Gue dulu ada tapi nomornya hilang.”

Wajah cantik Sherly sedikit mengerut. ”Yunka sekelas gue?”

”Yoi. Boleh gak? Atau gue ikut baris kelas lo gak papa, biar nanti gue minta sendiri.”

”Eh gak usah,” kata Sherly panik sendiri, ”bisa ditendang Raya gue kalau bawa lo. Entar gue share deh ya.”

Kedua sudut bibir Jeiden jadi tertarik puas. ”Oke, entar gue chat ya.”

Sherly segera melambai, membelokkan ke arah barisan XI-IPS2 sedangkan Jeiden mengambil langkah lurus. Tubuh Jeiden yang semula tampak mencolok dengan kaos T-Shirt hitam dilapisi jaket kain abu-abu dan celana jeans panjang hitam langsung tenggelam begitu saja ketika bergabung ke deret anak-anak cowok XI-IPA5 yang tak kalah tinggi-tinggi. Pemuda itu mengambil tempat di bagian paling belakang, di sisi Xafier yang sama-sama menguap bosan.

”Gue nanti duduk sama lo, Fir?” tanya Jeiden pada pemuda yang kini mengerjap polos.

”Tuker yuk Jei,” ajak Xafier dengan nada lugu, ”gue pengen duduk samping Chaerra, nanti lo jadi bisa duduk sama Eli.”

”Yeee, kayak tuker anak nanti gue sama Chaerra,” cibir Jeiden mendorong wajah Xafier pelan, ”mending lo sama Eli, gue sama Chaerra. Latihan mandiri, Fir. Masak apa-apa lo Chaerra muluk, gak takut tiba-tiba macannya keluar?”

”Gak bakal lah, Chaerra sama gue unyu-unyu ibu-ibu,” balas pemuda itu bangga, ”ya Jei ya, tuker ya.”

”Iya iya, entar.”

Hessa dan Juna yang berdiri di depan menoleh, bertanya heboh apa yang Xafier dan Jeiden obrolkan. Jeiden semula tak tertarik lagi terlibat dalam pembicaraan, tapi Xafier yang menceritakan segala hal mulai dari Jeiden yang baru datang sampai ia berdiri detik ini merasa kupingnya panas juga. Xafier ini benar-benar definisi mulut perempuan kalau sudah bersama orang-orang terdekatnya.

”Ye, enak dong lo gitu,” protes Hessa tak terima, ”ayok tuker, Jun,“ lanjut pemuda itu merubah ekspresinya jadi begitu antusias.

”Lo sama Lia, gue sama Arina gitu?”

Kepala Hessa mengangguk semangat. ”Lo mau kan kalau diajak tuker sama Arina?”

”Gue sih mau, Arinanya mau apa enggak?”

”Lo gak malu minggu lalu habis ditolak Arina?” tanya Jeiden heran. ”Udah deh Jun, lo sama cewek lain juga laku. Arina gak jelas gitu lo pacarin.”

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang