1. Pembunuh

116 17 0
                                    

“Sebenarnya ada satu cara lain biar kamu bisa jadi populer, Ran.” Dira ngomong begitu sambil senyum-senyum usil di hadapanku. Tadi pagi aku sudah cerita ke Dira kalau ada satu orang lagi yang nge-like foto lama yang dulu aku pernah post di IG.

Kami berdua ngobrol pas pelajaran sejarah. Ini nggak boleh ditiru, sih, tapi mumpung gurunya lagi asyik banget nulis bahan rangkuman di papan tulis, aku sama Dira bisa curi-curi kesempatan buat ngatur strategi perang.

“Foto waktu kamu jadi pengiring pengantin itu? Terus gimana?” tanya Dira. “Siapa yang nge-like? Jangan-jangan keluarga atau saudara jauh kamu lagi, ya?"

“Tch, sembarangan.”

“Ya, terus siapa, dong?”

“Kamu pernah ke rumahku, kan?” tanyaku ke Dira. Cewek berambut pendek itu mengangguk. “Kamu masih ingat ibu-ibu tetangga yang punya warung itu? Yang biasanya kamu beli Pop Ice di sana? Nah, dia yang nge-like.”

Dira hampir ketawa. Ujung bibirnya nyengir-nyengir, seolah sudah nggak tahan pengen nyembur. Aku nggak ngerti kenapa.

“Selamat, ya.” Dira menjabat tanganku. “Akhirnya pecah juga rekor like terbanyakmu itu. Jadi berapa jumlahnya sekarang? Dua satu?”

Aku refleks memicingkan mata. “Kamu ini lagi ngeremehin, apa gimana?”

“Eh, nggak kok.”

Kupasang wajah cemberut sambil pura-pura fokus lagi ke papan tulis. Pak Er sudah nulis banyak rangkuman di sana. Kuraih pulpenku yang hampir jatuh di ujung meja, terus aku salin paragraf pertama yang ada di papan itu ke buku.

Dira masih tetap ketawa untuk beberapa saat. Si monyet itu juga sempat minta maaf dan ngajak ngobrol lagi, tapi sayangnya aku sudah memutuskan untuk nutup telinga rapat-rapat. Bodo amat!

Sampai setelah Pak Er keluar kelas dan teman-teman yang lain sudah siap-siap mau ke kantin, Dira nyenggol pelan siku gue.

“Kamu mau tau, nggak?” Kedua alis Dira terangkat. Senyumnya lebar. “Serius nih, aku punya cara jitu biar kamu bisa langsung populer.”

Aku sebenarnya pengen terus cuekin Dira, tapi aku sudah nggak tahan. Dira itu paling jago bikin orang lain penasaran.

“Begini, Ran.” Dira mendekatkan wajahnya. Pantulan wajahku terlihat dari kilau matanya. “Gimana kalau... kamu jatuhin diri aja.”

“Jatuhin diri?” Aku mengernyit, nggak ngerti.

“Bisa dari lantai tiga, atau lantai empat....”

“Eh, gila. Maksud kamu bun....”

“Ya, gitu. Habis kamu jatuhin diri, entar kamu pasti langsung viral, masuk berita di TV-TV, atau minimal masuk koran lokal-lah. Bayangin aja foto kamu ada di halaman depan koran, terus tulisannya ‘SEORANG SISWI CANTIK LOMPAT DARI....’.”

“Eh, Monyet. Populer sih populer, tapi ya nggak kayak gitu juga!”

Dira ketawa.

Gue kadang bingung sama cewek satu ini. Dia emang pintar di bidang akademis, nilainya nggak pernah di bawah KKM, tapi kalau lagi bercanda... kayak orang nggak punya otak.

“Gimana?” Dira senyum-senyum nggak jelas. “Ideku bagus, kan?”

“Bodo amat!”

‘Yeee, ngambek, nih?” Si Monyet ketawanya malah makin keras. “Maaf, maaf. Ini beneran nih, yang ini serius. Nggak bercanda. Aku beneran punya cara.”

kubuang muka, lalu cepat-cepat membereskan buka sama pulpenku yang masih berserakan di atas meja. Sumpah, Panas banget rasanya. Pengen ke kantin, beli minum yang segar-segar biar bisa dinginin otak sama hati.

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang