17. Penyendiri

33 12 0
                                    

“Kenapa sih, kamu pengen banget jadi populer?” Dira dulu sering banget tanya kayak gitu.

Pengen nongkrong rame-rame. Pengen jalan-jalan bareng. Makan bareng. Main bareng. Kalau dipikir-pikir emang klise, ya. Jadi wajar aja rasanya kalau Dira nggak percaya.

“Kirana yang aku kenal bukan orang yang kayak gitu.”

Mungkin emang benar.

Mungkin emang begitu seharusnya.

Kirana Veralia yang dulu itu anaknya males banget kalau disuruh interaksi sama orang lain. Lebih suka menyendiri. Di dalam rumah, di dalam kamar, nikmatin makanan sendirian, main sama boneka-boneka. Bukan cara hidup yang buruk, sih. Aku suka sendiri. Aku suka setiap detik yang kulewatin di dalam kamar tanpa ada siapa pun yang ganggu. Tenang. Sepi. Cuma ada suara dari lagu yang kusetel lewat earphone.

Menyenangkan? Mungkin bisa dibilang begitu.

Tapi... aku takut.

Aku nggak mau.

Aku nggak pengen hal kayak gitu terjadi sama aku.

Dulu waktu aku masih SD, ada tetangga yang tinggal di sebelah rumah. Cowok, berumur sekitar dua puluh tahunan. Dia tinggal sendirian. Aku nggak tau di mana keluarganya, sudah menikah atau belum, tapi yang aku ingat jelas, cowok itu kelihatan kayak tipe orang yang suka banget bikin keributan. Bajunya selalu lusuh, rambut dan kumisnya acak-acakan, bau alkohol. Papa sama Mama pun nyuruh aku biar nggak deket-deket sama dia.

Semua orang juga begitu. Bahkan tanpa larangan tertulis sekalipun, tetangga-tetangga yang lain juga kayaknya nggak mau berhubungan sama cowok itu.

Nggak ada yang nyapa. Nggak ada yang bertamu ke rumahnya. Nggak ada yang ngundang dia ke acara-acara tertentu.

Sampai hari itu. Saat ada bau yang busuk banget keluar dari rumahnya.

Orang-orang mengira itu mungkin bau alkohol atau makanan basi yang dia simpan di rumah. Tapi rasanya ada yang beda. Itu bukan bau alkohol, juga bukan bau makanan basi. Semakin hari, baunya makin pekat, bikin yang lewat di sekitar rumah itu jadi keganggu banget.

“Sudah tidak bisa dibiarkan.”

“Ini sudah kelewatan.”

Aku ingat Papa dan beberapa tetangga ngomong begitu waktu ada acara kerja bakti mingguan. Mereka ingin menegur cowok itu, bilang kalau sampah-sampah atau apa pun benda bau yang ada di dalam rumahnya itu harus cepat-cepat dibuang.

Tapi, semuanya sudah terlambat.

Setelah capek mengetuk pintu dan nggak ada jawaban, warga sekitar mulai ngerasain sesuatu yang aneh. Aku yang cuma bisa melihat dari jendela kamar juga ngerasa begitu. Rumah di depanku itu kayak kosong. Aku nggak tau kenapa. Padahal sudah banyak orang di depan, sudah banyak orang yang mengetuk dan manggil-manggil nama cowok itu, tapi dia tetap nggak muncul.

Cowok itu sudah meninggal.

Setelah memaksa masuk, orang-orang nemuin tubuh cowok itu di kamar, terbaring membusuk di lantai. Aku nggak tau gimana detailnya, tapi dari yang pernah kudengar dari Papa, cowok itu mungkin meninggal karena overdosis obat-obatan, meminum alkohol yang nggak seharusnya, atau semacam itu. Ruangannya kotor banget, sampah di mana-mana. Banyak kecoa, dan bahkan waktu pertama kali ditemuin, ada banyak tikus yang mengerubungi tubuh cowok itu.

Sendirian. Tanpa keluarga. Tanpa teman. Di kamar yang gelap dan bau itu... gimana rasanya, ya?

Bahkan di saat-saat terakhirnya, jauh sebelum orang-orang masuk secara paksa ke rumah itu, nggak ada yang tau kalau cowok itu sebenarnya sudah nggak ada.

Menyedihkan.

Aku takut.

Gimana jadinya kalau aku juga meninggal dengan kondisi seperti itu? Sendirian. Di kamar. Nggak ada yang tau. Sampai badanku membusuk, dikerubungi kecoa dan tikus.

Aku nggak mau. Nggak. Nggak boleh.

Aku pengen hari kematianku rame. Banyak orang yang melayat, melihatku untuk yang terakhir kalinya. Mengenangku. Mendoakanku. Menaburi makamku dengan bunga-bunga segar yang kusukai.

Berapa lama lagi?

Aku punya Papa sama Mama. Punya beberapa sepupu dan saudara jauh juga. Mereka pasti bakal datang ke pemakamanku. Tapi, apa itu cukup?

Dira, aku yakin juga pasti bakal datang. Lalu, siapa lagi? Teman sekelasku? Teman SMP? Teman SD? Mungkin ada beberapa yang datang, tapi aku nggak yakin.

Masih kurang.

Dua puluh like di postingan Instagram-ku, beberapa puluh yang mem-follow. Apa cuma orang-orang itu doang yang bakal datang? Apa nggak ada lagi?

Aku butuh lebih banyak.

“Teman sekelas? Masih kurang?” Dira pernah tanya gitu.

Aku nggak tau. Teman sekelas cuma tiga puluh orang. Yang datang paling Cuma setengah atau malah seperempat doang. Ditambah beberapa perwakilan guru. Rasanya kayak udah banyak, tapi nggak tau kenapa... kelihatan sepi. Sepi banget.

Apa acara pemakamanku bakal sesepi itu?

Berapa lama lagi?

Aku masih punya waktu, kan?

Aku pengen punya banyak teman. Aku pengen berhubungan baik sama mereka. Ngobrol, makan bareng, main bareng, sampai aku nggak ada dan mereka bisa mengenangku sepanjang hidup mereka.

Gimana caranya?

Cuma ada satu cara. Cara gila yang diusulkan si monyet Dira itu kepadaku: Deketin Rio, cowok paling populer di sekolah. Entar aku juga bakal ikut populer, punya banyak teman, dan berharap semoga teman-teman itu bisa datang ke pemakamanku.

Kedengaran gampang, tapi aku tau ini bakal susah banget. Aku nggak punya sesuatu untuk ditonjolin. Aku nggak bisa nyanyi, nggak jago basket kayak doi, badanku pendek, nggak cantik-cantik amat. Canggung, nggak bisa ngobrol lama-lama, pasif. Aku nggak bisa apa-apa. Mustahil? Mustahil nggak, sih? Rasanya kayak ngincer boneka paling gede dari mesin capit boneka yang ada di Timezone. Mungkin ada trik tertentu, tapi aku nggak pernah tau.

Dengan penuh pertimbangan, kubuat surat kecil yang mirip kayak surat cinta. Kutekuk dan kumasukin ke amplop merah muda cerah. Rasanya ragu banget. Aku takut. Gimana kalau surat ini nggak dia baca? Dibuang begitu aja, atau dibiarin menumpuk di loker kayak surat dari cewek-cewek lainnya?

Entah mungkin karena capek melihat aku kebanyakan mikir, Dira langsung mengambil surat itu dari tanganku, lalu memasukkannya ke dalam loker Rio. Surat itu. Apa yang kutulis di dalam. Semuanya masuk tanpa sisa. Menyelit lewat celah sempit, lalu hilang dalam gelap. Satu koin emas yang masuk ke dalam mesin, mengarahkan capitnya tepat ke atas boneka besar yang jadi incaran semua orang.

Apa akan berhasil?

Kalau berhasil, capit itu bakal membawakan boneka besar itu langsung kepadaku. Ke sini. Lapangan belakang sekolah, setelah jam pulang berdering, persis kayak apa yang sudah kutulis di surat.

Boneka besar yang hampir mustahil untuk kudapatkan. Kudengar suara kakinya yang berderap, jauh di ujung lorong. Apa cowok itu benar-benar datang? Itu nggak mungkin, kan? Aku pengen dia datang, tapi nggak tau kenapa rasanya aku nggak bisa percaya. Suara kaki itu, aku pengen menoleh, melirik sedikit, memastikan siapa yang mendekat. Sayangnya sudah terlambat. Orang itu ada di sebelahku sekarang.

Cowok, tinggi, badannya bau matahari. Aku belum siap. Dia di depanku. Matanya menatapku. Cowok paling populer di sekolah. Boneka besar yang ditarik oleh mesin capit itu....

Dia ada di sini.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang