2

63 18 0
                                    

“Aku udah taruh surat ke lokernya Rio.” Dira ngomong kayak gitu tadi siang. “Kamu tinggal tungguin aja tuh cowok di lapangan belakang sepulang sekolah, terus bilang aja kalau Kamu itu suka sama dia.”

Ini gila, nggak sih?

Janji ketemuan sama cowok yang bahkan nggak aku kenal, terus bilang kalau aku suka ke dia?

“Demi popularitas, Ran.” Dira berusaha meyakinkan. “Kamu beneran pengen populer, kan? Pengen kumpul-kumpul, nongkrong sama anak-anak gaul lainnya, kan?”

“Tapi masa begini sih caranya. Nggak ada ide lain?”

“Jangan cerewet. Ikutin aja.”

Itulah alasan kenapa sekarang aku terdampar di sini. Jam lima sore, di lapangan belakang. Lapar, haus, lemas, capek nungguin si murid baru yang harusnya datang ke sini dua jam lalu.

Apa aku pulang aja, ya? Toh, aku juga nggak terlalu setuju sama rencana ini.

Dira juga parah banget. Bukannya nemenin, malah pulang duluan. Nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.

“Ya mau gimana lagi, Ran. Aku masih ada les sore ini,” dia bilang gitu sebagai alasan. “Sorry ya.”

Monyet, monyet. Kalau tau bakal begini sih, mending diundur aja tadi waktunya. jadi besok atau minggu depan gitu, seenggaknya biar aku nggak nunggu sendirian kayak anak hilang gini.

Lima menit lagi, deh. Kalau si Rio itu nggak datang lima menit lagi, ya terpaksa aku harus pulang. Bodo amatlah sama rencananya Dira.

Satu menit.

Dua menit.

Si Rio itu masih belum kelihatan juga. Aku nggak ngerti lagi. Apa jangan-jangan dia belum baca surat yang dikasih Dira itu, ya? Jangan-jangan surat itu masih di lokernya Rio? Belum dibuka? Atau malah si anak baru itu sama sekali nggak peduli? Dia langsung pulang begitu aja? Iya, pasti gitu. Anak gaul sialan, sombongnya kebangetan! Padahal aku sudah siapin mental buat ngobrol empat mata sama dia.

Tapi, kalau dipikir-pikir rasanya juga nggak apa-apa, sih. Kalau kayak gini kan aku nggak perlu PDKT ke dia. Rencananya batal. Terus impianku....

Tiga menit.

Empat menit.

Langit sudah berwarna kemerahan. Sekolah rasanya sudah sepi banget. Nggak ada suara bola basket yang di-driblle. Nggak ada suara gitar sama drum dari ruang band. Sunyi, kayak beneran sudah nggak ada siapa-siapa lagi di sini.

Lima menit.

Rio nggak datang, dan sekarang sudah waktunya aku pulang. Sumpah, buang-buang waktu doang aku di sini. Tapi....

Sebelum beranjak dari tempat aku berdiri saat ini, aku dengar ada suara. Samar-samar, ada langkah kaki yang mendekat. Berat, jelas suara sepatu cowok. Langkahnya terseret-seret, kayak lagi ragu-ragu. Asalnya dari lorong samping.

Itu dia, kan? Itu Rio, cowok gaul sialan yang sudah bikin aku nunggu lama di sini, kan?

Nggak. Itu bukan dia!

“Kirana?” Cowok itu menyapaku. “Ma-maaf.”

Aku kenal dia. Aku pernah lihat cowok itu. Kalau nggak salah, namanya Marcel. Dia anak kutu buku dari kelas IPA-2, teman sekelasnya Rio. Kenapa dia ada di sini?

“Kamu... yang taruh surat ini di lokerku, kan?” Marcel merogoh saku celananya, mengeluarkan secarik kertas putih yang terlipat rapi, lalu membukanya. “Kamu bilang, kamu mau kenalan sama aku?”

Hah?! Bentar, bentar, bentar, bentar. Ini nggak bercanda, kan? Kok dia, sih? Harusnya kan Rio, bukan si cupu ini. Lokernya salah?

Tolol banget, sumpah. Idiot! Dira, si monyet itu memang salah naruh suratnya, atau memang sengaja mau ngerjain aku, sih?!

Sumpah, nggak lucu banget!

“Kirana?”

“Eh, i-i-iya?” Gimana ini? Bingung. Canggung. Aku nggak tau mau ngapain. Bukan begini rencananya.

“Sudah sore,” kata Marcel. Matanya menatap mataku dengan sama canggungnya. Keringatnya menetes, membasahi sisi wajah. Senyumnya gemetaran. “Mau... pulang bareng?”

Nggak. Aku nggak mau. Aku nggak bisa.

Aku menggeleng. “Maaf, aku bawa motor sendiri.” Kupasang senyum ramah biar Marcel nggak terlalu sakit hati. “Kamu...,” nggak apa-apa, kan?

“Begitu, ya.” Marcel menyunggingkan senyum kecil yang membuatku semakin merasa nggak enak hati. "Kalau gitu, kita jalan bareng sampai parkiran aja, gimana?”

Dengan terpaksa aku pun mengangguk.

Sebenarnya nggak ada salahnya juga sih aku kenalan sama Marcel. Dia baik, pintar, nggak nakal dan nggak aneh-aneh. Tapi sayangnya... aku nggak bakal bisa populer kalau pacaran sama dia. Percuma. Nggak ada untungnya. Memang lebih mending aku kenalan sama Rio kayak rencana awal. Cuma dia. Cuma Rio yang bisa bikin gue populer.

Untuk terakhir kali ini aja, aku sama Marcel jalan beriringan di lorong kayak gini. Kami sama-sama menunduk, sama-sama canggung untuk membuka pembicaraan. Beberapa kali kulirik dia. Wajahnya memerah, bibirnya tertutup rapat. Lucu, sih. Tapi tetap aja, aku nggak mau berhubungan terlalu dekat sama cowok satu ini.

“Wih, Marcel!” Waktu kami hampir sampai di area parkir, ada beberapa teman sekelas Marcel yang menyapa.  “Jadi ini cewek yang pengen kenalan sama lo? Lumayan juga.”

Aku kenal sebagian besar dari mereka. Ada Liam, si anak basket yang pernah jadi MVP di pertandingan antar SMA beberapa bulan lalu, Bella yang terkenal cantik, teman-teman satu circle Bella yang sering ngikutin dia ke mana-mana, dan juga... ada Rio.

“Gue bilang juga apa, nggak perlu malu,” Rio bilang begitu ke Marcel, lalu menoleh ke arahku. “sorry ya, Kirana. Kamu tadi nunggu lama, kan?”

“Si Marcel ini tadi ragu-ragu. Dia ngotot banget mikir kalau surat itu cuma iseng.” Liam ketawa sambil merangkul pundak Marcel. “Harap maklum, ya. Dia jarang ngobrol sama cewek soalnya.”

Aku mengangguk canggung.

“Ciee, ciee, pasangan baru!” Bella tersenyum usil. “Nggak ada perayaan, nih? Makan-makan gitu, kek?”

“Wah, boleh, tuh!” Liam menimpali. “Kebetulan kami mau mampir bentar ke kafe. Kalian berdua mau ikut?”

Kulirik lagi si Marcel, bersamaan dengan dia yang juga melirikku. Mata kami bertemu, kayak saling melemparkan tanda tanya ke satu sama lain.

Ini kesempatan yang bagus banget sebenarnya. Kesempatan kayak gini nggak bakal muncul dua kali. Liam, Rio, sama Bella. Anak-anak gaul kayak mereka ngajak aku buat nongkrong bareng? Sumpah?

Aku mau. Mau, mau, mau banget! Tapi....

Mereka nantinya bakal lebih salah paham. Mereka bakal mikir kalau aku itu beneran suka sama Marcel.

Nggak. Aku nggak mau. Aku nggak bisa kayak gini terus.

Aku harus bilang ke Marcel kalau semua ini cuma salah paham. Semua ini salah Dira. Karena si monyet itu yang naruh suratnya ke loker yang salah. Seharusnya nggak begini.

Aku harus jujur.

“Jadi gimana?” Rio menaikkan alisnya, menunggu jawaban kami berdua. “Kalian mau ikut?”

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang