44

33 10 13
                                    

Cewek itu... berbohong.

Dia bukan pelaku sebenarnya. Dia nggak pernah membunuh siapa pun dan skandal antara dirinya dan profesor itu cuma gosip yang dibuat-buat.

Dengan dasar seperti itu, aku mulai melangkah, menulis cerita baru di atas realita.

Kasus pembunuhan itu masih misteri. Pelakunya masih belum ditemuin dan hilang tanpa jejak.

Pelakunya itu siapa?

Yang pasti bukan cewek itu. Cewek itu bukan siapa-siapa. Cuma tokoh tanpa nama yang kebetulan lewat dan memudar kayak potongan kertas kecil yang terbawa ombak.

Aku nggak mau ngebicarain dia, dan kuyakin Marcel juga nggak mau cewek yang sudah mengaku punya hubungan dengan ayahnya itu untuk hidup di cerita ini.

“Lalu siapa yang sudah ngebunuh Profesor?”

Aku menoleh, natap Dira yang barusan bertanya. Cewek itu melayang di atas tempat tidurku, rambutnya beterbangan, kayak awan yang bergerak lembut ngikutin semilir angin. Di sekitarnya, HP, boneka, bungkus camilan yang belum terbuka, bantal, pulpen, buku-buku yang nggak pernah kubaca, tas, dan barang-barang pribadiku lainnya juga ikut melayang.

Siapa pelaku yang sudah ngebunuh Profesor?

Siapa yang bisa kabur dan menghilang tanpa jejak sama sekali?

Dari dulu aku nggak bisa jawab pertanyaan itu. Sejak kasus itu masih abu-abu dan aku masih main detektif-detektifan biar bisa jadi populer, aku nggak punya petunjuk apa-apa.

Sekarang, di cerita baru yang kubuat ini, aku nggak butuh petunjuk.

Aku bisa buat pelakunya sendiri, lengkap dengan motif yang sama sekali nggak berhubungan sama realita. Benar begitu kan, Dir?

Dira mengangguk. Senyumnya melebar, seolah bangga sama apa yang mau aku lakuin. “Pelaku yang bisa menghilang tanpa jejak, ya? Mmm... kayak hantu, gitu?”

Aku berdecih, lalu ngelempar penghapus kecil yang ada di atas meja belajarku itu ke pinggang Dira. “Hantu itu nggak ada,” kubilang. “Dan lagi, aku juga nggak mau masukin hantu atau hal-hal supranatural seram lainnya ke cerita yang mau kubuat ini.”

Dira ketawa. Penghapus yang tadi kulempar itu sekarang ikut melayang-layang di atas hidung cewek monyet itu. “Kalau gitu... penyihir? Penyihir nggak seram, kan? Kayak Harry Potter gitu yang bisa ngilang pake jubah ajaib.”

Kuhela napas berat. Mungkin keren kalau ada penyihir yang punya barang-barang ajaib gitu di cerita ini, tapi... nggak. Aku membuat cerita baru ini tuh biar Marcel nggak sedih lagi. Lalu kalau melihat kepribadian Marcel, kupikir cowok itu nggak suka sama sesuatu yang nggak logis kayak ‘penyihir’.

“Iya sih, cowok kutu buku kayak dia pasti lebih suka sesuatu yang lebih ilmiah dan bisa dijelasin secara sains.” Cemberut muncul, membentuk bibir Dira. Alisnya terangkat, seolah ikut mikir. “Gimana kalau... Manusia super?”

Profesor ngelakuin eksperimen rahasia di ruang bawah tanah rumahnya. Dia buat manusia super yang bisa menghilang dengan nyuntikin sesuatu, zat-zat apalah itu, sampai akhirnya manusia super itu kabur dan balas dendam ke profesor atas eksperimen gila yang dia lakuin.

Aku hampir ketawa dengar apa yang dibilang Dira itu. Manusia super hasil eksperimen? Memang sih itu lebih ilmiah ketimbang penyihir sama hantu, tapi... rasanya nggak, deh.

Aku punya latar belakang yang lebih cocok.

Kemarin waktu aku main ke rumah Marcel, kami nonton film Reincarnate yang saat itu kebetulan lagi tayang di TV. Di beberapa scene, Marcel kelihatan senang banget ngomongin masa depan. Dia bilang reinkarnasi itu bisa dilakuin dengan cara-cara tertentu.

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang