Hidup atau mati, mana yang akan membuatku lebih bahagia?
Dulu aku pernah nonton film tentang elf yang punya umur panjang. Gadis elf yang malang, terpisah dari keluarganya. Dia mengembara ke hutan, nemuin perkemahan kecil yang hancur karena perampok. Nggak ada yang tersisa di sana kecuali abu, bongkahan-bongkahan kayu, kain yang sobek entah dari pakaian siapa, lalu juga... seorang bayi yang menangis tanpa henti.
Anak manusia yang ditinggalkan, dan gadis elf yang sendirian. Serasi. Saling melengkapi. Benar-benar pertemuan yang sudah ditakdirkan.
Gadis elf itu membesarkan si bayi manusia kayak anaknya sendiri. Tahun demi tahun, di dalam pelukan sang ibu, bayi itu tumbuh jadi anak yang cerewet, remaja yang suka berpetualang, pria gagah yang berperan besar di dalam kerajan, hingga akhirnya menua. Delapan puluh tahun hidup manusia. Bayi kecil itu sekarang sudah tidak bisa menggerakkan kaki-kaki kecilnya seperti dulu lagi. Kulitnya keripu, dan rambutnya sudah banyak yang rontok. Dia cuma bisa berbaring di atas tempat tidur. Menunggu waktu.
Sementara itu sang ibu, ratusan tahun umur elf, penampilannya masih sama kayak gadis muda. Dengan rambut yang masih mengembang sempurna, tanpa keriput, dan masih bisa bergerak dengan bebas. Gadis elf itu menyuapi sang bayi untuk yang terakhir kalinya. Bubur di dalam mangkuknya yang hangat, bercampur sama air mata.
Punya umur panjang itu nggak enak.
Gadis elf itu sekarang sendirian lagi. Bukan cuma ditinggalin sama anak manusianya yang mati menua, tapi juga teman-teman manusianya yang lain.
Setelah dipikir-pikir begitu, mungkin mati bisa jadi bikin aku lebih bahagia. Aku yang meninggal lebih dulu, nggak perlu lihat kematian orang tua yang kusayang. Nggak perlu lihat kematian suami atau anak-anakku di masa depan. Pasti sedih banget, kan? Aku nggak bisa bayangin kalau misalnya suatu hari nanti Mama sama Papa menua, nggak berdaya, dan cuma bisa tergeletak di tempat tidur.
Nggak. Aku nggak mau. Biarin aja aku mati lebih dulu. Aku nggak mau lihat hal-hal yang nggak aku pengen.
Mungkin ini agak terdengar egois, tapi pas aku mikir kayak gitu, aku jadi nggak takut lagi sama penyakitku. Separah apa pun dokter memvonis, aku nggak keberatan. Aku ikhlas. Bahkan, aku nggak terlalu ambil pusing pas dengar joke-joke-nya Dira yang kadang gelapnya kebangetan itu.
Tapi, walaupun kupikir kematian itu sesuatu yang cukup membahagiakan, aku tetap nggak ngerti sama orang-orang yang berani bunuh diri.
Siang ini, ada polisi yang datang ke seoklah. Sepasang inspektur senior dan junior. Penampilan mereka rapi, berjas selayaknya pekerja profesional. Wajah mereka kelihatan tegas, dengan kumis, dan tatapan tajam yang selalu menyelidik. Aku sempat dipanggil ke ruang kepsek untuk ditanya-tanyai. Tapi karena aku memang nggak terlalu dekat sama Marcel, aku pun cuma bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sepele.
Lagian, aneh juga, sih. Polisi mencurigaiku karena foto yang ku-posting di IG. Foto waktu kami nongkrong di kafe dua hari lalu. Aku, Rio, Liam, Bella, Amel, dan tentunya Marcel. Polisi menduga kasus bunuh diri Marcel itu berhubungan dengan kami, selaku teman dekat korban.
“Wajar, kok, menurutku,” Dira bilang begitu waktu kami duduk di kelas. “Kalau aku jadi polisi, aku juga bakal curiga sama kalian.”
Eh, si monyet satu ini malah ketawa. Aku tau Dira kalau bercanda memang kayak gitu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Kali ini beneran ada yang bunuh diri. Gantung diri. Ada polisi beneran yang menginvestigasi. Ada yang mati. Anak manusia yang beneran udah nggak bernapas lagi.
“Tenang aja kali, Ran. Bukan kamu yang ngebunuh, kan?” Dira berusaha nyemangatin. “Kalau ditanyain, kamu jawab yang jujur aja.”
Aku tau. Dari tadi aku juga sudah jawab jujur. Faktanya, aku memang nggak tau apa-apa tentang Marcel.
“Terus, apa masalahnya?”
Bunuh diri atau pembunuhan? Walaupun hampir dipastikan kalau Marcel itu bunuh diri, tapi masih ada kemungkinan kalau cowok itu meninggal karena di bunuh. Dan kalau itu benar, itu berarti pelakunya kemungkinan besar ada di antara kami.
“Menurutmu gimana?” Dira nanya. Matanya lurus menatapku. “Menurutmu ini Marcel bunuh diri atau dibunuh?”
Aku menggeleng. Aku juga nggak tau harus percaya yang mana. Semunya tolol dan nggak masuk akal.
Marcel nggak mungkin bunuh diri. Dia cowok pintar. Aku percaya sama dia. Cowok kayak dia itu nggak mungkin banget buat keputusan konyol kayak bunuh diri.
Lalu... dibunuh? Siapa yang ngebunuh? Salah satu dari kami?
Nggak. Nggak mungkin. Nggak mungkin, nggak mungkin, nggak mungkin. Siapa? Rio? Nggak mungkin. Liam? Nggak mungkin. Bella? Nggak mungkin. Amel?
Kalau Marcel emang benar dibunuh, mungkin Amel bida dibilang cocok sebagai tersangka utama. Walaupun masih beberapa hari, tapi cewek itu dekat sama Marcel. Semua tau rumornya. Dia naruh surat cinta di loker cowok itu. Mereka sempat nongkrong bareng, lalu pulang bareng juga.
Mungkin semuanya memang gara-gara Amel. Cewek-cewek bergosip, bicarain dia di kantin, di lorong, di toilet, tempat di mana nggak cewe-cewe itu biasa berkumpul. Cowo-cowo juga sama. Entah mungkin karena kebanyakan nonton film detektif atau cuma karena penasaran, cowo-cowo yang lebih sering bahas masalah game dan olahraga itu sekarang mulai membicarakan Amel. Ikut berteori dengan ide-ide mereka, lalu nyebarin gosip kemana-mana.
“Kalau iya emang kenapa?!” Beberapa hari setelah kabar kematian Marcel, Amel kayaknya sudah nggak sanggup lagi nerima lirikan tajam dan cibiran-cibiran pedas dari orang-orang. “Gue deketin Marcel biar gue bisa deket sama Rio doang. Emang kenapa?! Lo semua ada masalah?!”
Amel juga sempat beberapa kali ngelirik aku pas di kelas. Tajam. Penuh kebencian. Lirikan yang seolah bilang kalau semua ini salahku. Karena aku yang mindahin suratnya, aku yang sudah buat dia berhubungan sama Marcel. Aku yang buat dia jadi kayak gini. Aku tau sejak dulu kami memang nggak mungkin bisa berteman. Aku benci Amel karena dia cewek populer yang bisa dapetin apa aja yang dia mau, dan sekarang dia benci aku karena sesuatu yang bahkan nggak pernah aku lakuin.
Bodoh, ini semua juga salah dia sendiri, kan?
Kalau saja Amel jujur dari awal. Kalau saja dia bilang ke Marcel kalau suratnya nyasar, surat yang harusnya dia masukin ke lokernya Rio, entah kenapa malah sampai ke tangan Marcel. Kalau saja dia jujur, dan bukannya malah manfaatin keadaan kayak gini. Deketin Marcel cuma buat bisa deket sama Rio? Idiot banget nggak, sih?
Aku nggak ngerti deh apa yang ada di pikiran cewek itu.
“Kamu juga pernah kayak gitu, Kirana.” Waktu aku curhatin semua-uneg-unegku ke Bella, cewek itu merespons, “Kamu sama Amel itu nggak ada bedanya.”
Aku seketika mengerniyt, nggak ngerti sama apa yang dia bilang.
Kami berdua duduk di bangku panjang pinggir lapangan. Bella nungguin Liam yang masih main basket bareng teman-teman ekskulnya. Aku nungguin Rio yang masih piket di kelas.
Aku sama kayak Amel? Apa maksudnya?
Bella noleh, natap aku. Senyumnya kecil, seolah tau kalau aku bakal kebingungan.
“Lupain,” katanya. Dia menggeleng, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke arah lapangan. “Lupain aja apa yang barusan aku bilang.”
Aku nggak ngerti apa atau kenapa dia bilang begitu.
Tapi, aku ingat senyumnya hari sore itu. Senyum yang kecil, tapi tegar, seolah bilang ‘nggak apa-apa. Aku kuat. Aku bisa ngelewatin semua ini’. Kematian Marcel mungkin kerasa berat banget buat Bella. Aku ngerti. Marcel itu teman main Bella sejak kecil. Sudah pasti dia bakal merasa terpukul banget lihat sahabatnya sendiri meninggal secara tiba-tiba kayak gitu.
Tapi, bukan begini caranya, Bel.
Kenapa, sih?
Kenapa kamu ikut bunuh diri juga?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer