33

29 9 6
                                    

"Kiraaaaannaaaaa...."

Kalau ini mimpi buruk, aku pengen cepat-cepat bangun. Sudah cukup. Aku sudah nggak kuat lagi. Melihat darah yang keluar dari tubuh Rio sama Liam kayak gitu... rasanya mual banget. Asam lambungku naik, seolah juga pengen ikut keluar dari tubuh dan mimpiku ini.

Aku nggak bisa... menahannya.

Aku muntah. Cairan berwarna kecokelatan keluar, bersamaan dengan makan siang yang kumakan di kantin bareng Dira sebelumnya. Aku terbatuk, ngerasain perih yang menjalar ke batang tenggorokan.

Bau. Bau banget. Bau busuk itu bikin aku muntah lebih banyak. Lagi, dan lagi, sampai rasanya perutku benar-benar kosong dan nggak tersisa apa-apa lagi di dalamnya. Semua muntahan itu berkumpul di telapak tanganku, bulir-bulirnya jatuh, merembes ke lengan, ngotorin beberapa bagian seragam.

Ini buruk. Setelah semua isi perutku keluar, tubuhku terasa lemas banget. Aku nggak punya tenaga, dan rasanya nggak mungkin aku bisa ngelawan Bella setelah melihat apa yang cewek itu lakuin ke Rio sama Liam.

Apa aku bakal mati di sini?

Apa aku bakal bernasib sama kayak dua cowok itu? Tertusuk pisau dan mati karena kehilangan banyak darah?

Nggak. Aku nggak mau.

Sebelumnya, aku nggak pernah takut untuk mati. Aku sudah tau umurku tinggal sedikit dan aku seharusnya sudah siap kalau hari itu akan tiba. Tapi, aku nggak mau mati kayak gini. Nggak di tempat ini, setragis dan sebrutal ini. Aku nggak mau. Aku nggak mau..

"Kiranaaaa, kamu mau bantu aku, kan?" Monster itu melihatku, mata kami bertemu.

"Apa yang kamu mau?!" kupaksa beraniin diriku sendiri, natap balik matanya yang dingin dan sama sekali nggak punya perasaan itu.

Bella nggak menjawab. Cewek itu mendekat. Langkahnya pelan, tapi penuh kepastian.

Dia pasti mau bunuh aku. Pasti. Pasti. Pasti begitu.

Insting alami membuat kakiku bergerak sendiri, menyeret tubuhku untuk menjauh dari cewek gila ini. Aku mundur. Semakin Bella mendekat, semakin aku menjaga jarak darinya. Lebih jauh. Lebih jauh. Sampai akhirnya punggungku nabrak sesuatu. Itu pagar besi yang membatasi sisi rooftop.

Jalan buntu. Aku nggak bisa mundur lebih jauh. Aku nggak bisa kemana-mana lagi dengan Bella dan pisaunya yang menunggu di hadapanku.

"T-t-t-tolong...." Suaraku kehilangan keberaniannya. Aku pengen teriak, menjerti sekuat yang aku bisa. Ada beberapa murid yang masih berkumpul di lapangan bawah. Anak-anak futsal, paskib, dan beberapa yang ngobrol di parkiran.

Apa mereka bisa dengar suaraku kalau aku berteriak?

Apa mereka bisa nolong aku?

Apa mereka bisa lari secepat kilat, naik ke sini sebelum aku mati di tangan Bella?

Aku nggak yakin. Nggak ada waktu lagi. Bella ada di depanku, dan tinggal beberapa langkah lagi bagi dia untuk bisa nancapin pisaunya ke tubuhku. Percuma, percuma, percuma, percuma. Nggak ada gunanya teriak minta tolong. Kayak yang pernah kulihat di film-film horor, cewek yang selalu teriak-teriak histeris pasti bakal cepat mati. Aku nggak mau kayak gitu.

Pikir, Kirana, pikir. Apa yang Bella mau, gimana cara nenangin cewek itu, gimana caranya keluar dari tempat ini hidup-hidup.

Cewek itu tadi minta sesuatu, kan? Kalau nggak salah tentang Marcel, terus tentang bunuh diri, terus.... terus... apa lagi?

"Aku bisa bantu. Aku bisa bantu." Aku nggak tau mau bantu kayak gimana, tapi melihat Bella yang semakin mendekat, aku nggak punya pilihan lain.

Bella seketika berhenti mendekat. Dia natap aku dengan cukup intens, tanpa berkedip, seolah lagi mastiin aku bisa dipercaya atau nggak.

Kutelan ludah, cuma itu yang bisa aku lakuin sekarang. Cahaya matahari memantul dari pisau cewek itu. Darahnya menetes, setitik demi setitik, entah itu darah Rio atau Liam, atau darah mereka berdua yang tercampur jadi satu. Keduanya terlihat sama. Merah pekat, dan... menyedihkan.

Aku nggak nyangka bakal secepat ini.

Padahal aku baru kenalan sama mereka kemarin. Baru satu kali kami makan dan nongkrong bareng di kafe. Baru satu foto yang ku-upload di IG. Seharusnya nggak begini. Aku masih belum populer. Aku masih butuh mereka.

"Oke , Kirana." Pandanganku kembali terfokus waktu Bella kembali buka suara. "Menurutmu, kenapa Marcel bisa nekat bunuh diri? Apa alasannya?"

Aku nggak tau. Aku nggak ngerti. Marcel masih hidup. Aku sempat ketemu dengannya di lorong siang tadi. Aku juga lihat dia pulang bareng sama Amel sebelum aku naik ke sini.

"M-marcel masih baik-baik aja kok," aku jawab begitu. "A-aku lihat dia tadi...."

"Nanti malam dia bunuh diri." Bella memotong tiba-tiba. Dia ngayunin pisaunya ke leherku. Dekat banget. Bisa kurasain besi yang dingin menusuk kulit. Bau darahnya menuhin hidung.

Jadi, Marcel bakal bunuh diri, dan Bella saat ini nyuruh aku buat cari tau alasannya? Konyol, sumpah. Gimana caranya aku bisa tau sesuatu yang bahkan belum terjadi? Aku bahkan belum lama kenal Marcel. Nggak dekat. Belum akrab banget. Marcel juga kayaknya tertutup banget. Aku nggak tau apa-apa soal dia dan masalah yang saat ini cowok itu hadapi.

"Kamu... punya petunjuk?" kucoba bertanya, berharap bisa nemuin jawaban.

Bella kayaknya nggak keberatan ditanyai begitu. Dia menunduk, menyejajarkan tubuhnya dengan tubuhku yang duduk nggak berdaya di sisi rooftop. "nggak ada," katanya. "Yang kutau cuma Marcel gantung diri di kamarnya. Pintu dan jendelanya terkunci rapat."

"B-beneran bunuh diri? Bukan pembunuhan atau semacamnya?"

"Aku dulu juga mikir kalau ini mungkin pembunuhan, tapi nggak. Nggak mungkin. Ruangannya terkunci, dan nggak ada tanda kekerasan di tubuh Marcel."

Jadi sudah pasti cowok itu bunuh diri?

Bella yakin begitu. Aku nggak punya pilihan lain selain percaya sama apa yang dia bilang.

"Apa alasan dia ngelakuin itu?"

Aku nggak tau.

"Coba pikirin."

Tetap saja, aku nggak punya petunjuk apa-apa. "Mungkin ini berhubungan sama Amel," Walaupun aku nggak terlalu yakin itu alasannya.

Bella melirikku. "Cewek-cewek yang manfaatin Marcel biar bisa deket sama Rio. Sakit hati." Dia menghela napas. "Lagi-lagi alasan kayak gitu."

Aku nggak ngerti apa maksud omongannya barusan. Apa dia juga sudah menduga kalau itu alasannya?

"Emang nggak ada yang lain lagi, ya?"

Aku nggak tau mau jawab apa. Untuk saat ini, cuma itu yang ada di kepalaku.

Sejak awal pertanyaan ini sudah terdengar konyol banget. Aku nggak ngerti kenapa Bella tanya gitu ke aku. Padahal dia yang kenal Marcel sejak kecil. Dia sudah akrab dan kenal banget sama sahabatnya itu. Seharusnya Bella tau apa masalahnya, seenggaknya dia harusnya lebih tau daripada aku, Rio, atau Liam. Lagi pula, kenapa nggak tanya langsung aja ke orangnya?

Marcel masih hidup, dan kalau misalnya Bella mau tanya, mungkin cowok itu bakal senang hati bercerita, curhatin semua masalahnya dengan Bella sebagai sahabatnya sendiri.

Nggak perlu tanya aku.

Nggak perlu tanya ke Rio atau Liam.

Nggak perlu ada yang mati begini.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang