Kenapa tiba-tiba jadi begini?
Bella perlahan mendekat. Tatapannya dingin, cenderung kosong. Walaupun dengan pisau di tangannya, cewek itu melangkah tanpa ragu, seolah sudah nggak peduli sama apa pun yang bakal terjadi dan siap banget untuk nusuk tepat ke dada kami.
Itu... beneran Bella, kan?
Wajahnya sama kayak Bella, postur tubuh dan suaranya juga sama. Tapi, entah kenapa rasanya beda banget.
Ada sesuatu yang salah.
Marcel bakal bunuh diri malam ini? Apa maksudnya? Lalu, kami disuruh buat nyari tau kenapa dan apa solusinya? Kalau nggak bisa, kami bakal dibunuh?
Yang benar aja!
“Bel, bahaya, Bel. Jangan main-main sama pisau kayak gitu.” Liam kelihatan makin panik waktu Bella mulai dekat ke arahnya. Kedua tangannya bersiap, telapak tangannya terbuka, seolah siap menangkis jika saja Bella tiba-tiba melayangkan pisaunya.
“Kamu kenanap, sih?!” seketika aku juga ikut panik. Kakiku gemetar, bingung harus tetap berdiri di sini atau lari entah ke mana.
“Aku capek.” Cuma dua kata itu. Dua kata yang rasanya kayak jarum-jarum es kecil, menusuk belakang leherku. Dua kata yang cocok buat nggambarin gimana ekspresi Bella saat ini.
Apa yang terjadi?
“Lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, aku balik ke sini lagi! Marcel mati lagi! Balik lagi, mati lagi!”
“Bel, tenang. Tenang, oke?” Liam sudah berusaha, tapi Bella tetap nggak bisa tenang. Cewek itu megang pisau dengan tangan yang gemetaran. Emosi nguasain tubuhnya dari atas sampai bawah.
“Apa maksud kamu, Bel?” Aku tentu pengen bantu dia. Tapi, gimana caranya aku bisa bantu kalau aku sendiri nggak ngerti apa masalahnya. “Coba ceritain lebih jelas. Pelan-pelan. Biar kami bisa ngerti.” Nggak cuma aku, aku yakin Rio sama Liam juga pengen bantu Bella mecahin masalahnya.
Tiba-tiba, Bella melirik, matanya tepat mengarah ke mataku. “Kirana, kamu....” Dia melangkah lebih dekat. “Kamu dulu... pernah bunuh diri, kan? Iya. Aku yakin itu.”
Sumpah, aku makin nggak ngerti. .Apa maksudnya? Aku... bunuh diri? Konyol banget! Apa gunanya aku ngelakuin hal kayak gitu?!
Cewek itu menunduk, Seolah baru nyadar sesuatu. “Kamu... nggak ingat, ya?” dia tanya gitu. Suaranya lirih banget, kayak lagi nahan tangis. “Ya, wajar sih. Kamu yang ada di sini sekarang pasti nggak bakal ingat.”
Nggak ingat apa? Apa aku ngelupain sesuatu?
Aku sama Bella baru kenal nggak lama ini. Sejak kemarin aku naruh surat di lokernya Rio, dan cowok itu ngenalin Bella ke aku pas kami berada di parkiran. Sebelum itu? Kayaknya nggak, deh. Aku sama Bella sebelumnya nggak punya hubungan apa-apa.
“Kamu mungkin nggak ingat. Tapi, Kirana, di timeline yang sebelumnya kamu pernah bunuh diri.” Walaupun apa yang dibilang Bella ini kelihatan gaco banget, tapi dia kelihatan jujur dan sama sekali nggak main-main. “Kamu dituduh sebagai pembunuhnya Marcel. Kamu di-bully, lalu mati karena overdosis obat-obatan.”
Aku mengernyit. Rasanya aneh dan nggak mungkin banget. Kenapa aku yang dituduh jadi pembunuh Marcel? Kenapa juga aku harus bunuh diri cuma gara-gara di-bully? Nggak masuk akal. Bahkan dark joke-nya Dira nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama cerita Bella yang satu ini.
“Kamu... nggak percaya, ya?”
Aku pengen menggeleng buat jawab pertanyaan itu, tapi pisau dan bayangan diriku yang terpantul dari kilau mata Bella membuat tubuhku kayak mati rasa. Aku nggak bisa gerak, nggak bisa ngeluarin suara. Bernapas pun rasanya sulit banget.
“Kalau gitu... maaf, Kirana.”
Untuk sesaat kupikir aku akan mati. Bella bergerak terlalu tiba-tiba. Aku belum siap. Cewek itu mengerjang dengan pisaunya, Tanpa ragu dia mengincar ke arah dada, salah satu bagian paling vital dalam tubuhku. Kalau saja Rio nggak sigap melawan dan mendorong balik Bella, mungkin aku sudah terkapar berlumuran darah sekarang,
“Ambil pisaunya, Yam!” Rio berseru, sambil mengunci kedua pergelangan tangan Bella yang masih dalam posisi jatuh tersungkur setelah didorong.
Liam mengerti. Cowok itu nggak nyia-nyiain kesempatan ini. Dia bergerak cepat, memfokuskan diri ke pisau yang masih tergenggam erat di tangan Bella.
Mengetahui posisinya yang lagi terancam, Bella berontak lebih kuat. Dia berteriak, nendang-nendang tanpa arah sampai tendangannya itu beberapa kali kena ke perut dan paha Rio, membuat seragam cowok itu kotor terkena debu dan kotoran berbentuk jejak sepatu.
“Lepasiiiinnn!!” Kudengar Bella merintih kesakitan.
“Cepetan, Yam!” Rio juga sama, menahan sakit dari tendangan Bella yang bertubi-tubi.
Liam nggak menjawab. Dia terlalu fokus buat melepas pisau yang ada di genggaman Bella. Tangan cowok itu gemetar dan memerah, beberapa jarinya terlihat lebam karena pertengkarannya dengan Rio tadi.
Ini buruk. Buruk banget. Rio sama Liam sudah cukup babak belur dan kehabisan banyak tenaga. Dua cowok yang hampir tumbang melawan satu cewek yang emosinya lagi meledak-ledak. Siapa yang bakal menang? Aku nggak tau. Aku nggak bisa ngebayangin. Kalau saja Rio sama Liam dalam kondisi prima dan nggak penuh luka, mungkin mereka bisa ngerebut pisau itu dengan gampang. Tapi, kalau begini....
Aku harus bantu mereka. Entah bagaimanapun caranya, aku harus bisa bantu.
Sayang, semuanya sudah terlambat.
Bella menggigit tangan Rio yang sedang menahannya. Cowok itu refleks berteriak dan menarik kembali tangannya. Keseimbangannya goyah. Lalu dengan sekali tendangan, Rio jatuh dari tubuh Bella.
Sekarang nggak ada lagi yang nahan pergerakan cewek itu.
Liam didorong sampai cowok terpelanting. Bella buru-buru bangkit. Napasnya berembus cepat, seolah seluruh emosi yang ada di dalam dirinya sudah nggak bisa ditahan lagi. Jari-jarinya mencengkeram pisau dengan kuat. Dia menatap Liam yang tersungkur nggak jauh dari tempatnya berada. Lalu....
Cairan merah keluar dari leher Liam, tempat Bella menusuknya.
Ini... cuma mimpi, kan?
Aku mungkin masih di rumah sakit sekarang, ketiduran habis minum obat. AC-nya yang dingin pasti bikin aku mimpi buruk. Atau karena buburnya yang nggak enak, ya? Atau mungkin gara-gara aku habis nonton film horor?
Ya, benar. Pasti begitu.
Ini cuma mimpi buruk, Kirana. Ini cuma mimpi buruk.
Waktu Bella narik kembali pisaunya dari leher liam, makin banyak darah yang keluar, muncrat ke mana-mana, bahkan sampai ngotorin seragam Bella sendiri.
“Li-am....” kucoba panggil dia, berharap Liam bakal merespons entah gimana caranya. Percuma, Kirana, percuma!
Setelah muntah darah, Liam benar-benar jatuh. Tubuhnya yang lemas terlihat nggak berdaya. Matanya terlihat kosong, menatap langit sebelum akhirnya tertutup dan dia pun ngehembusin napas terakhirnya.
Kenapa?
Kenapa jadi begini, sih?!
Seolah belum puas dengan kematian Liam, Bella dengan cepat melirik Rio dengan tatapan seolah sudah siap untuk membunuh. Korban selanjutnya terpancar dari mata Bella. Cewek itu bergerak cepat, ngayunin pisaunya yang sudah berlumuran darah Liam, melesat menusuk Rio.
Panik menghiasi wajah Rio. Murid baru itu mulai bergerak nggak karuan. Dia sudah bersiap untuk lari, tapi kakinya tersandung-sandung. Jeritan minta ampunnya terdengar sia-sia, sesaat sebelum Bella sampai di belakangnya.
Tusukan pertama, Rio terjatuh lagi.
Tusukan kedua, nggak ada yang bisa berhentiin Bella.
Tusukan ketiga, Suara Rio mulai melemah.
Tusukan keempat dan seterusnya, cuma ada hening yang tersisa.
Liam sudah nggak ada. Rio juga sudah nggak ada. Cuma ada aku, korban selanjutnya di mata monster yang berwujud seperti Bella ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer