20

30 12 0
                                    

Sesuai kayak janji kami kemarin, sore ini aku harusnya pulang sekolah bareng Rio. Naik motor, boncengan berdua. Persis kayak sepasang putri dan pangeran negeri dongeng, naikin kuda putih yang cantik, menuju matahari yang terbenam.

Sialan, aku jadi senyum-senyum sendiri mikirin gitu doang.

Mau gimana lagi, pulang boncengan bareng Rio itu mungkin impian hampir semua cewek di sekolah ini. Dari yang aku denger-denger sejauh ini, cuma ada beberapa orang doang yang pernah boncengan sama Rio. Bella, salah satunya. Sisanya? cuma teman sekelas dia yang numpang pulang.

Lalu sore ini... aku. Aku.

Gimana ya respons cewek-cewek lain nantinya? Pasti bakal rame banget, kan? Pasti banyak yang kepo, stalkerin akun IG-ku, follow, nyari tips gimana cara aku bisa deketin cowok super populer kayak Rio. Nggak cuma di sosmed, tapi mungkin di sekolah, atau di mana pun itu. Tentu saja aku bakal baik ke mereka. Bahkan kalau mau, aku bisa saja ngenalin mereka ke Rio secara langsung. Hahahaha!

Belum, Kirana Veralia. Belum. Jangan sombong dulu. Masih banyak yang harus aku lakuin.

Setelah selesai piket dan mastiin lantainya bersih, aku langsung melesat ke halaman depan, parkiran motor. Rio kemungkinan besar sudah nunggu aku di sana, duduk di atas motornya yang berwarna merah terang, main hp, nyetel musik, atau entah apa yang dia lakuin untuk ngusir rasa bosan.

Gawat! Aku nggak boleh bikin Rio nunggu lama-lama.

Kupercepat langkahku. Melewati lorong dan kelas-kelas yang sudah hampir kosong. Turun tangga, belok, lurus, sana-sini, sampai akhirnya aku sampai ke halaman depan. Silau. Cahaya matahari sore menerpa wajahku. Bisa kulihat beberapa anak yang masih mengobrol di depan gerbang, beberapa berkumpul di dekat pos satpam, terus ada juga anak-anak ekskul voli lagi ngelakuin pemanasan di pinggir lapangan. Di parkiran?

Di area parkiran cukup ramai juga. Ada kakak kelas, beberapa anggota OSIS, lalu murid-murid lain yang nggak aku kenal. Rio?

Aku memfokuskan arah pandanganku ke tempat Rio biasa markirin motornya. Sedikit ke pojok, dekat pohon besar yang katanya sudah ada di sana sejak seratus tahun yang lalu. Motor merah. Ada. Aku lihat. Motornya Rio masih terparkir di sana. Tapi, aku nggak lihat keberadaan cowok itu sama sekali. Kuperhatiin lagi area sekitar tempat itu dua, tiga kali lagi, tapi hasilnya masih tetap sama.

“Oi, Kirana!” Waktu aku masih sibuk memicingkan mata, kudengar ada suara yang manggil namaku. Suara cowok. Rio? Kayaknya bukan.

Aku noleh ke asal suara itu. Lapangan basket, ada satu cowok di sana. Tinggi, senyumnya lebar, matanya tertuju ke arahku. Dia melambaikan sebelah tangannya tinggi-tinggi, sementara satu tangannya lagi memeluk bola basket di samping pinggang. Aku kenal dia. Nggak mungkin aku nggak kenal. Itu Liam.

Setelah sekilas mastiin tetap nggak ada Rio di area parkiran, aku ngehampirin Liam yang masih tetap tersenyum di pinggir lapangan basket.

Kami bertukar sapa, lalu aku tanya, “Lihat Rio, nggak?”

Liam diam sebentar, menarik bibirnya sampai membentuk garis lurus. “Emangnya kenapa?” tanyanya. “Kalian mau pulang bareng juga?”

Aku mengangguk. Eh, tapi. “Juga?” apa maksudnya?

Liam berdecih, senyuman kecil terbit di wajahnya. Cowok itu mendribel bola, lalu memantulkannya ke arahku. Pelan, sih. Tapi karena aku lagi nggak fokus dan emang nggak jago main basket, bola itu malah kutepis ke samping, menggelinding sampai ke tengah lapangan.

Liam membuang napas berat, tapi masih tersenyum. “Yahh, tangkap dong, Ran,” katanya, sambil setengah ketawa.

Kuhampiri bola itu, kuambil, lalu kulempar ke arah Liam. Persis kayak apa yang kubayangin, cowok itu bisa nangkap lemparanku dengan gampang.

“Juga itu... maksudnya apa?” aku tanya gitu.

Liam membuat ancang-ancang, seolah mau ngelempar bola itu ke arahku lagi, tapi sebelum itu, dia menjawab, “Oh, nggak,” katanya. “Tadi Marcel sama Amel juga pulang bareng.”

Belum sempat aku bilang, “Oohh,” cowok satu ini sudah ngelempar bolanya lebih dulu. Sama kayak yang pertama kali, aku gagal nangkapnya.

Liam sekali lagi mendesah, “Yahhh...,” tapi aku nggak terlalu ambil pusing.

Habis dengar jawaban Liam tadi, aku jadi nggak habis pikir. Yang ada di pikirannya Amel itu apa, sih? Kemarin sepulang sekolah dia kayaknya senang gitu bisa jalan sama Marcel. Waktu nongkrong di kafe juga masih oke-oke aja. Terus tadi pagi malah marah-marah, nuduh aku yang nggak-nggak. Sekarang? Cewek itu pulang bareng Marcel?

Sumpah, apa sih maksudnya?!

Kuambil bola basket yang sudah berhenti menggelinding itu, lalu kulempar balik ke Liam. “Terus, kamu lihat Rio, nggak?” aku tanya sekali lagi.

Liam menangkap bola itu tanpa masalah. “Rio? Lagi ngerokok kayaknya.” Cowok itu melirik ke arah samping kiri-kanan, sikapnya waspada, seolah nggak pengen ada orang lain yang dengar. Lalu, dia menekankan satu telunjuk ke depan bibirnya, kayak orang tua yang nyuruh anaknya untuk diam atau jaga rahasia.

Aku tau. Merokok emang dilarang di sekolah ini, apalagi buat murid yang masih di bawah umur kayak Rio.

“Dia nunggu lo tadi, tapi lo lama nggak dateng-dateng.” Dia mulai ngelakuin ancang-ancang lagi, ngarahin bolanya tepat ke arahku. “Tunggu aja di sini, bentar lagi juga pasti balik tuh si Rio.”

Harusnya sih begitu. Aku pengen telepon dia, ngasih tau kalau aku sudah di parkiran. Tapi, kayaknya nggak perlu, deh. Nggak enak rasanya kalau nyuruh dia buru-buru.

Kuhela napas berat. Bola basket melambung ke arahku. Kedua tanganku sudah bersiap di tempatnya, jari-jariku melebar, seolah sudah siap menyambut siapa saja yang datang ke hadapanku. Aku yakin aku bisa. Walaupun dengan tangan yang sedikit gemetar, akhirnya aku bisa menangkap bola itu.

Nice catch!”seru Liam sambil tersenyum lebar.

Kulempar balik bola, kali ini lebih semangat. Liam agak kaget lihat bola yang kulempar bergerak lebih cepat dari yang sebelumnya. Tapi, cowok itu bisa nangkap dengan mudah. Gelar Top MVP cowok ini kayaknya memang bukan main-main.

Untuk sementara waktu, kami main lempar tangkap biasa. Liam nunjukin beberapa trik. Memutar-mutar bola,  bermanuver kesana-kemari, melempar sambil melompat ke belakang. Cukup menyenangkan sih, ya, walaupun tentu saja aku nggak bisa menangkap semua lemparan itu.

Beberapa menit berlalu, Rio pun akhirnya datang. Walaupun Liam bilang kalau Rio habis merokok, tapi penampilannya tetap masih kayak murid biasa yang baru saja keluar dari kelas. Seragamnya bisa dibilang cukup rapi, tanpa dasi. Rambutnya berantakan, cukup wajar, sih, karena toh sudah sore. Tas sekolah berwarna biru tua menggantung di pundaknya.

Kuhampiri cowok itu. Dia tersenyum kecil ke arahku. Bisa kurasain beberapa cewek lain di belakangnya memerhatikan, lalu saling berbisik satu sama lain sepanjang perjalanan kami ke area parkiran.

Ini bakal jadi sore yang nggak bakal pernah bisa kulupain, sih. Pasti.

Untuk pertama kalinya, aku boncengan sama Rio, cowok paling populer di sekolah.

Satu hari yang indah, sebelum semuanya hancur lebur karena tragedi yang nggak bisa kami hindari.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang