“Sudah. Cukup. Aku nggak mau lagi.” Dengan suara lirih seolah sudah kehabisan tenaga, Bella mengangkat wajahnya, natap pria di hadapannya itu dengan ingus dan air mata yang mulai mengering. “Kalau aku beri tau semuanya, apa Profesor bakal percaya?”
Profesor nggak menjawab. Nggak mengangguk, apalagi menggeleng. Pria itu cuma diam, mematung. Kalau aku yang ada di posisi profesor, mungkin aku juga bakal ngelakuin hal yang sama. Berdiri kayak orang linglung, nggak ngerti apa mau Bella, apa yang dia minta. Nyuruh dia buat tenang dan segera pulang juga kayaknya bakal sia-sia.
Aku pernah dengar kalau remaja-remaja yang belum matang kayak kami ini memang kadang nggak bisa ngendaliin emosi. Banyak hormon yang memengaruhi, lalu juga cewek kayak Bella yang mungkin saat ini masih dalam masa mensturasi. Aku nggak tau, sih. Tapi, jelas cewek itu emosinya lagi nggak stabil.
Apa mungkin karena itu?
Nggak. Rasanya nggak mungkin banget. Aku memang sering badmood kalau lagi mens, tapi aku nggak pernah sekalipun marah-marah sampai nangis histeris kayak Bella gitu.
Pasti ada yang lain. Faktor yang nggak aku tau. Sesuatu yang aku yakin berhubungan sama Marcel. Apa, ya?
“Cuma untukmu, Profesor. Aku akan beri tau rahasia ini.”
Bella menyapu ingusnya dengan punggung tangan. Kucoba deketin telingaku lebih dekat ke dinding. Mataku mengintip, entah apa pun yang bakal bElla bilang, aku sudah bersiap.
"Yang pertama, namaku bukan Bella. Bella itu nama mamaku. Namaku yang sebenarnya itu....”
Asa. Cewek itu bilang namanya Asa. Walaupun samar, aku yakin aku nggak salah dengar. Jadi dia... Bella... maksudku Asa... Nggak. Dia bilang itu nama aslinya. Lalu Bella itu...? Asa? Ini gimana sih?!
Bella itu Asa?
Asa itu... siapa?
Yang ada di hadapan profesor itu?
Sumpah, sumpah, sumpah, sumpah, ini nggak jelas banget! Sebelumnya aku sudah pusing dan nggak ngerti apa-apa, dan sekarang, ditambah yang beginian, aku jadi makin nggak paham sama apa yang terjadi.
Cewek itu... Bella, kan?
Aku yakin itu Bella. Cewek yang sama kayak yang aku kenal sejak beberapa hari yang lalu. Dia yang ngajak aku buat ikut nongkrong bareng ke kafe sepulang sekolah. Dia juga yang bikin rencana untuk main di rumah Marcel malam ini. Bella yang kukenal. Sahabat Marcel sejak kecil. Teman dekatnya Rio sama Liam.
Apa maksudnya dia bukan Bella?
“Aku datang dari masa depan,” dia bilang. “Marcel bakal bunuh diri malam ini. Lalu, Profesor....”
Profesor bakal bangkitin Marcel lagi.
Aku nggak percaya sama semua yang aku dengar. Tapi, melihat dari gerak-gerik Bella yang dramatis dan penuh emosi, aku nggak yakin kalau cewek itu lagi bohong.
Profesor yang sedih banget karena kematian Marcel, berusaha bangkitin anak satu-satunya itu lagi semampu yang dia bisa. Dengan pengetahuannya di bidang medis, teman-teman sesama pengajarnya di universitas, murid-muridnya yang terpercaya. Mereka ngelakuin eksperimen rahasia ke tubuh Marcel, lebih tepatnya otak cowok itu.
Implantasi otak. Ini sama kayak apa yang dibicarain Marcel sebelumnya. Menurut apa yang kudengar dari Bella, profesor bakal mindahin otak dan ingatan Marcel ke sesuatu, semacam mesin, mungkin? Sumpah, aku nggak ngerti.
“Klon, atau tubuh buatan,” Bella memperjelas. “Ada satu murid Profesor yang ngebocorin proyek rahasia ini ke organisasi ilmuwan Rusia. Mereka awalnya awalnya nggak setuju karena apa yang Profesor lakuin itu nggak manusiawi. Mereka bahkan berencana bakal ngelaporin kalau saja Profesor nekat ngelakuin tindakan-tindakan berbahaya lainnya.”
Walaupun begitu, pada akhirnya proyek itu tetap dilanjutkan. Setelah melihat jurnal dan progres yang Profesor buat, organisasi ilmuwan itu malah ikut membantu. Mereka ngirim dana berjumlah besar demi kebutuhan eksperimen. Untuk mesin-mesin yang Profesor butuhin. Tubuh baru Marcel, juga otak yang mengontrol di dalamnya.
Setelah penantian panjang. 24 tahun sejak Marcel mati, cowok itu... bangkit lagi, menjadi sesuatu yang baru. Tubuh besi yang nggak bisa ngerasain rasa sakit. Nggak bisa menua. Nggak bisa ngerasain lapar atau haus. Makhluk yang hampir abadi.
“Apa Profesor tau apa yang bakal terjadi selanjutnya? Bisa profesor bayangin?” Senyum pedih membentuk bibir Bella. “Bersamaan dengan Marcel yang terlahir kembali, perang besar juga akan ikut terlahir.”
Perang dunia ketiga. Pemerintah negara-negara besar tentu saja memperebutkan ‘Marcel’ untuk memperkuat pasukan militer mereka. Mau gimanapun, teknologi klon ini bisa sangat berguna sekaligus merpotkan kalau berada di tangan musuh. Dengan tubuh yang nggak bisa mati, otak yang bisa dipindah sesuka hati. Orang-orang percaya, negara yang punya kekuatan itu bakal jadi negara terkuat yang bisa mendominasi seluruh isi bumi.
Sialan, dadaku sampai sesak waktu Bella atau Asa ini cerita begitu. Kayak cerita di film-film. Kalau misalnya saja si Dira yang cerita kayak gini, mungkin aku bakal nyemburin tawa terus berkomentar, “Buset deh. Kamu habis baca novel apaan sih, Nyet?” Sayangnya, yang cerita gitu bukan Dira.
Ini Bella. Dan walaupun semua yang dia ceritain itu nggak masuk akal banget, tapi entah kenapa ada satu bagian di diriku yang bilang kalau cewek itu beneran nggak lagi bohong, apalagi bercanda.
Tatapan Bella yang terlihat lelah dan putus asa, senyumnya yang kayak mau menyerah. Pundaknya yang lemas dan nggak bertenaga. Semua itu membuatku percaya.
“Aku datang ke sini untuk mencegah perang besar itu terjadi.”
Dia yang datang dari masa depan, bertugas untuk mencegah Marcel bunuh diri, akar dari semua masalah yang ini. Kalau Marcel hidup, Profesor nggak akan memulai eksperimen gila itu. Klon manusia nggak akan tercipta, dan perang dunia ketiga nggak bakal terjadi. Itu misi dan rencananya.
Sayangnya, dia sudah gagal berkali-kali. Marcel tetap saja bunuh diri. Cewek itu harus kembali lagi ke masa lalu. Lagi, lagi, dan lagi. Hingga dia sampai di titik ini.
“Tolong, Profesor. Untuk kali ini aja, percaya sama aku.”
Entah mungkin karena capek mendengar omong kosong ini, Profesor terlihat pasrah. “Baiklah, Bella.” Dia mendengarkan. “Apa yang kamu mau?”
Bella mendongak, natap profesor dengan mata yang bersinar, seolah naruh semua harapannya di pundak pria itu. “Aku mohon untuk malam ini aja, ajak Marcel keluar. Terserah mau ke mana. Jalan-jalan keliling kota sampai pagi, nongkrong di taman atau di mana pun itu. Bebas. Aku juga bakal ikut nemenin kalau profesor mau. Yang penting... jangan sampai Marcel sendirian di kamar.”
Profesor mengangguk. “Kalau itu yang kamu mau, profesor bakal usahakan. Tenang saja. Marcel pasti aman. Kamu nggak perlu khawatir.” Pria itu terlihat meyakinkan. Dia mengusap pelan kepala Bella.
Terlepas dari percaya atau nggaknya aku sama cerita Bella, aku tetap berdoa agar Marcel tetap baik-baik saja malam ini. Cowok itu sudah kuanggap kayak teman dekatku sendiri, jadi tentu saja aku nggak pengen sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Marcel bakal tetap hidup dan sekolah kayak biasa keesokan harinya. Aku yakin begitu.
Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya.
Marcel beneran mati bunuh diri, persis kayak apa yang dibilang sama Bella.
Kalau begitu, semua yang diceritain Bella itu nyata, dong?
Dia beneran datang dari masa depan? Cuma untuk mencegah Marcel bunuh diri? Lagi, lagi, dan lagi?
Sudah berapa kali?
Sudah berapa kali Bella kembali ke masa lalu dan mengulang semua ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer