Aku nggak tau ini termasuk ide bagus atau ide buruk.
Ngenalin Amel ke Rio? Sebenarnya sih, aku nggak terlalu keberatan. Aku sama Rio cuma sebatas teman biasa, nggak ada perasaan lebih. Walaupun dulu aku punya rencana buat deketin dia, tapi sekarang sudah berbeda.
Tentang Amel? Aku nggak terlalu suka sih sama dia. Cewek itu cerewet, suka ngegosip, lebay, dan kadang tingkahnya konyol banget. Rasanya nggak nyaman kalau berada dekat-dekat sama dia. Tapi....
Kupikir nggak ada salahnya juga aku mulai berhubungan dekat sama Amel.
Amel kurang lebih sama populernya kayak Bella. Kalau aku dekat dengannya, mungkin aku bisa jadi jauh lebih populer lagi. Lewat circle-nya Amel, teman-temannya di ekskul cheerleader. Popularitasnya bisa nular ke aku. Dan nggak lama kemudian, mungkin aku bisa setara, sama populernya kayak mereka.
Kerugiannya? Aku nggak tau. Kalau cuma ngenalin Amel ke Rio doang sih, kayaknya nggak ada yang rugi. Tapi, tetap saja, aku nggak bisa mutusin ini sendiri.
“Aku tanya ke Rio dulu, ya,” kubilang gitu ke Amel. Kalau si Rio itu mau diajak kenalan, baru aku bisa bawa Amel ke hadapannya. Kalau Rio nggak mau? Ya sudah. Aku bisa apa.
Sekarang, aku mau ke perpus, ketemu sama Marcel.
Perpus ada di lantai dua, sebelah kanan koridor. Aku jalan ke sana dengan langkah yang cukup terburu-buru. Nggak tau kenapa, tapi obrolanku sama Amel barusan bikin aku bad mood banget. Aku pengen cepat-cepat pergi ke perpus, duduk, dan entah ngobrolin apa sama Marcel.
Mungkin seharusnya aku bawa salah satu buku tulisku. Aku minta ajar Marcel biar kami punya topik oobrolan. Tapi, kayaknya sudah terlambat, deh. Aku ada di depan perpus sekarang. Nggak mungkin kan kalau aku balik lagi ke kelas cuma buat ngambil buku doang. Lagi pula Marcel....
Marcel ada di sana, duduk di meja pojok belakang sesuai dugaanku. Tapi, ada cewek yang duduk di hadapannya.
Bella. Aku tau dia sama Marcel memang teman dekat dan bahkan sudah kayak bersahabat sejak kecil, tapi kalau dilihat-lihat begini, rasanya nyebelin banget!
“Hai!” Kusapa mereka waktu berjalan melewati rak-rak buku.
Bella menoleh, mengangkat alis dengan raut yang sedikit terkejut, lalu melemparkan senyum ramah kayak biasa. “Kangen sama Marcel, ya? Cie, cieee.” Dia menggeser tubuhnya untuk ngasih aku tempat duduk tepat di hadapan Marcel. “Sini, sini. Maaf ya, aku pinjam Marcel-nya sebentar.”
Kuenduskan tawa, lalu duduk di kursi panjang di sebelah Bella. “Kalian ngobrol apa?” tanyaku. “Aku ganggu, nggak?
“Eh?” Bella menggeleng. “Nggak kok. Aku tadi cuma bilang ke Marcel kalau di kelas tuh jangan suka ngelamun.”
“Ngelamun?” Kuperhatikan wajah Marcel. Aku nggak tau dia biasanya kelihatan kayak gimana, tapi aku sadar kalau cowok yang ada di depanku ini memang rasanya agak lesu. Bagian bawah kantung matanya menghitam kayak orang belum tidur, dan tubuhnya.... kelihatan rapuh.
“Iya, tadi aja dia hampir dimarahin sama Bu Agnes, disuruh cuci muka biar kelihatan lebih segar dan nggak ngelamun lagi.”
“Marcel, kamu sudah makan?” tanyaku, berusaha bersikap lembut dengannya. “Kamu sakit?”
Cowok itu menggeleng. “Aku nggak apa-apa,” katanya. “Lagian, kalian ngapain sih ke sini?!”
Sejenak, bisa kurasain nada bicara Marcel yang meninggi. Cowok itu menatap kami satu per satu, napasnya sedikit ngos-ngosan, alisnya menukik tajam, kayak orang yang lagi nahan emosi dan terganggu sama keberadaan kami.
Transfered Memory. Aku nggak sengaja lihat judul buku yang ada di bawah lengan Marcel. Dari ketebalan dan sampulnya, aku tau kalau buku itu bukan buku fiksi kayak novel atau kumpulan cerpen pendek yang kadang kubaca waktu lagi gabut banget. Bukan. Buku yang dibaca Marcel itu jelas buku non-fiksi. Mungkin, sejenis catatan ilmiah atau semacamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer