5

53 17 2
                                    

Leherku kerasa sakit banget sejak aku bangun tidur pagi ini. Aku nggak tau kenapa, tapi menurutku itu cuma gara-gara salah posisi tidur atau semacamnya.

Kalau diingat-ingat, tadi malam aku juga sempat bermimpi. Mimpi buruk, bisa dibilang. Aku bahkan nggak ngerti kenapa aku bisa punya mimpi kayak gitu. Tempatnya gelap. Aku nggak bisa lihat apa-apa selain warna hitam. Angin dingin berhembus entah dari mana, dan juga ada suara gesekan daun-daun di sekitar telingaku. Lalu....

Rasanya leherku kayak dicengkeram kuat-kuat. Jari-jari yang melingkari leherku, kuku-kukunya yang tajam. Monster? Atau mungkin hantu?

Aku nggak tau. Sudah lama banget rasanya aku nggak mimpi buruk kayak gitu.

“Kamu kebanyakan nonton film horor, sih!” Dira bilang begitu pas aku cerita ke dia. “Makanya sebelum tidur tuh baca doa dulu.”

Kuhela napas berat sambil ngerasain sedikit rasa nyeri yang masih tertinggal di leher. “Ini masih pagi, Dir. Belum waktunya pelajaran agama.”

“Yeee, dibilangin.”

“Sudah, Diraaa. Kemarin sebelum tidur aku udah doa, udah cuci kaki, aku nggak nonton film horor, terus aku juga nggak ngomel sendiri, nyinyirin cewek-cewek gaul yang populer di sosmed.”

“Eh? Beneran?”

Nggak sih, aku bohong, tapi ya bodo amat. Aku mimpi buruk itu mungkin karena aku memang lagi banyak pikiran. Teru sakit leher ini? Kayak yang sudah kubilang sebelumnya, pasti karena salah tidur.

“Mungkin ini pertanda, Ran.”

“Pertanda apa?”

Dira mulai senyum-senyum sendiri. Firasatku mulai nggak enak. Kayaknya si monyet itu bakal ngeluarin dark joke nyebelin yang sama sekali nggak lucu.

“Pertanda kalau sebentar lagi kamu bakalan mat....”

Tuh kan benar. Sudahlah, mending nggak usah didengarin si monyet satu ini.

Satu-satunya yang harus kupikirin saat ini mungkin tentang kelanjutan hubunganku sama Rio. Walaupun di luar rencana, tapi bisa dibilang aku sudah berteman dengan murid aru itu. Kami sudah bertemu, bersalaman, dia tau namaku, dan kami sempat ngobrol sedikit kemarin.

“Apa rencananya masih bisa dilanjutin?” Rasanya sayang banget kan kalau rencananya Dira itu gagal begitu aja cuma gara-gara salah paham.

“Kayaknya susah deh, Ran,” Dira jawab gitu sambil nunduk. “Kamu itu udah bikin si Marcel sakit hati. Marcel itu kan juga temennya Rio, jadi secara nggak langsung kamu juga bikin Rio ilfeel sama kamu.”

“Iya juga, sih. Tapi itu kan bukan salahku.” Sejak awal surat itu memang bukan buat Marcel.

“Ya, mau gimana lagi?”

Kuhela napas berat, lalu kualihkan pandangan ke luar jendela. Cuaca hari ini nggak cocok banget sama mood-ku. Aku pengen hujan, pengen lihat bulir-bulir air yang jatuh ke jendela, dengerin rintik-rintiknya, tapi yang aku dapat malah hari yang cerah, nggak ada awan mendung dan tanda-tanda hujan sama sekali.

Di luar, bisa kulihat murid-murid dari kelas lain baru saja selesai olahraga. Mereka balik ke kelas pakai baju olahraga yang basah kena keringat, beberapa ada yang jalan sambil men-driblle bola basket, cowok sok ganteng, dan cewek pakai pita sama bawa botol minum di sampingnya. Aku nggak tau itu siapa, tapi aku bisa ngerasain kalau mereka berdua itu semacam pasangan populer yang sering pamer kemesraan di medsos dan bikin iri kaum-kaum non-populer yang kerjaannya cuma mantengin HP doang seharian.

Tch, Ngeliatin mereka berdua jalan beriringan kayak gitu, aku jadi ingat sama Marcel. Dia....

Eh, ada sesuatu di parkiran.

Aku baru sadar, ada mobil yang lagi parkir di sana.

Mobil polisi.

Ada apa?

Aku tunjukkin mobil polisi itu ke Dira. Cewek itu mengernyit, lalu celingukan, mencari keberadaan mobil yang ada di luar jendela kelas itu.

“Menurutmu ada apa?” SI Monyet malah balik tanya.

Aku pengen tetap berpikiran positif, jadi kujawab, “Mungkin itu cuma alumni yang sukses jadi polisi, terus datang ke sini buat ketemu guru-guru yang pernah ngajarin dia dulu.”

Dira mengangguk-angguk seolah setuju sama teoriku. Tapi, aku tau diri pasti punya pemikiran lain.

“Menurutmu kenapa?” tanyaku.

Dira melirik mobil itu sekali lagi. “Kalau menurutku sih, kayaknya polisi itu mau nangkap orang di sini. Mungkin ada yang korup, atau mungkin... ada anak yang ikut tawuran pake senjata tajam terus bikin anak lain mat....”

“Udah nggak usah dilanjutin.”

“Yeee, katanya minta pendapatku.”

“Tapi ya nggak gitu juga, Nyet!” Sumpah, nih anak, ya.

Dia malah ketawa.

Nggak ada anak yang pernah tawuran di sini. Semuanya damai-damai aja. Nggak ada geng atau semacamnya, apalagi sampai berani pakai senjata tajam. Nggak. Nggak ada. Polisi itu ke sini pasti bukan buat nanganin kasus kayak gitu.

Lalu kenapa?

Banyak yang tanya kayak gitu bahkan setelah jam istirahat selesai. Tapi, tetap nggak ada yang tau jawaban pastinya. Sampai saat itu....

Pas jam pelajaran sejarah, ada satu guru olahraga yang masuk ke kelasku. Ia sempat berbincang sedikit sama guru sejarah yang masih mengajar, lalu mulai melirik seluruh ruangan kelas, kayak lagi nyari seseorang.

“Kirana Veralia.”

Aku? Aku yang mereka cari?

Aku nggak ngerti kenapa. Semua orang di kelas itu seketika noleh ke arahku, melirikku dengan mata mereka yang penuh pertanyaan, lalu mulai berbisik satu sama lain.

Sumpah, rasanya nggak enak banget, apalagi pas masih ada mobil polisi yang terparkir di halaman. Rasanya kayak jadi penjahat yang tertangkap basah, terus bakal ditahan di penjara.

Nggak. Aku nggak salah.

Aku nggak ngelakuin apa-apa.

“Kepala sekolah ingin bicara denganmu,” ujar guru olahraga itu waktu aku sampai di depan kelas.

Aku mengangguk, nerima begitu aja tanpa berniat untuk membantah.

Habis minta izin dan melirik Dira untuk yang terakhir kalinya, aku sama guru olahraga itu pun bergegas ke ruang kepala sekolah.

Tempatnya ada di lantai bawah, dekat sama ruang guru dan ruang TU. Kami berjalan dengan tempo yang lumayan cepat, kayak orang yang lagi buru-buru. Aku sebenarnya pengen tanya ada apa dan kenapa cuma aku yang dipanggil, tapi aku nggak berani. Canggung. Guru olahraga itu wajahnya serius banget. Tegang. Alhasil aku pun cuma bisa diam hingga akhirnya kami sampai dan masuk ruang kepala sekolah.

Ada tiga orang yang menyambutku di sana. Pak Kepsek, dan dua orang pria berjas yang nggak aku kenal.

Polisi? Aku yakin banget kalau mereka itu polisi, entah karena postur tubuh mereka yang tinggi tegap, tatapan mata mereka yang tajam dan terlihat kayak lagi menginvestigasi, atau mungkin cuma karena aura mereka? Aku nggak tau. Aku cuma yakin kalau dua orang berjas itu polisi. Mereka yang mengendarai dan memarkir mobil itu di halaman depan.

Kenapa?

Mereka nyari siapa?

Aku? Nggak mungkin, kan? Aku nggak salah apa-apa. Aku nggak pernah ngelakuin kejahatan atau tindakan kriminal. Nggak pernah dan aku yakin nggak akan pernah.

Lalu kenapa?

Kenapa di meja itu... ada foto Marcel?

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang