19

37 14 3
                                    

“Eh? Kok bisa?” Dira kelihatan nggak percaya sama apa yang barusan aku bilang. Dia majuin wajahnya lebih dekat ke kamera. Alisnya terangkat. “Gimana ceritanya?”

Habis nongkrong bareng Rio sama teman-temannya di kafe tadi sore, saat ini aku lagi video call-an sama Dira. Sebagai seorang sahabat yang sering kujadiin tempat curhat, aku cerita semua yang terjadi ke si cewek monyet ini. Mulai dari Rio yang baca surat dan nemuin aku di lapangan belakang, perkenalan pertama kami, sampai ke yang paling mengejutkan: hubungan Amel sama Marcel.

“Aku juga nggak tau,” jawabku. “Katanya, sih, Amel naruh surat cinta gitu di loker.”

“Lokernya Marcel?”

Aku mengangguk.

Dira mengerutkan dahinya kayak orang lagi curiga, nyelidikin sesuatu. “Kamu yakin?”

“Emang aneh, sih.” Bukan aneh, tapi kayak... mustahil banget. Amel yang aku tau itu nggak kayak gini. Cewek itu lebih suka teman yang sefrekuensi sama dia. Yang sama-sama populer, yang sama-sama suka nongkrong bareng di mal-mal, yang penampilannya sama-sama modis. Amel yang kukenal seharusnya kayak gitu. Dia nggak mungkin mau berteman, apalagi suka, sama cowok culun kayak Marcel.

“Mungkin dia mau nyoba sesuatu yang baru.” Dira nyengir dari balik layar. “Dia bosen sama cowok hyper-aktif, terus pengen coba agak pasif-agresif.”

“Sialan.” Aku ketawa. Idiot banget, sumpah!

“Atau mungkin...,” Dira melanjutkan, “Ada satu anggota keluarganya Amel yang sekarang lagi sekarat di rumah sakit, terus nyuruh Amel buat lebih banyak berteman sama cowo yang baik-baik.”

“Husss!” Aku menggeleng kecil, mengisyaratkan Dira untuk berhenti bercanda.

Cewek itu mengangguk, mengerti, lalu minta maaf dengan suara yang saking pelannya sampai hampir nggak bisa aku dengar.

“Ya, pokoknya bagus deh kalau dia berhubungan sama cowok kutu buku itu.”

“Mungkin Amel cuma pengen belajar bareng sama Marcel.” Itu teoriku, mengingat nilainya yang anjlok banget akhir-akhir ini. Tapi... rasanya itu juga nggak mungkin, sih. Kalau niatnya cuma mau belajar bareng, harusnya lebih masuk akal kalau Amel ngajak Dira. Dira kan juga pintar. Sama-sama cewek. Sekelas. Kenapa harus repot-repot ngirim surat cinta ke Marcel?

“Mungkin dia cuma mau minta contekan.” Kali ini Dira ngasih teori yang bisa diterima akal sehat. “Kelasnya Marcel itu udah ulangan matematika, kan? Kelas kita belum. Nah, mungkin Amel pengen nyari tau gimana soal-soalnya entar.”

Aku nggak tau. Kupikir Amel itu tipe orang yang nggak terlalu peduli sama nilai ulangan. Tapi... bodo amatlah. Biarin aja Amel dekat sama Marcel atau siapa pun itulah. Toh, bukan urusanku juga. Kenapa aku yang pusing?

Kuminum obat harianku, lalu kubaringkan tubuhku ke tempat tidur. Hari ini rasanya capek banget. Tapi, aku suka. Aku berhasil kenalan sama Rio. Bukan cuma Rio doang, tapi juga Bella sama Liam yang nggak kalah populernya.

Sebentar lagi. Tinggal sedikit lagi.

Masih sempat nggak, ya?

Aku pengen mereka datang ke pemakamanku. Rio, Bella, sama Liam. Amel juga nggak apa-apa. Mereka, sama teman-teman mereka yang lain.

Pasti rame banget, kan? Hahahaha.

Aku harus bisa jaga hubunganku sama mereka. Kalau bisa aku mau lebih dekat lagi.

Sayang, kayaknya ada aja masalah yang ganggu.

Besoknya di sekolah, Amel nyamperin mejaku. “Lo kok bisa sama Rio, sih?!” Amel tanya gitu. Matanya melotot, alisnya mengerut, nada suaranya pun mendesak. Sudah jelas ini bakal jadi pembicaraan yang penuh sama emosi.

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang