34

28 10 7
                                    

“Percuma, Ran”

Seharusnya aku sudah tau.

“Aku sudah coba tanya langsung ke Marcel,” Bella jelasin semuanya, seolah nggak peduli aku bakal percaya atau nggak padanya. “Aku sudah maksa cowok itu buat ceritain apa masalahnya. Aku juga sudah buat acara main kartu buat ngehibur dia. Aku sudah lakuin semuanya, berkali kali, hasilnya? Tetap sama. Cowok itu tetap bunuh diri kayak yang sebelum-sebelumnya.”

Kenapa Marcel bunuh diri, dan bagaimana solusinya. Cuma dua pertanyaan itu yang terus-terusan ditanyain Bella kepadaku.

Pertanyaan pertama: kenapa?

Kenapa Marcel bunuh diri?

Aku nggak tau. Aku sudah beranggapan kalau itu mungkin ada hubungannya sama Amel, tapi Bella kelihatan nggak puas sama jawabanku. Ada alasan lain. Kemungkinan-kemungkinan yang nggak aku mengerti. Cuma Marcel yang tau, dan aku bukan cenayang yang bisa baca apa yang ada di pikiran cowok itu.

Aku nggak tau, aku nggak tau, aku nggak tau.

Darah mulai terlihat mengering di mata pisau Bella, begitu juga dengan bekas muntahan yang nimbulin noda-noda kekuningan di seragamku.

Cewek itu menatapku. Tanda tanya menuhin kilau matanya. Sama kayak aku, dia juga ikut mikir. Kulihat beberapa kali alisnya terangkat, tapi tetap aja dia nggak bisa nemuin jawaban.

Kenapa dan gimana?

Aku nggak tau kenapa Marcel bunuh diri. Lalu, gimana dengan pertanyaan selanjutnya?

Waktu ada ulangan matematika atau pelajaran apa pun itu, aku juga sering begini. Aku sering lompatin soal-soal yang menurutku sulit banget. Kayak pas ulangan fisika minggu lalu, misalnya. Ada soal tentang fluida di nomor lima, aku lupa gimana rumusnya, jadi aku lebih milih buat lompatin saja soal nomor itu lebih dulu dan beralih ke soal selanjutnya, soal nomor enam.

Kurasa aku bisa ngelakuin hal kayak gitu juga untuk permasalahan Bella ini.

Aku sudah nyerah mikir kenapa si kutu buku Marcel itu bunuh diri. Otakku buntu dan aku nggak bisa mikir apa-apa. Jadi, aku coba lompat ke pertanyaan selanjutnya.

Gimana? Apa solusi untuk masalah ini? Gimana cara biar Marcel nggak jadi bunuh diri?

Ada beberapa solusi yang muncul di kepalaku. Tentu kurasa Bella pasti pernah mikir kayak gitu juga.

Anggap saja Marcel mau bunuh diri itu karena depresi atau patah hati, solusi terbaik yang bisa kupikirin ya cuma ngehibur dia saja. Persis sama kayak yang Bella bilang sebelumnya, tentang dia yang ngadain pesta kecil-kecilan, main kartu dan semacamnya. Hal-hal menyenangkan kayak gitu seharusnya bisa bikin Marcel lebih baikan dan sedikit lupa sama masalah hatinya sendiri.

Sayangnya, Bella sudah coba cara itu berkali-kali, dan hasilnya pun sia-sia.

Semeriah dan semenyenangkan apa pun acara itu, Marcel tetap bunuh diri.

Solusi kedua yang kupikirin mungkin sedikit lebih ekstrim. Gimana kalau... kami begadang sama Marcel sampai pagi, dan nggak ngebiarin Marcel sendirian di kamarnya sama sekali.

Bella bilang kalau pestanya itu selalu selesai sekitar jam 9-10 malam, hingga kami semua pulang dan Marcel tinggal sendirian  di kamarnya.

Mungkin, kalau kami menginap satu malam di sana, Marcel bakal mikir-mikir lagi dan nggak jadi bunuh diri.

“Itu nggak mungkin,” Bella menyanggah ideku. “Profesor, ayahnya Marcel, nggak bakal ngebolehn untuk begadang, apalagi menginap. Besok masih sekolah, dan Marcel harus tidur biar nggak terlambat bangun pagi.”

Kalau begitu, tinggal cara ketiga.

Kita bawa saja Marcel ke psikiater. Biar dokter yang lebih ahli yang nanganin masalah ini.

Tentu, ini juga nggak bakal gampang. Profesor kemungkinan besar nggak bakal setuju, dan Marcel juga pasti nggak akan mau dianggap kayak orang terkena gangguan jiwa.

“G-gimana menurutmu?” Aku tanya begitu, sambil berusaha nggak lihat cipratan darah yang mengotori kerah seragam Bella.

Cewek itu menunduk. Tatapannya lesu, seolah kecewa sama jawaban yang kuberikan.

Aku tau. Sejak awal rasanya emang mustahil banget. Gimana caranya aku bisa solusi yang tepat, kalau inti masalahnya saja aku nggak tau.

Nggak mungkin. Nggak mungkin.

“Kamu membuatku kecewa, Kirana.”

Untuk sesaat, kurasain semilir angin menerpa punggungku. Pagar jaring-jaring besi yang di belakangku bergoyang, terdorong oleh tubuhku yang terus memaksa mundur, menjauh dari Bella.

Apa sudah selesai?

Cuma sampai di sini doang?

Aku bakal mati sebentar lagi?

Sepertinya begitu. Senyum Bella yang biasanya ceria nggak lagi terukir di wajah cewek itu. Jemarinya kembali mengerat, menggenggam pisau sampai rasanya pisau berdarah itu sudah menyatu di dalam kepalan tangannya.

Dia bakal nusuk aku, kan?

Sudah pasti.

Persis kayak dia nusuk Rio sama Liam. Dengan pisau yang sama, di tempat yang sama.

Apa nggak ada yang bisa aku lakuin?

Pasti ada.

Ayo, Kirana. Pikir lagi. Pikir lagi. Sebelum ujung pisau itu menembus kulit dan organ dalammu, kamu masih punya waktu.

Pasti ada sesuatu yang aku lewatin. Ingat-ingat lagi. Apa saja yang sudah Bella bilang. Apa saja yang sudah Bella ceritain ke aku. Tentang Marcel. Cowok itu bunuh diri. Lalu apa? Apa lagi? Tentang masa depan. Profesor yang bersedih karena kematian Marcel dan berusaha bangkitin cowok itu. Lalu tentang perang dunia.

Nggak masuk akal. Semuanya nggak masuk akal. Mana mungkin aku cari jawaban dari semua masalah itu? Yang benar aja!

“Cara keempat. Bunuh saja profesor.”

Kulihat Bella berhenti bergerak waktu dengar jawaban itu. Mata pisaunya hampir menembus seragamku. Tinggal beberapa senti. Kalau telat beberapa detik, mungkin aku akan mati.

Tapi, siapa yang bilang begitu? Bunuh profesor? Itu ide gila. Aku nggak mungkin bisa mikir cara kayak gitu sebagai solusinya.

Suara itu... datang dari sebelahku, persih di samping pundakku. Ada seseorang di sana. Cewek, seumuran denganku. Dia yang dikenal sebagai juara kelas, pencinta film horor, dan penikmat dark jokes yang kadang nggak bisa kumengerti.

“Dira?” Aku menoleh waktu cewek itu ketawa. “Sejak kapan kamu ada di....”

“Nyaris banget ya, Ran.” Dira ngehembusin napas lega.

Baru kusadari Bella sudah sedikit menjauh dariku. Dia menarik pisaunya kembali. Matanya melongo, natap aku seolah apa yang dibilang Dira tadi itu ide yang bagus dan layak untuk dicoba.

“Kita lupain dulu masalah Marcel,” Dira bilang begitu dengan cukup percaya diri, seolah topik yang kami bicarain ini cuma candaan biasa. “Kita fokus ke masalah kamu, Bella.”

Bella bilang, tugas utamanya ke sini itu untuk mencegah Marcel bunuh diri dan membuat perang dunia di masa depan nggak pernah terjadi.

Intinya, Bella ngelakuin semua ini untuk masa depan.

“Jadi gampangnya, kamu bunuh saja profesor. Kalaupun Marcel masih tetap bunh diri, nggak akan ada lagi yang bisa bangkitin dia. Nggak ada implantasi otak. Nggak ada klon. Nggak ada perang dunia.”

Aku nggak tau itu ide yang bagus atau nggak. Nggak tau itu solusi yang dicari Bella atau nggak. Dibanding solusi, apa yang dibilang Dira itu rasanya lebih kayak dark joke. Cewek itu cuma ngeluarin apa yang ada di pikiran dia, nggak peduli baik atau buruk.

Dan sama kayak candaan-candaan gelap yang sering kudengar dari dia sebelumnya, aku nggak pernah ketawa untuk menanggapinya.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang