14

36 13 1
                                    

“Kamarku ada di atas. Kamu tunggu sini sebentar ya, Ran,” Bella bilang begitu pas kami sampai di ruang tamu rumah keluarga Neviah. “Nggak lama kok. Sabar, ya. Jangan ke mana-mana.”

Aku mengangguk, lalu duduk dengan sopan di sofa. Aku tau Bella berasal dari keluarga pengusaha yang kaya, tapi aku nggak nyangka banget dia punya rumah sebesar ini. Sejauh mataku bisa melihat, rumah ini dipenuhi sama barang-barang mewah, mirip kayak hotel internasional bintang lima, atau mungkin istana. Guci dan barang-barang antik terpajang di mana-mana. Lampu gantung berkilauan. Sofa yang kududuki, meja di hadapanku, bahkan majalah-majalah bisnis yang tergeletak di atasnya, nggak heran sih kenapa Bella bisa populer di sekolah.

Lima menit.

Bella lama banget. Ruang tamu ini memang kelihatan keren sih, tapi aku nggak nyaman berada ruangan besar kayak gini lama-lama. Kosong. Sunyi. Rasanya kayak ada yang merhatiin aku, entah siapa dan dari mana.

“Bel?” kupanggil dia, tapi nggak ada jawaban. Sekali, dua kali.

Kupikir nggak sopan teriak-teriak di rumah orang, jadi kuputuskan untuk berdiri, mencoba sedikit berkeliling sambil melihat-lihat.

Bella bilang, kamarnya ada di lantai dua. Aku ke sana pelan-pelan, menapaki satu per satu anak tangga marmer yang kelihatan kokoh banget. Pegangannya terbuat dari kayu, mungkin kayu jati atau kayu mahal lainnya. Ukiran-ukiran berbentuk ombak abstrak menghiasi sampai ke ujung.

Di sana, tepat beberapa langkah setelah anak tangga terakhir, ada kamar yang kelihatan terbuka. Pintunya berwarna merah muda cerah, ada gantungan boneka kecil di depannya. Aku yakin itu kamarnya.

“Bel?” kupanggil dia sekali lagi sambil terus melangkahkan kaki, berusaha mendekat. “Kartunya udah ketemu?”

Ada suara grusuk-grusuk dari kamar itu. Kupikir kartunya belum ketemu. Bella masih mencarinya, dan mungkin dia butuh sedikit bantuanku.  Aku nggak tau, tapi aku pengen maju lebih jauh.

“Bel, kamu....”

“Eh, Kirana?!” Bella langsung noleh waktu aku berdiri di depan pintu. Matanya terbelalak, kayak orang yang lagi kaget banget. Matanya kelihatan panik. Dia juga dengan cepat gerakin tangannya, mengambil sesuatu di atas meja. “Ka-kamu ngapain ke sini? Kan aku udah nyuruh kamu tunggu di bawah.”

“Maaf.” Aku tau yang aku lakuin ini memang agak nggak sopan. Tapi, “Udah lima menit lebih, Bel. Kupikir kamu....”

Bella natap aku tajam banget. Alisnya mengerut, kayak mau marah.

Aku minta maaf sekali lagi, lali bertanya, “Kartunya udah ketemu, belum?” untuk mengalihkan pembicaraan.

“Udah.” Dia mengulurkan sekotak kartu yang baru saja dia ambil dari atas meja ke hadapanku. “Yuk, balik!”

Aku mengangguk. Tapi, sebelum aku mulai melangkah, aku perhatikan sedikit kondisi kamar Bella. Kamar cewek itu sebenarnya nggak terlalu beda dari apa yang aku bayangin. Ada tempat tidur besar, bantal dan selimut yang kelihatan lembut banget, bonek-boneka yang berjejer, lemari, meja belajar, poster idol dan pernak-pernik yang bernuansa merah muda cerah. Sekilas memang kayak kamar cewek girlie pada umumnya. Tapi, hidungku ngerasa ada yang aneh.

Bau parfum. kuat banget. Wanginya sampai ngebuat hidungku terasa gatal.

“Ada parfum yang tumpah, ya?” Mungkin dua atau tiga botol yang tumpah?

Belum sempat Bella menjawab, dia langsung mencengkeram pundakku, memaksa tubuhku untuk berbalik, mengarah ke tangga.

“Nggak usah dipikirin,” katanya, sambil mendorongku menjauh dari kamar. “Ayo balik. Marcel sama temen-temen pasti udah nunggu.”

“Tapi....” Nggak ada yang bisa kulakuin. Aku turun tangga, kembali ke ruang tengah, keluar, ngambil kresek camilan yang ada di bagasi mobil Amel, lalu kembali ke rumah Marcel sesuai kemauan Bella.

“Lama banget, sih!” Liam ngomel kayak gitu waktu kami sampai.

Aku naruh kresek camilan ke samping Amel. Cewek itu membukanya, lalu mempersilakan semua yang ada di situ untuk mengambil dan menikmati jajanan di dalamnya.

Ini malam yang cukup seru, kurasa. Aku sama Marcel---sebagai pasangan---yang nggak terlalu jago main kartu, beberapa kali sempat menerima hukuman. Pipi dan dahi kami dicoreti dengan bedak bayi. Ke hidung, bahkan sampai mengotori sedikit poni dan rambut sampingku juga. Kacau. Sekitar jam setengah sepuluh, pas permainan sudah selesai dan kami semua berencana mau pulang, wajahku kelihatan kayak anak kecil yang terperosok jatuh ke dalam karung tepung.

Bella sama Liam sempat beberapa kali kalah dan nerima hukuman juga, tapi nggak sebanyak jumlah kekalahanku sama Marcel. Sementara itu, Amel sama Rio yang sering menang, wajahnya masih cukup bersih. Cuma ada beberapa coretan putih kecil yang bisa langsung hilang tanpa perlu cuci muka.

“Gimana? Gue hebat, kan?” Amel banggain dirinya sendiri di hadapan Rio. “Udah gue bilang, pasti menang kok kalau se-tim sama gue.”

Amel ketawa. Rio juga sama.

“Kalian kompak banget, ya.” Bella sampai muji mereka kayak gitu. “Nggak kayak si ini.” Dia melirik Liam. “Bawa sial mulu.”

Liam tentu saja nggak terima dikatain begitu. “Bawa sial? Elo tuh yang nggak bisa main.”

“Kartuku jelek-jelek semua gara-gara kamu!”

“Lah, kok gara-gara gue?”

 “Iya, lah!”

“Mana bisa gitu.”

“Udah, ngalah aja, Yam.” Rio nepuk bahu Liam. Cewek tuh emang selalu bener. Percuma lo debat sama dia.”

Liam berdecih. Wajahnya masih kayak nggak terima, tapi kurasa dia sadar kalau ini semua cuma permainan biasa. Nggak perlu dibikin pusing, apalagi sekarang sudah malam. Nggak sopan banget kan kalau ribut-ribut di rumah orang malam-malam begini.

Setelah ruang tengah itu sudah bersih, bungkus camilan dan minuman sudah dibuang, dan kami semua sudah selesai cuci muka, kami pun bergegas untuk pulang.

Rio sama Liam dengan helm dan motor mereka masing-masing. Aku sama Amel yang sudah siap masuk ke mobil. Bella....

Bella harusnya tinggal jalan kaki ke seberang rumah.

Nggak ada masalah. Semuanya sudah selesai. Walaupun sering kalah, tapi kurasa Marcel cukup senang dengan permainan tadi. Kulihat dia beberapa kali ketawa, dan bahkan ikut bercanda di sela-sela permainan. Nggak kayak Marcel yang sebelumnya yang marah-marah mulu kayak orang lagi kesurupan.

Mungkin aku bisa berhubungan lagi dengan dia.

Aku masih bisa terus pura-pura suka, deketin dia kayak gini, tetap berteman sama Rio, Liam, dan juga Bella. Perlahan jadi populer.

Seharusnya begitu, kan?

Malam itu, waktu aku natap Marcel di halaman rumah, aku benar-benar nggak tau. Aku nggak nyangka, dan aku yakin semua orang yang ada di situ pun juga punya pemikiran yang sama.

Itu malam yang cerah. Bulan bersinar di balik awan. Nggak ada hujan. Angin bertiup ringan. Sama kayak malam-malam biasanya.

Lalu kenapa?

Aku sama sekali nggak ngerti.

Setelah semua keseruan yang kami lakuin bersama, Kenapa Marcel bunuh diri?

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang