"Kirana?" Marcel duduk di meja paling belakang waktu aku sampai di perpus. Dia menutup buku, membetulkan posisi kacamatanya, lalu mempersilakan aku duduk di bangku panjang yang ada di hadapannya. "Ka-kamu... kenapa ke sini?" tanya dia.
Transfered memories. Aku nggak sengaja lihat sekilas judul buku yang tadi dibaca Marcel. Sampulnya berwarna hitam dengan sedikit corak abu-abu, isinya lumayan tebal jika dibandingin sama buku-buku yang tertata rapi di rak. Mungkin semacam novel horor atau misteri. Aku nggak terlalu peduli. Marcel juga dengan cepat menutupi buku itu dibalik lengannya waktu aku mendaratkan tubuhku di bangku.
"Ada yang mau aku bicarain," ujarku sambil menekan suara agar tidak terlalu berisik.
Marcel menatap tepat ke mataku, seolah tahu ini bakal jadi pembicaraan yang serius.
"Sebenarnya...."
"Kamu bohong, kan?"
Napasku rasanya kayak tersekat. Aku nggak nyangka Marcel bakal langsung motong perkataanku kayak gitu.
"Kamu cuma main-main," katanya. "Kamu nggak serius. Kamu nggak benar-benar pengen kenalan denganku. Kamu...."
Marcel menegakkan punggungnya. Bisa kulihat pantulan wajahku dari bola mata cowok itu. Tatapan yang menghakimi. Penuh kekecewaan. Aku nggak suka. Rasanya aku jadi kayak orang jahat di sini. Aku yang salah. Aku yang nggak peduli sama perasaan Marcel.
Kenapa?
Padahal ini bukan salahku. Aku sama sekali nggak bermaksud. Ini cuma salah paham, Surat itu. Semuanya.
"Maaf."
"Surat itu. Kenapa kamu naruh surat itu di lokerku, Ran?" Marcel menaikkan dagunya. "Untuk main-main? Untuk mengejek? Untuk ngerendahin aku?"
"Nggak." Aku menggeleng. "Bukan begitu. Aku...."
"Aku tau aku ini emang cowok cupu. Aku nggak kayak Rio atau Liam yang bisa gampang berbaur, punya banyak temen, nongkrong sana-sini bareng yang lainnya. Aku tau, kamu cuma mau ngerjain aku, kan? Entah mungkin kamu ditantang sama temen kamu, atau mungkin kamu kalah main truth or dare. Atau cuma iseng? Kamu bosen, terus pengen ngerasain gimana rasanya dekat sama cowok kutu buku kayak aku?"
"Nggak...." Tanpa sadar tanganku sudah mengepal erat banget, gemetar menahan emosiku sendiri. "Kamu salah paham, Cel."
Sejak awal semuanya sudah salah.
"Surat itu seharusnya buat Rio. Bukan buat kamu." Aku seharusnya bilang kayak gini dengan pelan-pelan dan penuh penyesalan, tapi sayangnya aku nggak bisa. aku nggak bisa. Nggak bisa, nggak bisa, nggak bisa. "Maaf. Aku juga nggak mau jadi kayak gini."
Aku jelasin semuanya ke Marcel. Aku pengen populer. Aku pengen kenalan sama Rio biar bisa jadi populer. Rio. Bukan Marcel.
"Bohong."
Aku... bohong?
"Kamu nggak mungkin salah naruh surat itu, Ran. Kamu pasti sengaja."
Nggak. "Aku nggak kayak yang kamu pikirin, Cel." Aku nggak sengaja. Bahkan aku sejak awal juga nggak terlalu setuju sama rencana Dira ini. Aku nggak salah.
Lagi pula, kenapa Marcel serius banget sama masalah ini?
Aku sama dia baru kenalan kemarin. Kami cuma ngobrol bentar. Ngobrol biasa, nggak terlalu ngegombal atau sampai yang mesra-mesraan. Cuma itu. Seharusnya hubungan kami masih sebatas teman biasa. Nggak perlu sampai se-lebay ini.
Apa Marcel beneran suka?
Suka sama aku?
Nggak. Nggak mungkin. Itu tolol banget kalau beneran terjadi. Aku memang nggak terlalu kenal Marcel, tapi aku tau kutu buku kayak dia itu biasanya punya pikiran yang rasional, nggak gampang terbawa perasaan begini. Nggak. Marcel bukan tipe orang yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama kayak tokoh cowok-cowok di Wattpad.
"Aku memang nggak bisa buktiin, Cel." Aku sudah nggak tahan lagi. Seluruh tubuhku maksa untuk berdiri, bangkit dari kursi. "Aku sudah jujur. Bukan aku yang naruh surat itu ke loker kamu. Ini semua cuma salah paham. Aku nggak bermaksud jahat. Aku nggak pernah berniat buat ngerjain kamu. Terserah kamu mau percaya atau nggak."
Dengan sedikit hentakan, kuseret kakiku menjauh dari meja yang ada di pojok perpus itu, ninggalin Marcel sendirian.
Sedikit pun aku nggak menoleh.
Aku nggak pengen terjerumus terlalu jauh ke dalam kesalahpahaman ini. Aku harap Marcel ngerti. Dia cowok yang baik. Aku ngerasa sedikit kasihan sama dia, tapi... mau gimana lagi.
Sumpah, ini mungkin hari paling berat yang pernah kurasain.
Aku ngehabisin separuh waktu istirahatku buat merenung, berdiam diri di toilet, sampai jam istirahat berakhir dan aku terpaksa harus kembali ke kelas.
"Gimana?" tanya Dira waktu aku duduk di sampingnya.
Aku nggak tau. Aku memang berhasil ngobrol empat mata sama Marcel, berhasil jujur dan bilang kalau semua ini cuma salah paham, tapi... entah kenapa kayak ada yang salah.
"Itu cuma perasaan kamu doang, kali."
Aku pikir juga begitu.
Aku pikir besok semuanya bakal balik kayak semula. Aku tetap jadi cewek biasa yang sama sekali nggak populer, nggak gaul. Murid tak kasat mata yang nggak dikenal sama siapa-siapa.
Lalu kenapa?
Kenapa jadi begini?
Malam, setelah aku selesai ngerjain pr dan menyiapkan buku-buku buat pelajaran besok, aku iseng-iseng main HP.
Ini malam yang cerah. Aku duduk di dekat jendela, ngerasain angin malam yang berembus membelai rambutku. Bulan bersinar kayak biasa. Nggak ada awan, nggak ada bintang. Sepi. Cuma ada suara jangkrik dan lagu balad tahun 80-an yang disetel Ayah di tape lamanya yang sering rusak di ruang tengah.
Jam 8:13, notifikasi itu muncul.
Aku jarang banget nerima notifikasi. Palingan ya chat dari Dira, atau notifikasi iklan nggak penting dari aplikasi, atau notif rekomendasi video YouTube. Tapi, malam itu berbeda.
Itu notifikasi dari Instagram. Ada yang komen di salah satu postinganku.
Sumpah, awalnya aku nggak nyangka banget. Malam-malam begini....
Dengan campuran rasa senang dan penasaran, aku pun langsung membuka aplikasi yang sering jadi media pamer anak-anak gaul itu. Aku cek kotak notifikasinya, dan ternyata emang benar. Baru beberapa detik yang lalu, ada yang komen.
"kamu jahat, Kirana."
Dari akun yang nggak aku kenal.
"Kamu jahat...." Gue baca kalimat yang terpampang di layar itu sekali lagi. Kali ini dengan lebih teliti, lebih saksama, berharap gue salah baca dan salah mengerti.
K-a-m-u. J-a-h-a-t.
Kamu jahat.
Aku nggak salah baca. Tulisannya memang begitu. Benar. Nggak ada typo atau kesalahan lainnya.
Siapa ini? Marcel? Apa dia bikin akun palsu buat neror aku?
Nggak. Nggak mungkin. Ini kekanakan banget. Marcel nggak kayak gitu.
Apa maksudnya? Aku sama sekali nggak ngerti.
Jahat? Apanya yang jahat?
Kenapa aku disebut jahat?
Apa salahku? Apa yang sudah aku lakuin sampai disebut jahat kayak gitu?
Malam itu aku nggak bisa tidur. Aku takut. Setiap kali aku mejamin mata, aku lihat ada Marcel. Bisa kurasain keberadaanya. Kulit tangannya yang waktu itu pernah nggak sengaja nyentuh tanganku, hangat tubuhnya, baunya, suaranya. Dia dekat. Rasanya kayak dia ada di sebelahku. Tapi, nggak.
Nggak. Dia nggak ada.
Seharusnya emang nggak ada.
Aku sendirian. Di kamar. Ngga ada siapa-siapa selain aku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer