26

24 10 0
                                    

Marcel kelihatan kukuh banget sama keputusannya, kayak pohon beringin yang nggak bakal tumbang walaupun diterjang angin badai. Cowok itu tetap nyuruh kami buat pergi, ninggalin dia sendirian dan ngelupain rencana main yang sudah kami buat.

Bella sudah beberapa kali membujuknya, bilang kalau nggak ada salahnya main sebentar, curhat ke teman tentang masalah yang terjadi, dan berharap kita semua bisa ngelewatin masalah itu dengan bersama-sama.

Rio sama Liam juga bilang hal yang serupa. Mereka membujuk Marcel semampu yang mereka bisa.

Hasilnya? Sia-sia. Marcel tetap nggak ngizinin kami masuk.

Apa yang bisa kami lakuin? Kalau teman-teman terdekatnya Marcel aja nggak bisa bujuk dia, aku bisa apa?

Kuhela napas berat. Sebagai sesama introvert, kurasa aku bisa sedikit ngeti sama perasaan Marcel. Cowok kutu buku itu nggak butuh dihibur. Dia nggak pengen main bareng sama teman-temannya. Kalau aku yang ada di posisi Marcel sekarang, mungkin aku juga bakal lebih milih mengurung diri di kamar, merenung di pojokan, sampai mengantuk, dan bangun dengan pikiran yang lebih segar keesokan paginya.

“Sudah, yuk, Bel.” Kuusap punggung Bella. Napasnya tersengal-sengal sehabis berdebat sama Marcel yang keras kepala. “Kupikir, Marcel memang lagi pengen sendiri untuk saat ini.”

Bella seketika noleh, natap aku dengan mata yang memerah dan sedikit berair. Alisnya mengerut, kayak nggak terima sama apa yang barusan aku bilang.

Untuk sesaat, kukira Bella bakal marah padaku. Kakiku sudah siap untuk melangkah mundur jika seandainya cewek itu membentak. Kualihin pandanganku ke samping, menghindari tatapan Bella yang berapi-api. Tapi, sebelum dia meluapkan emosinya padaku, ada suara mesin motor yang datang, lalu berhenti di depan gerbang.

Bella seketika menoleh, aku sama teman-teman yang lainnya juga ngikutin ke arah yang sama.

Ada yang datang. Sesosok pria berjas rapi. Sendirian.

“Prof?” Bella kayaknya nggak asing sama sosok pria itu. Marcel juga sama. Tatapannya yang agresif mendadak jadi sedikit lebih tenang.

Pria itu masuk begitu saja ke pekarangan, markirin motornya di samping motor Rio, lalu melepas helm yang nutupin wajahnya.

“Ada apa ini?” tanya pria itu. Suaranya berat, serasi kayak penampilannya yang terkesan sudah berumur. Dia mengamati aku sama Bella, lalu berganti natap Marcel, seolah memfokuskan pertanyaan itu untuknya.

Dari umur dan wibawanya, aku asumsiin kalau pria ini kemungkinan besar ayahnya Marcel. Mungkinkah begitu? Aku juga nggak tau, sih.

Dari postur wajahnya, aku nggak melihat banyak kemiripan. Dari rambutnya juga beda. Pria itu rambutnya cenderung ikal, nggak kayak Marcel yang rambutnya lurus. Tapi, melihat sikap Marcel yang kelihatan tunduk, aku yakin banget kalau pria itu emang ayahnya.

“Ini, Prof. Si Marcel nggak ngizinin kami masuk.” Bella mengadu, komplain ke pria berjas yang dia panggil dengan sebutan Prof itu.

Marcel kelihatan goyah waktu ditatap oleh sang Ayah. Kepalan tangan yang selalu dia tahan di samping tubuhnya itu perlahan mulai melunak. Cowok itu awalnya masih tetap keras kepala. Dia bilang nggak punya waktu buat main-main, punya banyak tugas dan alasan-alasan lainnya. Tapi, habis diceramahi oleh pria itu, Marcel nggak punya pilihan lain. Sambil mengembuskan napas panjang, akhirnya kami diperbolehin masuk ke rumah.

“Itu tadi ayahnya Marcel, kan?” aku sempat tanya gitu pas jalan ke ruang tengah, tentu saja dengan suara pelan bisik-bisik.

Bella mengiyakan dengan satu anggukan. Sesuai kayak apa yang aku duga, pria itu emang ayahnya Marcel. Hanya saja, Ayah tiri.

Ayah kandung Marcel sudah meninggal sejak Marcel masih kecil. Ibunya menikah lagi dengan pria yang berprofesi sebagai pengajar di universitas ternama dan sering dipanggil dengan sebutan profesor ini. Lalu, waktu proses persalinan anak mereka, adik Marcel, sang Ibu ikut meninggal bersamaan dengan anak yang ada kandungannya, menyisakan Marcel dan pria itu sendirian.

“Hubungan mereka gimana?” tanyaku pas kami sudah duduk di karpet ruang tengah. Ayah Marcel sudah beranjak ke dapur. Marcel juga saat ini masih berada di kamarnya yang terletak di lantai dua. Dia mau beresin sesuatu, katanya. Jadi, mumpung dia nggak ada, aku bisa bebas tanya-tanya tanpa sungkan. “Mungkin masalahnya bukan cuma gara-gara Amel doang.”

Bisa saja Marcel dipaksa belajar terus-terusan sama ayah tirinya itu. Mengingat dia memiliki reputasi sebagai pengajar di universitas ternama, mungkin pria itu menekan Marcel agar terus jadi juara, punya nilai sempurna, biar nggak malu-maluin dan memenuhi ekspektasi sang Ayah.

Aku yakin itu mungkin masalah utamanya. Tapi sayang, Bella menggeleng.

“Nggak mungkin,” katanya, penuh dengan keyakinan. “Hubungan mereka itu baik banget, kayak anak sama ayah kandung beneran. Profesor juga orangnya baik. Dia sayang sama Marcel. Bahkan... Profesor kayaknya juga nggak keberatan deh kalau dunia ini hancur, asalkan Marcel bisa selamat.”

Bella tersenyum getir, lalu mendengus, seolah lagi bercanda.

Itu analogi yang kurasa cukup berlebihan dan nggak pernah kubayangin bakal keluar dari mulut manis Bella. Tapi, kalau rasa sayang Profesor ke Marcel itu memang sebesar apa yang dia bilang, mungkin Marcel memang nggak punya masalah apa-apa di lingkungan rumahnya.

Jadi, apa memang gara-gara Amel doang?

Marcel jadi seagresif itu, ngamuk dan tega ngusir kami, sahabat-sahabatnya sendiri. Cuma karena lagi sakit hati sama Amel?

Aku nggak tau. Aku belum pernah ngerasain jatuh cinta dan patah hati sebelumnya. Jadi, aku nggak bisa ngebayangin apa yang ada di pikiran Marcel sekarang.

Kubuka kantung kresek penuh camilan yang habis kubeli di minimarket sama Rio tadi, lalu kukeluarin semua isinya, kutaruh di atas karpet, di tengah-tengah kami semua yang duduk melingkar. Kripik balado pilihan Rio, popcorn, juga beberapa cup es krim yang sudah sedikit meleleh.

Bella juga sudah bersiap. Dia buka kotak UNO barunya itu, lalu minta Rio biar dia kocok kartunya sampai tercampur rata. Nggak lupa, Bella juga sudah bawa tepung terigu sebagai hukuman untuk yang kalah.

Beberapa menit kemudian, Profesor datang dari arah dapur. Dia membawa seteko minuman jeruk dan beberapa gelas kaca bening di atas nampan.

Bella berdiri untuk membantu membawakan minuman itu ke hadapan kami.

Aku berterima kasih dan bilang, “Maaf merepotkan.” Rio sama Liam juga ngelakuin hal yang sama.

“Marcel ke mana?” Profesor tanya.

Rio jawab, “Masih di kamar kayaknya, Om.”

“Katanya masih ada yang harus dia beresin,” Liam menimpali.

Gelas kaca berisi minuman jatuh dari tangan Bella. Gelasnya nggak pecah, tapi air jeruk di dalamnya tumpah, membasahi karpet tempat Bella duduk. Kartu UNO dan tepung terigu yang ditaruh di dekat sana juga hampir basah karenanya.

“Sudah berapa lama?” Bella tanya begitu. Bola matanya membulat, seolah baru sadar apa yang baru saja terjadi. “Marcel? Sejak kapan?”

Aku agak kesulitan memahami apa yang pengen Bella bilang. Tapi, kurasa aku tau apa maksudnya.

“Marcel? Sudah sekitar lima menit kayaknya.” Sejak aku tanya-tanya tentang hubungan keluarga Marcel sama ayahnya, Marcel sudah pergi. Bella mungkin lupa atau nggak terlalu memerhatikan hal itu.

“Emang kenapa?” Aku nggak ngerti kenapa Bella kelihatan panik banget. Dia nggak peduli sama air jeruknya yang tumpah, celananya yang sedikit basah, bahkan ke pertanyaanku barusan.

Cewek itu berdiri. Tatapannya cuma tertuju ke satu arah. Lantai atas. Kamar Marcel.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang