Apa sih yang Bella pikirin?! Sumpah, aku nggak ngerti.
Cewek itu tiba-tiba lari ke lantai atas, melesat kayak anak yang hampir telat berangkat ke sekolah, naik tangga, menerjang kamar Marcel sambil berteriak menyebut nama sahabat dekatnya itu.
Rio sama Liam juga kayaknya nggak tau apa yang terjadi, kenapa Bella kayak gitu. Kami saling tatap, rasa bingung, penasaran, dan pengen tau terlihat jelas dari raut wajah mereka. Mungkin aku juga sama. Aku melongo mendengar suara langkah kaki Bella yang makin menjauh. Ada apa? Kenapa? Aku pengen tanya gitu, tapi rasanya bakal sia-sia. Tanpa sadar, aku sudah dikendaliin sama instingku sendiri. Kakiku maksa buat berdiri, ikut lari, ngikutin Bella dari belakang.
Nggak kayak Bella yang langsung nyelonong, aku sempat bilang permisi dulu ke profesor sebelum naik tangga. Pria itu nggak jawab apa-apa, tapi aku yakin dia mengizinkan.
“Marcel!” Kulihat Bella berlari di lorong waktu aku selesai naik anak tangga terakhir. Dia lari dengan salah satu pundak yang ditaruh di depan, kurang lebih persis kayak pemain American football yang berlari menerobos ke garis pertahanan lawan. Lalu tanpa pikir panjang, dia mendobrak pintu salah satu kamar yang kuyakini sebagai kamar Marcel.
Suara dentuman mengisi seluruh rumah. Pintu berwarna cokelat krem itu terbuka dengan gampang, mungkin karena sejak awal pintu itu memang nggak kekunci. Bella jatuh tersungkur di ambang pintu. Kupercepat langkahku karena pengen nolong dia. Tapi waktu aku sampai di depan kamar itu, Bella sudah setengah berdiri dengan kedua tangan yang memegang lutut.
“Kalian ini kenapa, sih?” Di dalam kamar, Marcel bertanya.
Kubantu Bella sampai dia bisa berdiri tegak. Rio sama Liam baru sampai di belakangku. Mereka juga tanya hal yang sama.
“Lo ini kenapa sih, Bel?”
Semua yang ada di sana merhatiin Bella, tapi mata cewek itu tetap fokus ke satu titik. Marcel.
“Marcel, idiot!” Bella mukul pelan lemari baju yang ada di dekat pintu, lalu tertawa. “Kamu nggak bosen apa di kamar ini mulu! Aku sama yang lainnya sudah lama nunggu di bawah, lho! Nungguin kamu!”
Marcel mengernyit, menghela napas berat, lalu menutup buku yang ada di pangkuannya. “Aku kan udah bilang, aku mau beres-beres dulu sebentar.”
“Beres-beres apanya?!”
Cowok kutu buku itu berdecih, bangkit dari tepi tempat tidur yang didudukinya, lalu naruh buku yang habis dibacanya itu di atas meja belajar. “Iya, iya, aku turun,” katanya. “Cerewet banget.”
“Lo ini, bikin panik aja, Bel.” Rio masih mengeluh.
Liam juga nggak ada bedanya. “Gue kira ada apa tadi,” dia bilang begitu.
Bella sama sekali nggak menggubris. Dia nyeret Marcel keluar dari kamarnya, turun menuju ruang tamu di lantai bawah, tempat kami seharusnya berkumpul.
Kekacauan kecil tadi kayaknya sudah diberesin sama profesor. Air jeruk yang membasahi karpet sudah ditutupin sama kain lap. Kartu UNO-nya berada di tempat yang aman. Kering, dan masih bisa dimainin. Begitu juga sama tepungnya. Camilan yang kubeli di minimarket juga masih baik-baik aja.
Profesor pamit ke kamarnya waktu kami duduk melingkar. Dia bilang dia masih punya pekerjaan, mengecek kembali tugas-tugas yang sudah dikerjain oleh anak didiknya di universitas. Kami paham dan cukup ngerti akan hal itu. Jadi kami mempersilakan profesor untuk ninggalin kami berlima di ruang tengah.
“Kalian ini umur berapa, sih?” Marcel menggerutu waktu Rio bagiin kartu-kartunya. Tatapannya sinis. “Main mulu kayak anak kecil.”
Rio mendengus. “Lo tuh yang kayak anak kecil,” balasnya. “Ada masalah sama Amel aja sampe marahan ngambek gini.”
“Lah, siapa yang punya masalah sama Amel?”
“Nggak usah ngehindar, deh.” Rio sudah selasai bagiin kartu, tapi matanya masih lekat menatap cowok kutu buku itu.
“Jujur aja,” Liam nambahin. “Lo punya masalah apa sih sama tuh cewek?”
Marcel mengernyit, seolah nggak ngerti sama apa yang kedua temannya itu bilang. “Masalah?” tanyanya. “Aku nggak punya masalah apa-apa sih sama Amel.”
“Nggak usah bohong.”
“Bener.”
“Terus tadi Amel kenapa ngamuk pas kami baru sampai ke sini?”
“Bukan urusan kalian.”
Kutaruh kartu warna biru di atas tumpukan kartu-kartu lainya. Mendadak suasana jadi hening banget. Semua orang merhatiin Marcel, kayak sekelompok detektif yang curiga dan pengen menginterogasi Marcel lebih jauh lagi.
“Gue tadi pulang bareng Amel,” Marcel mengaku. Dia naruh satu kartu bernomor delapan, lalu balik menatap Rio dan teman-temannya. “Dia tadi ngajak nonton, tapi aku nggak mau. Jadinya dia marah gitu.”
“Amel... ngajak kamu nonton?” Rasanya aku nggak bisa percaya begitu aja. Yang kutau, Amel deketin Marcel itu biar dia bisa deket sama Rio. Apa gunanya Amel ngajak Marcel nonton? Aneh banget. Kayaknya Marcel bohong, deh.
Tapi, Marcel mengangguk. “Kalian tau film super hero yang baru tayang di bioskop itu, kan. Nah dia ngajak nonton film itu.”
Walaupun rasanya nggak mungkin banget, tapi aku kayaknya nggak punya hak buat ngeraguin Marcel, deh. Aku cuma bisa senyum kecil, dengerin cerita Marcel entah benar atau nggak.
“Kalau gue sih, pasti bakal mau-mau aja, sih.” Rio ketawa. “Jarang banget lho ada cewek yang berani ngajak jalan duluan.”
Liam berdecih. “Jarang apaan? Tuh di loker lu banyak cewek yang mau ngajak jalan. Elunya aja yang cuek.”
Untuk sesaat, kupikir Liam ngelirik ke arahku. Aku nggak tau apa dia ngelirik buat nyindir aku karena pernah naruh surat di lokernya Rio, atau cuma karena pengen mengerka-nerka kartu apa yang bakal aku keluarin.
Enam merah. Nggak. Mungkin lima merah pilihan yang lebih bagus. Kartu nomor lima sudah banyak yang keluar sebelumnya.
“Gue juga pilih-pilih, kali.” Rio terkekeh, natap marcel dengan setengah senyum. “Gue nggak mau ya jalan sama cewek sembarangan.”
“Tadi lo bilang mau-mau aja kalau diajak nonton sama Amel.”
“Why not?” Rio menaikkan dagunya. “Amel cantik. Cukup worth it lah kalau jalan sama dia sekali dua kali, trus tinggalin.”
“Tolol.”
Rio ketawa.
Aku nggak tau harus merespons kayak gimana dalam obrolan ini. Aku pengen ikut ketawa, tapi rasanya kayak ada yang salah.
“Belagu amat, murid baru.”
Senyum Rio melebar, kayak orang nerima tantangan. “Ada masalah, Top MVP?”
Bella nepuk jidatnya sendiri. “Mulai lagi nih mereka.” Cewek itu menghela napas berat, lalu menjewer masing-masing kuping mereka. “Udah, udah. Kita di sini tuh biar Marcel nggak sedih. Lah, kok kalian berdua malah berantem.”
Rio sama Liam serentak mengaduh kesakitan. Telinga dua cowok itu memerah, dan mereka terus-terusan minta ampun biar lepas dari jeweran Bella.
Marcel cuma geleng-geleng kepala. Entah apa yang dirasain cowok itu. Tapi, kuharap Marcel sama kayak aku. Menikmati masa-masa kebersamaan ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer