35

31 11 2
                                    

“Sekarang, apa yang harus kita lakuin?”

Aku nggak tau. Kubaringkan tubuhku serileks yang kubisa. Langit berwarna oranye mengisi penglihatanku. Awan-awan yang menggumpal, bergerak, ngikutin angin yang berhembus lembut.

Aku nggak nyangka aku masih bisa hidup. Menit ini, detik ini, jantungku masih berdetak. Napas masih bisa bebas keluar masuk ke dalam tubuhku.

“Kamu lihat apa yang terjadi, Dir?”

Kulirik Dira. Cewek itu duduk bersimpuh di samping kepalaku. Dia nggak menjawab, tapi aku yakin banget si monyet satu ini lihat semua yang terjadi beberapa menit sebelumnya.

Sekitar lima menit yang lalu, Bella ngeluarin semacam tabung kecil dari sakunya. Ukurannya seperti sebatang rokok, tapi terbuat dari besi. Entah apa yang Bella lakuin, tapi tabung itu tiba-tiba membesar. Percikan cahaya keluar, membuat mataku terasa silau dan terpaksa kusipitkan.

Waktu cahaya itu sudah memudar dan akhirnya aku bisa membuka mata lagi, kulihat benda itu. Tabung yang awalnya muat ditaruh di saku itu sekarang jadi tiga kali lipat lebih besar dari tubuh Bella. Bentuknya kayak lift yang sering kulihat di mall, lengkap dengan pintu dan tombol-tombol kecil yang kelihatan rumit dan nggak kungerti gunanya untuk apa.

Bella masuk ke tabung itu. Ruangan di dalamnya cukup gelap, tapi aku masih bisa lihat senyumnya waktu cewek itu bilang, “Terima kasih, Kirana.”

Seteleh menekan beberapa tombol, tabung itu ngeluarin percikan cahaya lagi. Aku menutup mata, lalu benda itu pun menghilang dari hadapanku.

Mesin waktu?

Aku nggak tau. Aku terlalu capek untuk mikir.

“Terus Rio sama Liam itu gimana?”

Aku juga nggak tau. Liam kena tusuk di bagian lehernya, Rio juga sama, amalh berkali-kali di punggung. Banyak darah yang sudah keluar dari tubuh mereka, dan aku nggak lihat ada yang bergerak sesenti pun. Nggak ada suara atau rintihan. Aku yakin mereka berdua sudah meninggal. Nggak ada gunanya telepon ambulans dan bawa mereka ke rumah sakit.

“Kalau telepon polisi?”

Aku nggak yakin. Kupikir itu ide yang buruk. Kalau polisi melihat ini, mungkin aku yang bakal jadi tersangka utama. Nggak ada siapa-siapa lagi di sini.

“Itu nggak mungkin.”

Aku nggak tau lagi, Dir. Aku cuma nggak pengen terlibat kasus-kasus kriminal, apalagi di sisa-sisa umurku yang tinggal sedikit ini.

“Panggil guru?”

Aku menggeleng.  Kepalaku sakit banget, dan rasanya penglihatanku juga mulai kabur. Aku harus istirahat sebentar.

Dira menghela napas berat. Tatapan matanya sendu, memerhatikan tubuh Rio sama Liam yang terkulai lemah di tengah rooftop. “Sayang banget ya, Ran.”

Padahal tinggal sedikit lagi. Padahal aku sudah punya teman yang populer. Padahal aku pengen mereka bisa datang ke acara pemakamanku nantinya. Kalau begini... semuanya percuma, dong.

Dira menggeleng. “Kita bisa cari teman baru lagi. Teman yang lain, yang lebih seru, dan yang bisa buat hari-hari terakhirmu lebih nyenengin lagi.”

“Siapa?”

Dira nggak menjawab. Dia nggak mungkin bisa jawab pertanyaan itu. Makanya, si monyet satu ini lalu berusaha untuk ngalihin pembicaraan.

“Sampai kapan kamu mau di sini?”

Sampai kepalaku nggak pusing lagi, juga sampai seragamku agak kering dan nggak bau muntahan lagi. Bisa dibilang aku cukup beruntung karena nggak terkena cipratan darah Rio sama Marcel, tapi aku harus tetap nutup noda-noda kuning ini pakai jaket atau sesuatu yang lain.

“Kamu... mau sampai kapan mau di sini?” aku tanya balik ke Dira.

“Nunggu kamu.”

Aku ketawa. Aku tau Dira bakal jawab kayak gitu. Aku sudah kenal dia sejak lama dan aku tau dia bakal selalu ada di sisiku.

“Kita nanti bakal pulang bareng.”

Kayak biasanya, ya.

“Gimana menurutmu?”

Aku sudah janji bakal pulang bareng sama Rio sore ini, tapi karena dia sudah nggak ada, kurasa emang nggak ada pilihan lain. Lagi pula, pulang sama Dira juga kayaknya nggak buruk-buruk amat. Kami bisa bercanda di jalan, ngobrolin ini-itu, bahkan dulu kami juga sering mampir ke toko roti yang dekat sama rumah kami.

Waktu di rumah, di sekolah, lalu juga di rumah sakit, aku nggak pernah ngerasa bosen dan kesepian kalau ada tuh cewek monyet, hahahaha!

“Menurutmu, dia juga ngerasa kesepian?”

Siapa?

“Bella.”

Cewek yang tadi?

Cewek sialan yang ngaku sebagai penjelajah waktu buat nyelamatin dunia tadi?

“Dia pasti kesepian banget, ya. Sendirian, kembali ke masa lalu, nggak punya teman atau partner yang bisa diajak diskusi.”

Kutatap mata Dira. Kulihat pantulan diriku sendiri dari kilau matanya. “Kamu percaya sama apa yang dia ceritain?”

“Memang nggak masuk akal, sih. Tapi kan....”

Aku tau. Walaupun aku nggak bisa percaya begitu aja, tapi aku bisa lihat kalau cewek itu sekarang lagi berjuang banget. Emosi yang terpancar dari matanya, jari-jarinya yang selalu terkepal erat, tatapannya. Itu semua jelas nggak bohong, bukan akting, apalagi cuma bercanda.

“Cewek itu... lagi ngapain ya sekarang?”

Dia sudah pergi naik tabung anehnya itu sejak beberapa menit yang lalu, tapi entah kenapa rasanya sudah sangat lama.

Kalau tabung itu memang beneran mesin waktu, mungkin dia sudah balik lagi ke masa lalu. Mungkin cewek itu sekarang lagi mata-matain profesor, ayahnya Marcel. Nunggu waktu yang tepat sampai pria itu lengah, lalu... membunuhnya?

Gawat. Ayahnya Marcel bakal dibunuh, dong?!

“Tolol banget, sih! Ini gara-gara idemu, Nyet. Ayahnya Marcel dalam bahaya sekarang!”

“Terus? Kamu mau gimana lagi, Ran?”

Aku... nggak tau.

“Kalau kamu ngehentiin Bella buat bunuh profesor, mungkin cewek itu bakal balik ke masa lalu lagi. Berulang-ulang. Lagi, dan lagi. Apa kamu mau itu terjadi? Kamu nanti bisa terancam bakal dibunuh lagi, lho!”

Tentu, aku nggak mau.

Aku kasihan sama Bella kalau dia ngulang-ngulang terus, dan aku juga nggak mau diriku sendiri mati terbunuh.

Mungkin, memang lebih baik begitu.

Kuharap Bella berhasil dengan misinya ini.

Sudah cukup. Kuharap dia nggak perlu bolak-balik lagi ke masa lalu. Dengan begitu, nggak ada teman-temanku yang mati lagi, entah itu di masa lalu, ataupun di masa depan.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang