“Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal kepadamu.” Pak Kepsek mandang mataku waktu dia ngomong kayak gitu. “Kamu jawab saja semuanya dengan jujur.”
Aku mengangguk, lalu duduk dengan perlahan di sofa di samping Pak Kepsek
Setelah mastiin aku sudah berada di dalam, guru olahraga yang memanggil dan mengantarku sampai ke sini tadi segera keluar dari ruangan, meninggalkanku sendirian bersama Pak Kepsek dan dua orang polisi ini. Guru olahraga itu juga menutup rapat-rapat pintunya seolah nggak pengen ada orang yang masuk atau menguping.
“Perkenalkan, Inspektur Hilman.” Pak Kepsek mengenalkanku dengan pria berjas abu-abu yang duduk di hadapannya. Bapak-bapak berumur sekitar empat puluh tahunan, rambutnya sedikit beruban, berkumis tipis, tampak lebih senior kalau dibandingin sama pria di sebelahnya.
Inspektur Hilman mengulurkan tangan, aku menjabat tangan itu, lalu memperkenalkan namaku padanya.
“Inspektur Ryan.” Pria muda berjas hitam di samping Inspektur Hilman juga diperkenalkan sama Pak Kepsek. Aku menjabat tangannya, tersenyum kecil, lalu juga sedikit memperkenalkan diri.
“Kirana Veralia, benar?” Inspektur Hilman-lah yang pertama kali membuka obrolan. “Apa kamu kenal dengan anak yang ada di foto itu?”
Aku menunduk, mengamati beberapa foto yang tertata di atas meja. Foto Marcel, foto rumah, lalu semacam foto kamar. Aku nggak tau rumah dan kamar siapa itu, tapi kalau yang ditanyakan polisi itu adalah Marcel, tentu saja aku kenal dia. Aku mengangguk untuk menjawabnya.
“Apa hubungan kalian dekat?”
Butuh waktu beberapa detik untuk aku menjawabnya. Dekat? Kurasa nggak. Nggak terlalu. Kami cuma kenalan. Itu saja.
Sesuai perintah pak Kepsek, aku menjawab sejujur mungkin. Aku nggak pengen bohong. Nggak bakal. Inspektur Ryan mengeluarkan semacam buku catatan kecil dan pulpen dari sakunya. Polisi muda itu menuliskan sesuatu. Semua yang kukatakan, dia menulisnya di sana.
“Ada apa?” Sumpah, rasanya nggak enak banget berada di sini. Sesak, kayak nggak bisa bergerak. “Apa terjadi sesuatu? Marcel?” Dia nggak kenapa-napa, kan?
“Sebenarnya....”
Kedua inspektur kepolisian itu menunduk, begitu juga dengan Pak Kepsek.
“Marcel Aditya sudah tidak ada.”
Bunuh diri.
Inspektur Hilman memberitahuku. Marcel gantung diri di kamarnya. Tubuhnya baru ditemuin pagi ini, waktu orang tua Marcel ngerasain sesuatu yang aneh dengan kelakuan anaknya yang nggak menyahut pas dipanggil. Sunyi, nggak ada suara. Kamar tidur Marcel pun didobrak oleh sang Ayah, dan saat itulah mereka tau, Marcel sudah nggak ada.
“Ini bohong, kan?” Aku nggak percaya. Aku nggak bisa percaya begitu aja. Walaupun aku baru kenal dia cuma sebentar, tapi Marcel itu....
Nggak. Nggak mungkin.
“Kenapa?”
“Itulah yang kami ingin selidiki.” Inspektur Hilman menatapku. “Menurutmu, kenapa anak muda yang pintar dan pendiam seperti Marcel Aditya berani melakukan aksi nekat seperti itu?”
Aku menggeleng. Aku nggak tau. Aku juga sama sekali nggak nyangka dia bakal bunuh diri kayak gitu.
“Apa kamu benar-benar tidak tahu, Nak Kirana?”
Aku menggeleng, menggeleng, menggeleng lagi, lagi, dan lagi.
“Sebenarnya, kami menemukan sesuatu saat memeriksa kamar mending Marcel.” Inspektur Hilman melirik waktu Inspektur Ryan mengeluarkan sekantung plastik dari saku jasnya. Ada sesuatu di dalamnya. Selembar kertas yang ditekuk-tekuk. “Surat ini tergeletak di lantai, di bawah tubuh korban.”
Walaupun terbungkus plastik, tapi aku bisa mengenalinya. Surat itu... surat dariku. Surat yang Dira tulis, yang seharusnya Dira masukkan ke loker Rio. Alat biar aku bisa jadi populer.
“Surat ini darimu, benar?”
Aku nggak bisa membantahnya. Ada namaku di situ. Tertulis jelas. Surat itu memang dariku. Tapi....
“Di surat ini kamu bilang kalau kamu ingin berkenalan, benar?’
Benar, tapi bukan begitu maksudnya.
“Kenapa?” Polisi itu menatapku. “Kenapa kamu ingin berkenalan dengan mendiang Marcel? Kenapa kamu tertarik padanya? Apa istimewanya dia untukmu dibanding teman-temanmu yang lain? Pasti ada alasannya, bukan?”
Aku....
“Atau mungkin, kamu hanya ingin main-main? Kamu ingin bercanda dan mengerjainya dengan cara seperti itu?”
Aku nggak... bukan begitu....
Aku cuma....
“Saya pikir wajar bagi seorang gadis remaja seperti Kirana untuk suka dengan laki-laki seperti mendiang Marcel.” Melihat aku yang sudah nggak bisa berkata apa-apa lagi, Pak Kepsek yang duduk di sebelahku mulai mengambil alih. “Marcel itu anak yang pintar, baik, penampilannya juga bersih. Wajar saja kalau Nak Kirana menyimpan perasaan padanya. Tentang surat itu, saya pikir itu hanya surat cinta biasa. Benar-benar tidak ada maksud lain.”
Tidak ada maksud lain? Aku tau Pak Kepsek bilang kayak gitu semana-mata cuma untuk membelaku. Untuk reputasi sekolah dan dirinya sendiri. Pak Kepsek nggak tau apa-apa.
Tentu saja ada maksud lain di dalam surat itu. Cuma aku sama Dira yang tau.
Untuk meraih popularitas, begitulah rencananya. Tapi, apa yang kudapat sekarang? Aku malah terseret ke dalam kasus ini. Aku yang nggak tau apa-apa. Aku yang baru kenal Marcel beberapa hari yang lalu. Aku....
Kenapa susah banget, sih?!
Apa salahku?
Aku cuma... pengen punya banyak teman.
Aku pengen nongkrong bareng kayak anak-anak yang lainnya, ke kafe, ke mal, ke mana pun itu. Makan bareng, nonton, ketawa, ngobrolin apa aja. Cuma itu. Selama aku masih bisa bergerak bebas, menikmati masa remajaku ini. Selama aku masih hidup....
“Maaf.” Tanpa sadar aku sudah menundukkan kepalaku dalam-dalam. Air mataku jatuh, menetes, membasahi permukaan meja. “Aku....”
“Saya pikir sudah waktunya untuk Nak Kirana kembali ke kelas, Inspektur.” Pak Kepsek ngusap punggungku, berusaha menenangkan.
Kuatur kembali tempo napasku. Ada sekotak tisu di ujung meja, kuambil beberapa lembar untuk ngusap air mata dan ingusku yang mulai meler.
“Kalau begitu, satu pertanyaan terakhir.” Inspektur Hilman merapikan foto-foto yang berserakan di meja, lalu kembali natap aku dengan matanya yang serius. “Nak Kirana, apa kamu juga berteman dengan gadis yang bernama Bella Neviah?”
Bella Neviah? Maksudnya Bella si cewek populer teman sekelasnya Marcel sama Rio itu?
Aku kenal dia. Dia pernah nyapa aku waktu di parkiran, dan juga pas di depan kelas. Tapi, berteman?
“Kurasa kami cuma saling kenal,” jawabku. Kami nggak sedekat itu.
Inspektur Ryan mengangguk, lalu nulis sesuatu di buku catatannya.
“Ada apa?” Apa ada yang salah? Apa terjadi sesuatu sama Bella?
“Tidak.” Pria berjas hitam itu menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa.”
Apa Bella ada hubungannya sama kasus bunuh diri Marcel?
Nggak. Nggak mungkin.
“Baiklah, Nak Kirana, boleh kembali ke kelas sekarang.” Inspektur Hilman berdiri dan mengulurkan tangannya. “Terima kasih, dan maaf untuk waktunya.”
Aku mengangguk pelan, berdiri, lalu nerima jabat tangan polisi itu dengan sedikit ragu. Nggak tau kenapa, rasanya aku masih pengen ada di sini. Masih ada yang pengen aku tanyain, ada yang pengen aku tau. Tentang Marcel, apa alasannya, kenapa dan bagaimana bisa. Juga tentang Bella. Aku nggak ngerti. Tapi, aku sudah nggak kuat duduk lama-lama di sini. Lemas banget. Suasananya. Atmosfernya. Aku lega semuanya sudah berakhir.
Yang harus kulakuin sekarang cuma balik ke kelas, ke mejaku, duduk di sebelah Dira, dan mungkin... minum sedikit obat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer