3

54 15 2
                                    

“Terus kamu jawab gimana?”

Kutatap wajah Dira yang terpampang di layar HP. Jam tujuh malam. Harusnya sekarang ini aku ngerjain PR yang sudah numpuk sejak minggu lalu, tapi apa daya. Aku nggak bisa nahan diri buat nggak cerita kejadian tadi sore ke si monyet yang lagi senyum-senyum nggak jelas satu ini.

“Aduh, Kiranaaa. Kenapa kamu tolak sih?!” Senyum Dira seketika melengkung ke bawah begitu aku cerita semuanya. “Kan kamu bisa nongkrong bareng anak-anak gaul pujaanmu itu.”

“Nggak segampang itu juga kali, Dir.” Si Monyet ini kadang emang bego banget. “Kalau tadi sore aku ikut nongkrong bareng mereka, entar aku malah disangka suka beneran sama si Marcel itu!”

“Ya terus?”

“Terus?”

“Terus kenapa kalau kamu disangka begitu? Nggak masalah juga, kan?” Dira memiringkan kepalanya kayak orang lagi keheranan. “Kamu itu pengen populer, apa pengen Rio, sih? Kalau kamu beneran pengen populer, harusnya kamu terima aja ajakan nongkrong itu.”

“Mana bisa begitu, Diraaa.”

Sumpah, rasanya kepalaku kayak mau pecah. Tolol. Tolol banget! Seharusnya aku tau ini bukan rencana yang bagus. Semuanya gagal total. Rusak. Kenapa, sih?! Kenapa aku setuju? Kenapa aku ngejalanin rencana konyol itu?!

“Kamu juga sih, Dir.” Ini juga salahnya. “Kenapa kamu bisa salah naruh suratnya. Harusnya kan ke loker Rio!”

“Kamu kok malah nyalahin aku, sih?!” Dira merengut, memasang sifat defensifnya. “Aku naruh suratnya sudah benar ke loker Rio, kok.”

“Terus? Kok Marcel yang datang?” Kok Marcel yang nerima surat itu?

“Ya mana aku tau!”

Bohong banget, sumpah. Si monyet ini pasti sengaja. Dia pasti naruh surat itu ke loker Marcel buat ngerjain Aku. Pasti begitu.

“Sudahlah, Dir. Males banget aku.” Kusandarin punggungku ke dinding. “Kututup ya VC-nya.”

Dira sekali lagi menyunggingkan senyum jahil. “Yeee, marah nih?”

Kualihkan pandangan ke luar jendela. “Pokoknya Aku besok bakal ngomong jujur ke Marcel kalau semua ini cuma salah paham. Titik.”

“Eh, Ran. Lo yaki....” Sebelum Dira menyelesaikan kalimatnya, aku lebih dulu mematikan HP dan memejamkan mata..

Keputusanku sudah bulat.

Setelah bel istirahat pertama berdering, aku cepat-cepat menyimpan buku dan alat tulisku ke kolong meja, lalu pergi ke kelas Marcel. Kelas IPA-2, letaknya ada di dekat aula, di lantai bawah. Dira tadi bilang pengen menemani aku ke sana, tapi seharusnya nggak perlu. Aku bisa sendiri, dan ini bakal jadi pembicaraan pribadi. Empat mata, antara aku sama Marcel.

Sumpah, aku deg-degan banget! Baru kali ini aku datang ke kelas lain cuma buat ketemu sama cowok.

Sialan, sialan, sialan, sialan!

Lebih parahnya lagi, dari semua cowok, kenapa malah si Rio yang pertama kalu nyapa aku di kelas itu?!

“Hei, kamu... Kirana, kan?” Rio tanya kayak gitu di depan pintu kelas.

Aku mengangguk sambil celingukan ke belakang punggung Rio. Kelasnya masih lumayan ramai. Ada beberapa anak yang masih sibuk menulis, ada yang duduk bergerombol dengan membawa kotak bekal masing-masing. Liam. Aku lihat dia main HP di dekat jendela. Waktu mata kami bertemu, dia sempat melambaikan tangannya untuk menyapa. Di sebelahnya ada Bella. Cewek berambut panjang itu sempat melirik dan memberikan senyum kecil. Marcel?

“Nyari Marcel?” Rio tanya, seolah ngerti apa yang lagi aku pikirin. “Marcel barusan pergi.”

Aku refleks mengernyit. “Ke mana?”

“Kenapa?” Eh, dia malah balik nanya. “Kangen, ya?”

Sumpah, pengen kutonjok si Murid baru ini. Ngeselin banget pagi-pagi.

“Ada yang mau aku omongin.”

“Apa?” Rio selangkah makin dekat. Dia tinggi banget, aku sampai harus mendongak biar bisa lihat wajahnya. “Ngomong aja di sini, entar gue sampaiin ke si Marcel.”

“Nggak.” Aku menggeleng. “Aku harus ngomong langsung sama dia.”

Sesaat, aku lihat Rio kayak kecewa gitu. Dia menghela napas, bahunya turun, tatapannya pun juga jadi sendu.

“Kenapa?” tanyanya. “Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa?”

Aku nggak ngerti.

Mendadak, Rio mencengkeram pundakku. Kuat banget. Sakit. Tulangku rasanya kayak mau remuk.

“Ri-rio, lepasin.” Apa ini? Kenapa? Dadaku berdebar cepat. Aku nggak butuh jawaban. Yang aku butuhin cuma lepas dari cengkeraman ini. Tapi....

Percuma. Aku nggak bisa. Tenagaku nggak cukup. Aku sudah berusaha mendorong Rio, mencoba melepas jari-jarinya dari pundakku, tapi sia-sia.

“Kalau lo nyari Marcel, sekarang dia lagi ada di perpus.”

Liam. Aku dengar suara Liam. Dia melangkah dengan santai, mendekati kami. Saat itu juga, cengkeraman Rio terlepas.

Sumpah, aku nggak pernah ngerasa selega ini sebelumnya. Aku langsung mundur beberapa langkah, menjaga jarak dari dua cowok yang saat ini masih menatapku dengan intens itu.

“Di perpus... ya?” Aku harus cepat-cepat ke sana. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya sesak banget. Aku nggak tahan. Aku nggak bisa berdiri di depan kelas ini lama-lama.

Aku ucapin rasa terima kasihku ke Rio sama Liam sebagai basa-basi biasa, lalu segera beranjak. Sayangnya...

“Eh, Kirana.” Baru beberapa langkah aku menjauhi kelas itu, si Liam malah memanggil, membuatku terpaksa menoleh. “Mau gue temani?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Aku bisa sendiri.”

“Lo yakin?”

Aku nggak ngerti apa maksudnya. “Memangnya kenapa?” Perpustakaan cukup dekat dari sini. Tinggal naik tangga, lalu belok ke koridor kanan. Walaupun aku nggak terlalu suka baca buku, tapi aku sering ke sana buat nemanin Dira cari-cari buku.

“Hati-hati aja.” Liam mendekat. Terlalu dekat. Dia majuin wajahnya ke samping telingaku. Aroma deodorannya tercium pekat, membuat hidungku terasa berat. Hangat tubuhnya. Napasnya. Suaranya yang berbisik di telingaku. “Marcel itu aneh, mending lo jangan dekat-dekat sama dia, apalagi... sampai berduaan di perpus.”

Dingin. Rasanya kayak ada semilir angin yang menyentuh belakang leher, membuat bulu-bulu kudukku meremang.

Kudorong tubuh Liam biar dia sedikit menjauh. Cowok itu tersenyum usil, kayak lagi bercanda. Tapi, aku nggak yakin apa yang dia bilang barusan itu termasuk candaan atau nggak.

Marcel itu aneh. Apa maksudnya?

Sejak awal aku tau kalau Marcel itu kutu buku yang kikuk, nggak punya banyak teman, terkesan pendiam. Aneh? Kurasa nggak terlalu. Masih cukup normal, kok.

“Pokoknya, lo jangan terlalu deket sama Marcel.”

“Liam!” Rio menarik lengan Liam cepat banget. Cowok itu sampai hampir jatuh tersungkur. “Udah. Berhenti nakut-nakutin Kirana!”

Liam berdecih sambil berusaha berdiri tegak kembali. Rio melemparkan tatapan sinis, lalu tersenyum ke arahku.

Tanpa sadar, sudah ada banyak murid yang memperhatikan kami. Sebagian besar teman-teman sekelas Liam sama Rio, tapi ada juga murid kelas lain dan kakak kelas yang kebetulan sedang lewat area itu.

Canggung banget. Banyak yang melirik. Banyak yang berbisik, kayak lagi ngomongin kami bertiga.

Aku harus pergi. Tapi, ke mana?

Aku nggak ngerti.

Ke mana?

Marcel.

Oh iya, aku baru ingat.

Marcel ada di sana.

Aku harus ke perpus.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang