43

25 10 5
                                    

Suara gebrakan meja terdengar. Air jeruk bergoyang dalam gelas, ngikutin permukaan meja yang bergetar. Di sisi sebelah kiri, tangan Marcel terkepal kuat. Urat-urat menonjol dari lengannya yang kurus, nyalurin seluruh emosi yang ada di hatinya ke satu titik.

“Aku... matiin TV-nya, ya.” Bella berinisiatif. Setelah dia lihat gimana reaksi Marcel terhadap berita itu, dia langsung meraih remot yang tergeletak di sofa. Lalu tanpa menunggu jawaban, Bella segera matiin TV yang menyala di hadapannya itu.

Sebelumnya nggak ada yang salah sama acara TV itu. Kami duduk di sini, main kartu, ngobrol, dan bercanda di rumah Marcel, sambil nonton film Reincarnate yang kebetulan malam ini lagi tayang. Sama sekali nggak ada yang salah dan nggak ada yang ngakibatin Marcel naik darah. Kecuali satu hal.

Waktu film itu selesai, ada segmen berita singkat. Acara berita yang lagi-lagi membahas tentang kasus pembunuhan itu.

Kasusnya sudah berakhir. Pelakunya sudah dibawa ke pengadilan dan sudah diberi vonis penjara sesuai undang-undang.

Sama kayak apa yang digosipin, cewek itu, pembunuh itu tuh salah satu murid yang pernah Profesor ajar di universitas. Dia balas dendam karena profesor selalu nyuruh dan maksa dia agar mau berhubungan intim dengan iming-iming nilai bagus dan cepat lulus.

Di hari pembunuhan, cewek itu datang ke rumah sakit untuk cek kandungan. Dia positif hamil, tapi profesor nggak mau ngakuin kalau anak yang ada di rahim cewek itu adalah anaknya. Perdebatan pun terjadi. Karena punya firasat profesor bakal lari dari tanggung jawab, cewek itu dengan sengaja membawa pisau di dalam tasnya. Dia sudah berniat mengancam profesor biar pria itu mau menikahinya.

Hasilnya? Kurasa semua orang sudah tau.

Profesor mati dan cewek itu terkena pasal pembunuhan.

Waktu datang ke pengadilan beberapa hari lalu, Marcel.... Aku nggak tau apa yang ada di pikiran cowok itu.

Umumnya orang akan senang dan lega  ada pembunuh yang tertangkap dan diberikan hukuman yang setimpal. Tapi Marcel....

Dia nggak sesenang yang kukira. Mungkin, malah sebaliknya.

“Kalau tau bakal kayak gini jadinya, mending pelakunya nggak usah tertangkap sekalian!” Marcel menggerutu. Dia tetap natap tajam ke arah layar walaupun TV-nya sudah dimatikan. “Biarin aja tuh cewek berkeliaran. Nggak usah dihukum. Nggak usah dipenjara. Gue nggak peduli.”

Kebenaran di balik kasus malah jadi luka baru buat Marcel

Karena pengakuan dari si pelaku, kini skandal dan aib ayahnya itu terungkap, menyebar ke mana-mana. TV, media sosial, tetangga, bahkan teman-teman juga sering bahas hal itu dari mulut ke mulut.

Profesor meninggal dengan tragis, lalu sekarang harga diri dan nama besarnya diinjak-injak.

Aku sebenarnya cukup puas dan nggak terlalu mempermasalahin, mengingat hal nggak bertanggung jawab yang dia lakuin ke cewek itu, kurasa wajar aja kalau dia mau balas dendam. Sayangnya, Marcel kelihatannya punya pemikiran yang berbeda.

Marcel yang seorang yatim piatu dan menganggap profesor sebagai ayahnya sendiri, tentu nggak akan terima begitu aja kalau pria itu dicap sebagai pria nggak bertanggung jawab yang suka main sama cewek. Dalam hati Marcel, dia menolak percaya sama tuduhan itu, sekuat apa pun buktinya. Marcel nggak akan bisa terima. Nggak akan mau. Sosok Profesor di mata Marcel itu cuma pria baik yang suka mempelajari sel dan saraf-saraf otak manusia. Cuma itu. Nggak kayak yang si pelaku bilang.

Lebih baik pelakunya nggak usah ditemuin dan kasus ini tetap jadi misteri?

Atau, pelakunya tertangkap dan kebusukan profesor terungkap ke publik?

Yang mana yang lebih baik?

Siapa yang salah dan siapa yang benar?

Mungkin, Marcel benar. Mending seharusnya kasus ini tetap jadi misteri dan nggak ada yang tau tentang skandal itu.

Sayang, semuanya sudah terlambat.

“Nggak ada yang bisa kulakuin kan, Dir?”

Apa yang bisa kulakuin biar Marcel nggak terbebani dengan masalah ini? Jujur, rasanya nggak tega banget kalau lihat dia merah-marah bahkan sampai gebrak meja cuma gara-gara berita di TV.

Aku nggak mau.

Aku sama Marcel mungkin memang baru kenal sejak beberapa minggu yang lalu, tapi nggak bisa dipungkiri lagi kalau aku sama dia sudah cukup dekat. Kami sudah... berteman, kan?

Sebagai teman, tentu aku nggak bisa lihat Marcel uring-uringan kayak gini terus.

Aku harus ngelakuin sesuatu.

Kulirik Bella. Kulirik Rio sama Liam juga. Mereka kelihatan prihatin dengan kondisi Marcel saat ini. Sama kayak aku, kupikir mereka juga pengen bantu Marcel. Hanya saja, kami nggak tau gimana caranya.

Kenyataannya sudah kayak gini. Profesor terbunuh karena salahnya sendiri. Skandalnya sudah tersebar dan harga dirinya sudah nggak ada lagi. Fakta itu nggak bisa diubah. Kami nggak bisa ngehapus berita-berita itu, nggak bisa nyuruh semua orang buat berhenti bahas kasus itu. Nggak ada yang bisa kami lakuin di sini.

Kami cuma bisa lari, kabur dari realita yang mengurung kami di tempat busuk ini. Benar begitu kan, Dir?

Ah, sekarang aku ingat, waktu aku pertama kali bertemu denganmu.

Aku yang dari dulu selalu sendirian di rumah sakit. Di satu ruangan, sepi tanpa suara. Aku yang nggak bisa tidur tiap malam, cuma bisa merhatiin langit-langit berwarna putih, poster-poster kesehatan, dan kursi kayu kosong yang jarang diduduki. Setiap malam... aku takut.

Aku takut hantu yang kemungkinan bakal ngintip dari jendela. Aku takut jarum suntik dan infus yang tersambung ke tubuhku. Aku takut orang tuaku kalau besok orang tuaku masih sibuk kerja dan terpaksa nggak bisa datang berkunjung ke sini lagi. Aku takut tugas sekolahku menumpuk dan nilaiku jadi turun. Aku takut teman-temanku ngelupain aku.

Kamu..., Dira.

Kamu bagian dari diriku yang nggak pernah takut. Kamu yang selalu duduk di kursi kayu itu setiap malam, bilang kalau nggak ada apa-apa yang mengintip di jendela. Kamu yang bilang kalau Mama sama Papa PASTI bakal datang besok pagi. Kamu sebagai cewek jenius yang bakal ngajarin aku kalau sampai nilaiku turun. Kamu... yang nggak takut sama kematian dan bisa bercanda dengan hal semacam itu.

Kamu satu-satunya teman yang membawaku kabur dari realita.

Aku tau sekarang.

Aku tau apa yang dibutuhin Marcel. Cara biar cowok kutu buku itu nggak sedih dan uring-uringan lagi.

Di ruang tengah tempat kami bermain kartu itu, Aku tertawa. Aku satu-satunya orang yang tau jawabannya. Bella, Rio, sama Liam seketika merhatiin aku penuh tanda tanya. Mereka yang hidup dalam popularitas nggak akan pernah tau gimana rasanya.

“Nggak apa-apa, Cel. Aku bisa bantu kamu.”

Kita bisa buat cerita baru. Cerita di mana pelaku pembunuhan itu nggak ketemu, dan juga cerita di mana skandal profesor tetap jadi rahasia yang terkubur jauh di dalam tanah selamanya.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang