Hari itu aku ketemu Marcel di Perpus. Cowok itu duduk di meja paling belakang di perpus, tempat dia biasa baca buku pas jam istirahat makan siang.
Dia yang nggak bisa nerima kenyataan dan mengutuk semuanya. Dia yang sudah capek dan ingin semua ini cepat selesai.
Aku tau gimana rasanya, Cel.
Walaupun masalah yang kita alami ini berbeda, tapi aku tau rasanya putus asa. Waktu aku tau umurku tinggal sedikit dan nggak banyak yang bisa kulakuin lagi, rasanya aku pengen nyerah aja.
Kenapa semua ini terjadi padaku?
Kenapa bukan orang lain saja yang kena penyakit tolol ini?!
Kenapa harus aku?
Aku ini anak baik-baik. Aku nggak pernah berbuat jahat ke orang lain. Nggak pernah nyakitin, dan selalu berusaha bersikap ramah dengan orang-orang di sekitarku.
Aku nggak salah. Tapi, kenapa realita ngasih aku takdir kayak gini? Penyakit ini? Tubuh ini?
Aku nggak tumbuh dewasa. Aku nggak bisa nikah. Nggak bisa punya anak dan membangun keluarga kayak cewek-cewek pada umumnya. Aku bakal mati sebelum semua itu terjadi. Nyebelin banget, kan? Padahal aku juga pengen tampil cantik pakai gaun pengantin, pengen tau gimana rasanya ciuman pertama, gimana lembut dan lucunya bayi-bayi yang akan hadir dalam hidupku. Aku pengen kerja, ngumpulin banyak uang, beli barang-barang yang kusuka, jalan-jalan ke banyak tempat, ngunjungin taman bunga dari berbagai negara, pantai, kota-kota tua. Aku pengen bangun dengan tubuh yang segar, tanpa perlu mikirin 'berapa lama lagi?'.
Aku... nggak bisa.
Apa gunanya hidup kalau aku nggak bisa ngerasain momen-momen penting dalam hidupku?
Aku nggak tahan lagi. Setiap kali aku melihat sosmed atau berita tentang artis-artis yang menikah dan ke luar negri dengan pasangan dan anak-anak mereka, rasanya sesak banget, sampai-sampai aku pengen buka tumpukan obat-obatku dan minum semuanya dalam satu tegukan.
Tapi, bunuh diri bukan jawaban, Cel. Aku tau, dan kamu seharusnya juga tau.
Kamu yang nggak terima aib ayahmu diberitakan di media, tertekan karena pertanyaan-pertanyaan, lalu merasa terkucilkan. Aku paham kalau kamu pengen bunuh diri. Aku paham kalau kamu pengen semua ini cepat selesai dan berakhir begitu aja..
Walaupun begitu, jangan lakuin!
Realita ini memang menyakitkan. Tapi tenang aja, kamu nggak harus terikat sama kenyataan.
Kalau ada berita yang bilang kalau ayahmu itu orang nggak bertanggung jawab dan predator seksual, jangan didengerin!
Aku sudah membuat cerita yang baru untukmu. Cerita yang jauh dari realita, tapi aku yakin bisa membuatmu merasa jauh lebih baik.
Ayahmu itu sosok yang hebat. Dia profesor jenius yang sayang banget sama kamu. Bahkan di masa depan, dia bekerja keras membuat alat biar kamu bisa hidup lagi.
Ayahmu nggak kayak apa yang media bilang. Kamu jangan percaya sama mereka!
Kalau tetangga atau orang-orang di sekitarmu itu bilang ayahmu itu pria cabul dan pantas untuk dibunuh, kamu jangan dengerin!
Ayahmu itu sosok hebat yang akan berpengaruh di masa depan. Dia mati untuk melindungimu, dan juga agar dunia ini aman dari perang besar.
Jangan percaya sama semua yang mereka bilang. Gosip-gosip itu satu pun nggak ada yang benar.
Kamu yang paling tahu tentang ayahmu. Kamu yang tinggal serumah selama bertahun-tahun dan kenal dekat dengannya. Kamu sendiri yang menilai profesor itu sosok yang gimana. Sesuai sama yang mereka bicarain atau nggak?
Siapa yang lebih kamu percaya? Dirimu sendiri atau media yang sebelumnya nggak tau apa-apa tentang ayahmu?
Kamu tau jawabannya kan, Cel?
Seorang gadis bernama Asa jauh-jauh datang dari masa depan untuk ngehentiin perang. Dia datang, membunuh Bella, lalu menyamar sebagai cewek itu agar bisa dapat informasi.
Di lain sisi, kamu yang pengen bereinkarnasi dan melihat masa dengan tubuh abadi, dengan sukarela mutusin buat bunuh diri dan nyerahin otakmu ke Profesor buat dijadiin bahan eksperimen. Tapi sebelum itu, kamu butuh beberapa poin penting.
Kamu butuh garis finish. Satu momen penting yang akan jadi akhir hidup Marcel Raditya.
Hari itu, sepulang sekolah kamu, Rio, sama Liam pergi ke ruang loker. Kalian mengobrol biasa, naruh barang-barang kalian di loker masing-masing, hingga kamu menyadari ada sesuatu yang terjatuh.
Itu suratku. Surat dengan amplop berwarna merah muda, tanpa hiasan, gliter, atau pernak-pernik lainnya. Surat itu terselip dan jatuh karena di loker Rio itu penuh sama surat-surat cewek lainnya. Lalu, melihat Rio yang lagi fokus ngobrol sama Liam dan nggak sadar ada surat yang jatuh, kamu ngambil surat itu.
Kamu letakin surat itu di lokermu, lalu berpura-pura kalau surat itu milikmu.
Begitulah caramu kenalan denganku di lapangan belakang sore itu.
Suratku nggak tertukar atau salah naruh. Tapi, kamu yang mengambilnya dari loker Rio.
"Untuk apa?" Malam itu Dira juga nanya hal yang sama. "Untuk apa Marcel nyuri surat kamu?"
Menurut profesor, implantasi otak itu punya banyak resiko, salah satunya tuh kamu mungkin bakal hilang ingatan. Jadi, biar ingatanmu itu tetap terjaga, kamu butuh memori yang kuat. Kenangan-kenangan yang nggak bakal kamu lupain bahkan setelah otakmu berpindah tubuh.
Kenangan tentang persahabatanmu di SMA. Tentang Rio, si murid baru yang songong banget dan selalu sombongin kepopulerannya. Tentang Liam si MVP basket sekolah yang selalu latihan dan sering berantem sama Rio karena iri atas kepopuleran cowok itu. Lalu tentang Bella. Kamu yang sudah dekat sama Bella sejak kecil dan nganggap cewek itu kayak adik sendiri. Kamu nggak bisa nyatain perasaanmu ke Bella. Sekeras apa pun kamu mencoba, kamu nggak berani bilang cinta ke cewek itu. Sebagai gantinya, kamu berencana deketin siapa pun cewek yang suratnya jatuh dari loker Rio.
Kamu berharap kenangan tentang cinta pertama bisa buat ingatanmu tetap terjaga dalam tubuhmu yang abadi di masa depan.
Sayangnya, hal itu nggak akan terjadi, Cel.
Asa yang menyamar sebagai Bella nggak bakal ngebiarin kamu bunuh diri. Dia yang sudah mencoba puluhan kali, kembali ke masa lalu lagi, lagi, dan lagi, akhirnya mutusin buat bunuh Profesor.
Rencanamu gagal. Kamu nggak bisa bereinkarnasi tanpa bantuan Profesor. Kamu nggak bisa bunuh diri dan mati konyol begitu aja.
Kamu ada di sini sekarang, duduk di hadapanku dengan mata lesu yang sudah capek melihat semua realita ini.
Jangan lihat mereka, Cel.
Jangan dengerin.
Sama kayak mereka yang nggak bisa ngelihat Dira, orang-orang yang ngomongin keburukan ayahmu itu nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.
Lupain mereka.
Anggap mereka nggak ada.
Aku ngomong begini ini untuk kebaikanmu, Cel. Aku nggak mau kamu stres dan banyak pikiran. Aku nggak pengen kamu tertekan.
Sebagai sesama orang yang pernah ngerasa putus asa, cuma ini yang bisa kulakuin.
Entah mana yang kamu pilih.
Hidup dalam realita yang bikin kamu sakit hati, atau hidup dalam delusi yang jauh dari kenyataan pahit ini?
***
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer