37

32 13 13
                                    

“Kamu mau nungguin tuh cowok lagi?”

Kulirik Dira yang ngasih pertanyaan, lalu mengangguk untuk menjawabnya. Satu anggukan. Satu senyum kecil. Kurasa itu semua sudah cukup jelas untuk ngisi titik-titik tanda tanya yang menggumpal di kepala cewek yang berdiri di sebelahku itu.

“Mungkin aja dia akhirnya baca suratku hari ini dan bakal nyamperin aku ke sini.”

Dira mendengus, seolah nggak yakin. “Nggak mungkin,” katanya. “Cowok kayak Rio itu nggak mau kenalan sama cewek aneh kayak kamu.”

Seketika aku mengernyit. Kangan aku nggak ngerti sama nih monyet. Padahal kan dia yang ngasih saran buat aku kenalan sama Rio. Dia juga yang masukin suratku ke lokernya. Lah kok sekarang dia malah bilang kalau cowok itu nggak bakal datang? Labil banget jadi cewek.

“Ya mau gimana lagi, Ran. Kamu nggak capek?” Dira tersenyum kecut. “Kamu sudah berapa hari nunggu di sini? Sudah berapa kali?”

Aku nggak menjawab. Dira sudah tau jawabannya dan aku bakal kelihatan tolol banget kalau aku jawab jujur pertanyaan itu.

“Palingan suratmu itu sudah terbuang atau tertumpuk di bawah surat cewek-cewek lain.”

Terbuang? Aku nggak tau. Aku nggak yakin. Tapi kalau tertumpuk, aku masih bisa memakluminya. Memang banyak cewek yang naruh surat cinta di sana. Bukan cuma aku. Suratku tertumpuk dan tertutupi sama surat yang lainnya itu hal yang wajar. Walaupun begitu, aku masih punya harapan. Suratku masih ada di sana, dan entah mungkin suatu hari nanti, aku yakin Rio bakal baca surat itu.

“Kapan?”

Aku nggak tau. Bisa saja hari ini, besok, seminggu lagi, sebulan lagi.

“Atau mungkin setelah kamu mati?”

Kulirik Dira sekali lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih serius. “Nggak lucu ya, Nyet.”

Cewek itu menghela napas, entah karena capek berdiri terus, atau karena kecewa aku nggak merespons bercandaannya sesuai yang dia pengen.

“Apa nggak ada cara lain biar bisa jadi populer?” dia tanya gitu sambil mendongak, natap awan dan langit yang mulai berwarna oranye. “Cara lain biar bisa punya banyak teman tanpa perlu berhubungan sama Rio atau anak-anak populer lainnya?”

“Kamu punya ide?”

Dira merapatkan bibirnya, mencoba untuk  berpikir, lalu ketawa nggak lama kemudian. Kayaknya dia berhasil nemuin sesuatu. Dan mengingat kepribadian Dira, aku punya firasat buruk sama ide yang mungkin keluar dari mulut cewek di sebelahku itu.

“Kamu ingat penjahat yang ngebunuh ayahnya Marcel beberapa hari yang lalu?”

Aku mengangguk. Tentu saja aku masih ingat. Kasusnya masih misteri. Pembunuhnya masih belum ketemu dan masih banyak yang  ngebicarain hal itu sampai hari ini. “Emang kenapa?” tanyaku, agak skeptis.

“Dia... terkenal, kan?” Senyum lebar terbit membentuk bibir Dira. “Penjahat itu....”

Entah kenapa aku tau arah pembicaraan ini. Aku bisa sedikit memprediksinya. “Jangan bilang, kamu nyuruh aku buat ngebunuh orang juga, sampai aku jadi penjahat terkenal, lalu masuk TV dan koran-koran? Yang benar aja!”

Dira ketawa. Kupikir tebanku benar, tapi ternya nggak. “Nggak gitu juga, kali!”

Aku sedikit terhenyak. Kurasa ini pertama kalinya aku salah nebak jalan pikiran Dira. “Terus gimana?” tanyaku. Apa hubungannya penjahat yang ngebunuh ayahnya Marcel itu sama cara biar aku bisa jadi populer?

“Kebalikannya, Ran. Kebalikannya.”

Aku masih nggak ngerti. Kebalikan apanya?

“Bukan jadi penjahat.” Dira mengepalkan jari-jarinya di depan dada. “Tapi, jadi pahlawan.”

Rasanya keningku jadi semakin berat. Aku berusaha mikir, nyatuin pikiranku sama pikirannya Dira, tapi tetap saja aku nggak paham apa maksudnya.

Jadi pahlawan, dia bilang? Pahlawan kayak super hero gitu? Yang punya kekuatan aneh, punya senjata, jago bela diri, terus ngelawan penjahat? Itu yang dia maksud?

“Ya nggak gitu juga, kali, Ran.” Si monyet malah mukul pundakku. “Ini bukan film action. Lagian kamu juga nggak bisa berantem.”

“Ya terus? Kan pahlawan kerjaannya emang berantem doang.”

Dira menggeleng sambil berdecak, nggak setuju. “Pahlawan itu tugasnya ngalahin orang jahat.”

“Sama aja!” Intinya berantem, kan?

“Beda,” bantahnya. “Ngalahin penjahat itu bukan dengan cara berantem doang. Contohnya begini... mmm... kan penjahat yang ngebunuh ayahnya Marcel itu kan sekarang masih buron dan belum ketemu, Nah, mungkin kamu bisa nyari tau tuh siapa orangnya.”

“Maksudmu kayak detektif gitu?” Dira terlihat kesusahan pas jelasin, tapi aku ngerti apa maksudnya. “Kamu mau aku nyari tau siapa pembunuh ayahnya Marcel?”

Dira mengangguk. “Iya, ya, begitu.”

Aku berdecih. “Kalau kayak gitu bilang aja detektif, nggak perlu pahlawan-pahlawan segala. Bikin bingung aja!”

Si monyet ketawa.

Benar, sih, kasus itu sekarang ini memang lagi ramai banget. Kalau aku bisa mecahin kasus pembunuhan itu dan nemuin pelakunya, mungkin aku bisa sedikit lebih terkenal.

Cewek SMA jenius yang mengungkap kasus tak terpecahkan. Mungkin orang-orang bakal julukin aku kayak gitu, lengkap sama fotoku yang terpampang di TV dan koran-koran. Aku mungkin juga bakal dapet penghargaan dari kepolisian, diundang ke acara talkshow dan podcast, terus banyak teman yang penasaran gimana caranya aku mecahin kasus itu, tanya ini-itu, sampai akhirnya kami cukup akrab dan jadi sering main bareng ke mana-mana. Sialan, ngebayanginnya saja sudah bisa bikin aku senyum-senyum sendiri.

Andai saja segampang itu.

“Kamu takut?” Dira tanya, alis matanya terangkat tinggi.

Bukan takut, tapi rasanya emang mustahil banget! Polisi yang profesional aja nggak bisa mecahin kasus itu. Dari beberapa hari yang lalu sampai sekarang, nggak ada titik terang. Lalu aku... aku bisa apa? Aku cuma cewek SMA biasa yang pas ulangan aja masih sering nyontek dan ambil-ambil kesempatan baca buku. “Nggak mungkin aku bisa mecahin kasus pembunuhan itu, Nyet!”

Idenya si Dira ini emang bagus, tapi sayangnya agak gimana gitu.

“Ini kesempatan yang nggak bakal datang dua kali, Ran.” Dira sedikit mendesak. “Mumpung kasusnya masih anget.”

Ya, tapi kan, tetap aja susah!

“Emangnya kamu mau nunggu di sini terus? Berdiri nunggu si Rio sampai dia baca surat kamu nggak tau kapan?”

Jujur, aku emang sudah capek dan sedikit mulai hilang harapan, sih.

“Atau mungkin kamu mau nyamperin dia langsung?”

Aku menggeleng. Nggak. Nggak mungkin. Aku nggak punya keberanian buat ngajak kenalan Rio secara langsung.

“Nah, Ini ada cara lain biar kamu bisa jadi populer. Daripada kamu nungguin tuh murid sok keren nggak jelas itu, mending kamu coba cara baru ini, kan?”

Omongan Dira ada benarnya. Rencana A kelihatannya nggak berjalan selancar yang kukira. Aku butuh rencana B.

Kupikir, nggak ada salahnya juga buat ikut nyelidikin kasus itu. Sedikit demi sedikit. Sama kayak cewek-cewek lain yang ngegosip, aku mungkin juga bakal sedikit bahas masalah itu sama Dira. Kami mungkin bisa berbagi teori tentang siapa dan apa motifnya. Tapi gimana caranya?

Aku butuh informasi. Aku pernah dengar beberapa detailnya di acara berita di TV. Apa itu cukup? Kayaknya kurang, deh. Kurang banget. Kalau aku pengen mecahin kasus ini, aku butuh lebih banyak informasi, lebih banyak dari yang polisi dan media punya.

Dari mana aku bisa dapat informasi kayak gitu?

Dira ketawa. “Tentu saja, dari anak si korban.”

Dengan kata lain: Dari Marcel.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang