38

24 10 4
                                    

Gimana caranya aku bisa dekat sama Marcel dan dapat informasi dari cowok itu?

Awalnya kupikir deketin Marcel itu bakal jauh lebih gampang daripada deketin Rio. Cowok kutu buku itu nggak populer dan kurasa nggak punya hubungan lebih sama cewek-cewek lain. Aku mungkin bisa ngajak kenalan dia secara langsung waktu dia lagi di perpus, tempat dia biasa ngabisin waktu istirahat makan siangnya. Teorinya sih begitu. Tapi, kenyataannya aku masih di sini, diam membeku, penuh ragu.

Aku nggak pernah ngajak kenalan cowok sebelumnya. Jangankan kenalan, ngobrol pun rasanya jarang banget. Satu-satunya cowok yang sering kuajak bicara cuma Ayah dan Kakek yang sudah meninggal waktu aku masih SD, selain itu... kupikir nggak ada lagi.

Marcel juga kelihatannya dingin banget. Cowok kutu buku itu sama sekali nggak menoleh atau melirik waktu aku lewat di sebelahnya. Dia tetap menunduk, fokus dengan buku tebal yang dibacanya, seolah jiwanya sudah masuk ke dalam buku itu dan sama sekali nggak peduli apa-apa saja yang terjadi di sekitarnya.

Sumpah, nyebelin banget. Aku biasanya benci banget sama cewek yang suka caper ke cowok-cowok, tapi kayaknya aku juga nggak ada bedanya. Di balik deretan rak-rak buku ini, aku terus berusaha nyolong perhatian Marcel, berusaha biar keberadaanku di tempat ini disadari, dan berharap kalau Marcel mau nyapa atau seenggaknya senyum ke arahku duluan.

Aku berdecih. Cowok kutu buku, sialan. Pantes aja kalau dia nggak punya teman!

“Gimana nih, Dir?” Sedikit lebih jauh dari meja tempat Marcel duduk, aku tanya ke Dira.

Cewek itu juga kelihatan bingung. Dia sebelumnya pernah ngasih beberapa saran, tapi sampai sekarang nggak ada yang berhasil. Aneh banget. Walaupun rasanya idenya Dira itu cukup klise, tapi tadinya kupikir bakal sukses dengan gampang. Yang ngambil buku tadi, contohnya.

Di beberapa novel dan film school-romance yang pernah kami tonton, nggak jarang ada adegan di perpus, waktu si cewek kesulitan ngambil buku yang ada di rak atas, lalu si cowok yang lebih tinggi bantu ngambilin. Saat itu juga mereka kenalan, temanan, sampai akhirnya dekat satu sama lain. Kupikir hal itu juga bakal berhasil untukku, tapi ternyata nggak.

Aku sudah pura-pura kesusahan ngambil buku yang ada di rak paling atas, tepat beberapa langkah di samping meja Marcel, berharap dia bakal lihat dan bantuin kayak cowok-cowok yang ada di film. Tapi apa? Nggak ada yang terjadi. Cowok itu tetap diam membaca di mejanya kayak patung batu nggak punya perasaan.

Bukan cuma itu aja.

Ide Dira yang selanjutnya juga sama sekali nggak berefek apa-apa.  Aku yang sudah capek pura-pura nggak bisa ngambil buku akhirnya pura-pura sedikit terpeleset karena hilang keseimbangan waktu berjinjit. Aku jatuh terduduk. Buku-buku yang sengaja kusenggol dengan tangan juga ikut terjatuh, bahkan beberapa ada yang kena kepalaku. Seiringan dengan suara jatuhan buku, aku merintih, bilang ‘aduh’ dengan suara yang nggak terlalu keras, tapi aku yakin seharusnya Marcel bisa dengar. Hasilnya? Sia-sia. Pergelangan kakiku sakit dan aku malah ngerasa malu sendiri karena dilihatin sama penjaga perpus.

Sumpah, ya, ini cowok kenapa, sih?! Nggak peka banget!

Dira ketawa. “Kalau kamu bakar diri di sini, tuh cowok juga kayaknya nggak bakalan peduli sih, Ran.”

Aku mendengus, tapi emang benar kalau si Marcel ini emang cuek banget. Jangankan bakar diri, kalau ada gempa bumi tsunami badai perang nuklir kayaknya tuh cowok juga palingan masih tetap baca buku di mejanya.

“Terus kamu mau gimana?” Dira tanya.

Aku sendiri juga nggak tau mau gimana lagi. Bingung banget. Kalau saja aku nggak butuh informasi buat mecahin kasus pembunuhan itu, aku juga nggak bakal mau deketin dia.

Beberapa menit aku merenung bareng Dira di balik rak buku paling belakang, kudengar ada suara langkah kaki yang masuk, melewati pintu perpus. Awalnya aku nggak terlalu peduli, tapi suara itu perlahan semakin mendekat, bikin aku refleks menoleh karena penasaran.

Cewek itu...? Aku kenal dia. Aku tau namanya. Dia salah satu cewek populer di sekolah. Aku juga sering lihat dia duduk di kantin bareng Rio sama Liam. Bisa dibilang mereka satu circle. Circle murid-murid populer yang dunianya berbeda 180 derajat dari duniaku.

Kenapa dia ada di sini?

Aku memang nggak tau apa-apa soal Bella, sih, tapi rasanya aneh aja lihat cewek gaul kayak Bella masuk ke perpus, tempat nongkrong murid-murid penyendiri, kayak gini.

“Nih.” Bella menghampiri meja tempat Marcel duduk, lalu naruh sebotol teh kemasan di samping buku yang cowok itu baca. “Air putihnya nggak ada, jadi aku beliin teh ini aja.”

Marcel melirik teh botol itu, lalu mengernyit. “Aku kan titip air putih, Bel.”

“Air putihnya nggak ada, Marceeelll.” Bella ngambil semacam snack cokelat dari sakunya, lalu membukanya di depan Marcel. “Kamu mau?” tanyanya.

Marcel menggeleng. Ekspresi kesal masih melekat di wajah cowok itu. “Bohong,” tuduhnya. “Nggak mungkin air putihnya habis.”

Bella meringis, nggak kuat nutupin kebohongannya lagi. “Cerewet banget, sih. Udah kamu minum aja tuh tehnya. Minuman manis tuh bagus buat naikin mood, biar kamu nggak sedih-sedih lagi.”

Marcel berdecih. “Siapa yang sedih?”

“Kamu.”

“Nggak; aku biasa aja.”

“Ya udah, pokoknya kamu minum. Udah aku beliin, juga.”

Marcel menghela napas, bilang, “iya, iya, makasih,” lalu meminum teh botol yang baru saja diberikan Bella itu.

Aku nggak nyangka bakal lihat yang kayak ginian. Marcel sama Bella? Aku tau kalau mereka itu sekelas, tapi aku nggak ngira kalau hubungan mereka berdua bisa dekat banget begini. Mereka sudah kayak sahabatan. Nggak. Lebih dari itu. Mungkin lebih cocok kalau disebut pasangan.

Mereka berdua... pacaran?

Gawat banget sih kalau benar kayak gitu. Kalau Marcel punya hubungan spesial sama Bella, aku bakal jadi susah banget buat deketin dia. Susah buat tanya-tanya dan nyari informasi soal kasus pembunuhan ayahnya itu.

Nggak. Nggak mungkin, nggak mungkin, nggak mungkin.

Bella itu cewek populer yang dekat sama banyak cowok, termasuk Rio sama Liam. Sementara itu, Marcel Cuma cowok kutu buku penyendiri. Nggak mungkin mereka berdua punya hubungan lebih dari sekedar teman.

Aku tau. Mungkin Bella cuma ngerasa simpati doang. Cewek itu kasihan lihat Marcel yang habis ditinggalin ayahnya. Dia peduli dan nggak mau lihat teman sekelasnya itu sedih terus-terusan. Pasti kayak gitu.

Tenang, Kirana, tenang. Aku yakin mereka cuma berteman, nggak lebih. Aku masih punya kesempatan buat deketin cowok itu dan nyari informasi.

“Kamu!” Suara Bella terdengar melengking, nadanya tegas. Tatapannya? Tatapannya bukan ke arah Marcel, tapi lurus menatapku yang sedang mengintip di balik rak. “Kamu nguping, ya?!”

Untuk sesaat rasanya sesak banget, seolah semua rak dan buku-buku ini menghimpit tubuhku sampai aku nggak bisa napas. Sialan, aku nggak tau mau ngapain. Bella terus natap aku, matanya semakin tajam.

Bodoh banget, sih, Kirana. Kok bisa sampai ketauan gini?!

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang