7

50 15 0
                                    

Acara pemakaman Marcel dilaksanain sehari setelah proses autopsinya selesai.

Polisi sudah netapin kalau Marcel meninggal memang karena dia gantung diri. Bukti forensik dan kondisi TKP juga bilang begitu. Walaupun belum ada yang tau pasti alasan kenapa Marcel ngelakuin hal kayak gitu, tapi... inilah dia.

Sabtu pagi, langit cerah berawan, di pemakaman umum yang dekat sama perpustakaan kota yang sering dikunjungi Marcel.

Nggak banyak orang yang berkumpul di sini. Cuma keluarga, beberapa saudara, perwakilan guru dan kepala sekolah, beberapa teman sekelas Marcel, termasuk Rio, Liam, dan Bella. Lalu yang terakhir ada aku sama Dira. Si monyet itu sebenarnya nggak mau datang ke sini, tapi setelah kupaksa dan kuiming-imingi, dia akhirnya mau ikut.

 Kami pakai pakaian serba hitam, sama kayak pelayat pada umumnya. Rambutku kuikat biar sedikit rapi, nggak pakai make up, cuma pelembab bibir biar nggak terlalu kering.

Nggak banyak yang bisa kami lakuin di pemakaman, nggak banyak juga yang bisa kuajak ngobrol. Dira nggak banyak berkomentar, karena dia emang sejak awal nggak terlalu kenal sama Marcel. Rio sedikit cerita tentang perilaku Marcel waktu di kelas, persis kayak dugaanku, Marcel emang kutu buku pendiam, Liam pun juga bilang begitu. Mereka cerita sambil menahan air mata. Bella?

Bella nggak terlalu banyak bicara. Aku nggak tau kenapa, tapi kupikir cewek itu kayak syok banget. Pandangan matanya menunduk terus. Kalau ditanyai sesuatu, dia jawabnya pakai gelengan atau anggukan doang, nggak ngomong apa-apa.

“Aneh ya?” Dira sampai tanya kayak gitu watu kami mampir makan siang di Abyss. Sesuai kesepakatan, aku mentraktirnya burger keju dan apa saja minuman yang dia mau.

“Aneh kenapa?”

“Cewek yang namanya Bella tadi....” Dira ngunyah makanannya cepat-cepal, lalu menelannya. “Kamu nggak lihat?”

“Seingatku sih, nggak ada yang aneh sama Bella.”

“Sekilas emang kayak biasa aja. Tapi....” Dira menggeleng, menatap potongan daging, tomat, dan keju yang ada di hadapannya. “Kupikir, dia pelakunya.”

“Bella? Pelaku apa?”

“Ih, masa kamu nggak ngerti, sih?!”

Nggak, aku nggak ngerti. Aku menggeleng untuk menjawabnya.

“Bella yang udah bikin Marcel bunuh diri.”

Sumpah, si monyet satu ini nggak ngerti suasana banget. “Kamu kalau bercanda kayak gitu liat-liat situasi dulu, dong!” Yang kami omongin sekarang ini Marcel, loh. Marcel teman sekolah kami. Ya walaupun nggak terlalu dekat, tapi kan tetap aja, nggak enak banget bercanda kayak gitu di saat-saat kayak gini. Bella juga. Walaupun dia termasuk tipe cewek gaul yang sering bikin aku iri, tapi kupikir dia cewek yang baik. Nggak mungkin Marcel bunh diri gara-gara Bella. Ngawur banget.

“Apa alasannya?!” saking emosinya, aku sampai nggak sengaja naikin nada suaraku di depan Dira. “Kamu kalau bercanda....”

“Aku nggak bercanda, Ran.” Dira naruh burgernya di atas meja, lalu menatapku lekat-lekat. “Aku nggak tau apa alasannya. Aku cuma ngerasa aneh aja.”

“Aneh apanya?”

“Bella itu tetangga dan teman mainnya Marcel sejak kecil, kan?”

Aku mengangguk. Aku juga baru tau tentang itu tadi siang. Marcel sama Bella sudah temanan sejak kecil. Rumah mereka masih satu kawasan kompleks, dan mereka sering main bareng di taman kecil yang berada nggak jauh dari sana. Itu fakta yang cukup mengejutkan. Tapi, kurasa nggak ada yang aneh sama hal itu.

“Tadi di pemakaman, kamu lihat wajah Bella?”

Aku mau mengangguk, tapi nggak jagi. Aku tentu saja lihat wajah Bella. Walaupun cewek itu lebih sering menunduk, tapi aku ingat wajahnya, ekspresinya, tatapannya yang kosong, kayak orang yang lagi melamun.

“Dia kelihatan.... bosan, kan?”

Bosan? Aku menggeleng, nggak ngerti sama maksud Dira. Bosan kenapa?

“Si Bella itu, nggak beraksi sama sekali. Sejak awal kita sampai di pemakaman, pembacaan doa, sampai akhirnya peti diturunin, penaburan bunga, ekspresinya Bella itu nggak berubah. Kayak orang yang lagi melamun, kamu bilang? Nggak. Menurutku sih nggak begitu.

“Marcel itu teman kecilnya Bella loh, Ran. Seharusnya dia lebih histeris, lebih melankolis, dramatis, atau apa pun itu istilahnya. Seharusnya dia lebih terbawa perasaan.  Nggak kayak tadi. Dia cuma diam. Bahkan kalau aku lihat-lihat nih ya, si Bella itu sama sekali nggak nangis. Kelopak matanya kering.”

Aku menggeleng. “itu cuma perasaanmu, kali.” Lagi pula, nggak ada gunanya juga bersikap dramatis. Meluk-meluk nisan, terus nangis histeris, manggil-manggil nama Marcel. Nggak perlu. Marcel sudah nggak ada. Bella mungkin sudah ngerti hal itu. Dia sudah nerima dengan ikhlas, makanya dia nggak terlalu terbawa perasaan waktu Marcel dimakamin.

“Ya itu sih terserah kamu aja. Mau percaya atau nggak.” Dira mengangkat kembali burger kejunya, lalu melahapnya dengan sedikit cemberut.

Bella teman baik Marcel. Aku yakin itu. Yakin banget. Dia nggak mungkin celakain Marcel. Tapi.... gara-gara Dira bercanda kayak gitu, aku jadi ingat apa yang polisi tanyain dulu.

Inspektur Hilman tanya tentang Bella, gimana hubunganku dengannya, dekat atau nggak.

Sampai sekarang aku nggak ngerti apa maksudnya.

Kenapa Bella? Dari sekian banyak teman sekelas Marcel, kenapa polisi itu cuma tanya tentang Bella doang? Apa karena cewek itu teman masa kecil Marcel?

Nggak. Kurasa bukan begitu.

Mungkin aku bakal tanya langsung ke orangnya. Besok, atau dua, tiga hari lagi, kalau ada kesempatan. Aku bukan tipe orang yang suka membuka obrolan, tapi kupikir juga nggak ada salahnya aku ngobrol sama Bella. Toh, kami juga bisa dibilang sudah berteman.

“Kalau jadi kamu, sih, aku nggak bakal mau dekat-dekat sama si Bella itu lagi.” Dira melirik dari ujung meja, tatapan matanya tajam banget, seolah bisa tau apa yang lagi aku pikirin. “Bukan cuma Bella doang, tapi Rio sama Liam juga. Semua teman-teman sekelas Marcel, kamu harus jauhin mereka.”

Seketika aku mengernyit. “Emangnya kenapa?” Apa salahnya? Aku nggak ngelakuin yang aneh-aneh, palingan ya ngobrol biasa. Justru rasanya bakal sungkan banget kalau aku tiba-tiba menjauh setelah apa yang terjadi sama Marcel.

“Kamu tuh keras kepala banget ya, Ran.”

“Udah terlanjur, Dir.” Walaupun masih belum terlalu dekat, tapi aku sudah masuk ke circleˆpertemanan mereka.

Dira menghela napas, lalu meraih segelas colanya yang hampir habis. “Terserah kamu aja deh, Ran. Yang penting aku udah peringatin loh, ya.”

Aku mengangguk pelan, lalu kembali diam sambil menghabiskan potongan terakhir burger kejuku.

Dira memang sahabat baikku, tapi dia nggak punya hak buat ngelarang aku berteman sama orang lain. Entah itu Bella, Rio, Liam, atau mungkin teman-teman sekelas Marcel yang lain.

Apa alasannya?

Apa alasan dia ngelarang aku buat nggak berteman sama mereka?

Aku baru tau alasan itu beberapa hari setelahnya.

“DASAR PEMBUNUH!!”

Pagi itu, ada banyak bola kertas yang dimasukin ke kolong mejaku. Aku membukanya satu per satu tanpa tau apa-apa.  Kupikir itu mungkin cuma ulah orang iseng atau semacamnya, tapi ternyata nggak.

Nggak. Nggak. Nggak.

Bola-bola kertas itu bukan ulah orang iseng. Surat-surat itu, coretan-coretan itu....

Dasar pembunuh?

Siapa pembunuh?

Aku?

Aku pembunuh?

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang