8

49 14 0
                                    

“Ada yang mau gue bicarain. Gue tunggu lo di lapangan belakang sekolah.” Dari sekian banyak bola kertas yang memenuhi kolong mejaku, cuma satu kertas itu yang ditekuk rapi. Isinya pun jauh berbeda. Nggak kayak surat lain yang nuduh aku sebagai pembunuh, surat kecil itu ditulis pakai pulpen hitam biasa, tulisannya juga rapi, nggak banyak gambar atau coretan-coretan seram berspidol merah. Nama Rio tertulis di ujung bawah.

“Kamu yakin surat itu dari Rio?” Dira tanya begitu waktu aku ngasih tau dia.

Aku mengangguk. Aku nggak terlalu yakin, sih. Tapi....

“Ini bahaya banget loh, Ran.”

Aku tau.

“Mending kamu laporin aja langsung ke ruang guru.”

Aku nggak tau itu pilihan yang tepat atau nggak. Guru-guru sekarang lagi kacau banget. Banyak wartawan yang datang ke sekolah buat nyari berita, minta penjelasan atau semacamnya. Tentu saja aku nggak mau terlibat sama wartawan-wartawan berita itu.

“Nanti dulu,” kataku. “Kalau surat-surat itu datang lebih banyak, mungkin aku bakal lapor.” Untuk kali ini mungkin aku masih bisa maafin mereka.

Dira menghela napas, lalu natap aku dalam-dalam. “Terus, kamu yakin mau nemuin Rio?”

Aku mengangguk. Rio bilang ada yang harus dia bicarain. Kayaknya penting.

“Mau aku temani?”

Aku pengen menggeleng, tapi kurasa nggak ada salahnya juga ngajak Dira. Aku yakin Rio juga nggak keberatan.

Jadi, sesuai dengan yang tertulis di surat itu, Aku sama Dira pergi ke lapangan belakang sekolah beberapa menit setelah bel pulang berbunyi.

Rio ada di sana, berdiri bersandar di dinding. Senyumnya melebar waktu melihatku datang dari lorong, tangannya terangkat untuk menyapa.

“Maaf ya, Ran,” dia bilang begitu setelah basa-basi singkat.

“Tentang surat itu?” Surat yang nuduh aku sebagai pembunuh itu?

 Rio mengangguk. “Ada gosip yang bilang kalau alasan Marcel bunuh diri itu karena lo yang udah bikin Marcel sakit hati. Jadi....”

“Jadi bener, ya. Yang naruh bola-bola kertas itu di kolong mejaku itu... temen-temen sekelas kamu?”

Rio nggak jawab, tapi dari tatapan matanya aku tau kalau dia mengiyakan.

“Sebenci itu teman-temanmu sama aku?”

“Maaf. Gue juga nggak nyangka.”

“Terus gimana?” Dira menyela. “Gimana solusinya? Kamu nyuruh Kirana ke sini buat minta maaf doang, tanpa ngasih solusi?”

 Rio menunduk lebih dalam, seolah malu nunjukin wajahnya di hadapan aku sama Dira.

“Sudahlah, Ran. Mending laporin ke guru aja.”

“Jangan!” Rio bergerak cepat, mencengkeram pundak Dira sampai cewek itu tertegun di hadapan Rio. “Jangan dilaporin. Teman-teman gue itu sebenernya baik, kok. Mereka nggak terima aja sama kematian Marcel yang tiba-tiba kayak gitu.”

“Tapi ya jangan sampe nge-buly Kirana juga dong. Kirana nggak salah apa-apa.”

“Gue tau. Gue, Liam, sama Bella juga udah ngomong sama mereka. Gue bilang ini cuma salah paham, tapi mereka nggak percaya.”

Salah paham. Sejak awal semua ini terjadi memang karena salah paham. Surat itu, hubunganku sama Marcel. Semuanya.

“Tenang aja, Yo.” Kupaksakan diriku untuk tersenyum. “aku nggak bakal ngelaporin teman-teman sekelas kamu, kok.” Sejak awal aku memang nggak ada niat buat ngelaporin.

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang