40

22 10 7
                                    

“Dira itu... siapa?”

Apa maksudnya? Dira itu... temanku, kan? Dia ada di sini sekarang. Di meja ini, duduk dengan tegak di hadapan mereka, Marcel sama Bella.

Mereka ini lagi bercanda, ya? Mereka pura-pura nggak lihat kalau ada Dira di sini? Mereka mau ngerjain aku, gitu?

Kulihat Bella natap aku dari ujung matanya. Cewek itu kelihatan nggak nyaman. Dia menggeser duduknya menjauh sekali lagi, jari-jarinya yang lentik mengetuk permukaan meja, membuat irama yang nggak beraturan. Mulutnya terbuka, seolah mau bilang sesuatu, tapi nggak jadi karena ragu.

“Ada apa?” aku tanya gitu, berharap keheningan dan rasa canggung ini segera menghilang begitu saja. “Apa ada yang salah?”

Marcel menggeleng. “Nggak,” katanya. Dia merapatkan bibir, majuin tubuhnya lebih dekat ke arah meja, lalu bertanya, “Dira ini... cewek?”

Dira mendengus. Rasanya aku juga mau ketawa pas dengar pertanyaan itu. “Coba bilangin ke mereka, Ran. Dira itu kentang.”

Aku sebenarnya mau bilang kalau Dira itu manusia setengah monyet yang suka manjat pohon dan suka bikin candaan-candaan gelap nggak jelas. Tapi... entahlah. Aku nggak yakin mau bilang kayak gitu.

“Ya-iyalah dIra itu cewek.” Akhirnya aku jawab begitu. Jawaban jujur dan nggak ada niat bercanda sama sekali.

Marcel mengangguk, seolah puas sama apa yang barusan keluar dari mulutku. Bella? Aku nggak ngerti apa yang ada di pikiran cewek itu.

Bella nanya, “Dira itu... bentuknya gimana?” dengan jari-jari yang masih ngetuk-ngetuk permukaan meja.

Dira itu bentuknya...? Ini pertanyaan apa, sih?! Dira bentuknya ya kayak manusia biasa. Cewek SMA normal. Kurus. Rambutnya panjang. Pakai kacamata. Pakai seragam lengkap. Kaki-tangan lengkap, wajah lengkap, organ-organ lengkap, semuanya lengkap.

“Kalian kenapa sih nanya kayak gitu?”

Bella majuin tubuhnya lebih dekat ke hadapan Marcel. Cowok itu merespons dengan cara yang sama. Mereka berbisik sambil naruh telapak tangan di sisi mulut mereka, berusaha nutupin entah apa yang bakal mereka bicarain. Walaupun begitu, samar-samar aku masih bisa dengar.

“Ih, ini cewek aneh banget.” Suara Bella terdengar lirih. Kulihat dia sesekali melirikku. “Indigo, ya? Dira yang dia bicarain itu... hantu?”

“Nggak.” Marcel kelihatan nggak setuju. “Kayaknya bukan begitu.”

“Terus apa, dong?”

“Mungkin lebih kayak... teman imajinasi.”

“Teman imajinasi?” Dira melirikku lagi. Kali ini dengan alis yang lebih mengerut, kayak lagi ngawasin sesuatu.

Sumpah, aku nggak tahan lagi. “Dira itu cewek beneran. Kalian nggak bisa lihat apa?” kutunjuk bangku di sebelah Marcel. “Tuh dia duduk di sana.”

“Biarin aja.” Marcel sama Bella masih berbisik.

“Kamu yakin?”

“Dia kayaknya nggak punya temen, jadi dia....”

“Kamu yakin itu teman imajinasi? Bukan hantu atau apa gitu?” Nada suara Bella terdengar sedikit panik. Tangan yang nutupin mulutnya gemetar.

“Hantu itu nggak ada.” Marcel natap Bella dengan penuh keyakinan, membuat pandak cewek itu sedikit turun dan terlihat lebih rileks.

Ya, itu emang benar. Aku sering keluar-masuk, nginap di rumah sakit, tapi aku nggak pernah sekalipun lihat yang namanya hantu, arwah, atau makhluk-makhluk seram lainnya. Persis kayak yang Marcel bilang, hantu itu nggak ada, dan Dira itu jelas bukan hantu.

Setelah beberapa lama, mereka berdua pun selesai berbisik. Marcel menghela napas, seolah nyuruh dirinya sendiri untuk tetap tenang, lalu natap aku dengan penuh pengertian. “Kamu sama Dira ini... kayaknya dekat banget, ya.”

Ya, tentu saja kami dekat. Cuma Dira teman yang mau kuajak ngobrol di kelas.

“Sejak kapan?” Marcel tanya. “Kalian kenal sejak kapan?”

Sejak kapan? Kalau diingat-ingat lagi, sih, rasanya sudah lama banget. Sejak SMP? Nggak. Apa mungkin sejak SD, ya? Aku nggak ingat kapan tepatnya aku pertama kali ketemu dan kenal sama Dira, tapi yang pasti aku sama dia itu dari dulu memang sudah akrab begini.

“Kalau kamu... ingat, nggak?” Aku menoleh, natap Dira yang duduk di sebelah Marcel, berharap kalau cewek itu ingat sesuatu.

Sayangnya, Dira kayaknya juga sama. Dia menggeleng dengan pasti, seolah memang nggak ada ingatan tentang awal pertemuan kami berdua yang terlintas dalam kepalanya.

Di rumah sakit, mungkin? Atau di taman dekat kompleks yang sering kukunjungi dulu? Aku berusaha ngingat-ngingat kembali apa-apa saja yang sudah kami lewati berdua. Waktu pertama kali masuk SD, Dira sudah jadi temanku atau belum, ya? Di hari ulang tahunku yang ke enam? Ke tujuh? Ke delapan? Dira datang ke pesta ulang tahunku apa nggak?

Aku nggak ingat. Aku sama sekali nggak bisa ingat apa-apa.

Mungkin karena sudah terlalu lama, kami akhirnya lupa sama awal pertemuan kami berdua.

Sejak kapan kami saling kenal? Aku nggak bisa jawab pertanyaan itu. Dira juga sama.

Senyum tipis membentuk bibir Marcel. Walaupun pertanyaannya itu nggak bisa kami jawab, tapi kayaknya cowok itu nggak keberatan dan cukup bisa memaklumi. Toh, sudah sejak kapa itu juga nggak penting. Yang penting itu kan di masa sekarang aku sama Dira masih bisa temanan dengan baik, masih akrab, dan nggak pernah berantem sama sekali. Benar, kan, Dir?

Dira mengangguk. Kayak biasanya dia selalu sepemikiran denganku.

“Lalu kamu... maksudku kalian. Kalian nyari apa di sini?” Bella yang duduk di sebalhku nanya. “Nyari buku buat tugas, atau novel, mungkin?”

Kulirik Dira. Aku ragu mau jawab gimana. Harus jujur atau nggak? Kalau aku jujur, bilang kalau aku ke perpus ini buat deketin Marcel, pengen tanya-tanya tentang kasus pembunuhan ayahnya itu, kira-kira Marcel bakal marah atau nggak, ya?

“Gimana menurutmu, Dir?” Aku takut mau jujur, tapi aku juga nggak mau bohong.

“Udah, jujur aja,” kata Dira. Dia naruh siku tangannya ke atas meja, menyangga kepalanya sendiri dengan telapak tangan. “Jam istirahat udah mau habis, kalau ditunda-tunda entar kamu malah nggak dapet informasi.”

Kulirik jam dinding yang tergantung di dekat kipas angin. Dira benar. Aku sudah terlalu lama buang-buang waktu dan ngobrol basa-basi sama mereka sampai aku sendiri lupa tujuan utamaku datang ke sini.

“Aku mau nyari informasi soal kasus pembunuhan yang....” Sebelum aku sempat nyelesaiin kalimatku, nggak tau kenapa tiba-tiba Bella membekap mulutku, menekannya kuat-kuat sampai aku hampir nggak bisa napas dan terjungkal dari bangku.

“Kamu itu bodoh banget, ya!” Bella berteriak. Alis matanya mengerut, penuh emosi. “Kamu ngapain sih nanya kayak gitu?!”

Guru penjaga perpus berdeham untuk nyuruh kami melanin suara, lebih tenang. Bella yang sadar sama hal itu segera melepas tangannya yang membekap mulutku, bikin aku bisa bernapas dengan bebas lagi.

“Maaf.” Suaraku lirih dan terbatuk-batuk.

“Bodoh! Kalau Marcel bunuh diri, emangnya kamu mau tanggung jawab?!”

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang