23

32 12 0
                                    

Empat bulan kemudian.

“Sore, Ran.” Waktu aku lagi baca-baca majalah, Dira mengetuk pintu, lalu muncul dari baliknya. “Gimana? Kamu udah agak baikan?”

Aku mengangguk pelan. Walaupun sebenarnya aku juga nggak yakin dengan kondisi tubuhku saat ini, tapi aku nggak pengen buat Dira khawatir.

Kami ada di rumah sakit sekarang, di ruang rawat inap yang aku tempati sejak beberapa minggu yang lalu. Aku duduk bersandar di atas ranjang, dengan tangan yang terpasang selang-selang infus. Majalah fashion dan kuliner berjejeran di sampingku. Sekeranjang buah-buahan segar tergeletak di atas meja, di samping mangkuk bubur sisa sarapan pagi tadi yang hanya bisa kuhabisin setengah doang.

Dira duduk di kursi kecil di sebelah tempat tidurku. Dia baru pulang sekolah, masih pakai seragam lengkap, bibirnya tertekuk ke bawah dan penampilannya pun agak kusam, kayak murid yang baru saja habis pelajaran olahraga, lalu disambut dengan ulangan matematika.

“Ada apa?” tanyaku sambil sedikit bercanda. “Kamu habis dihukum karena nggak ngerjain pr, ya?”

Tentu saja itu nggak mungkin. Dira itu kan anaknya rajin banget. Kalau sampai tuh cewek monyet lupa ngerjain pr, mungkin bakal ada badai besar yang bakal nerjang kota ini tujuh hari tujuh malam.

Dira memukul pelan selimutku, lalu cemberutnya berganti jadi senyum kecil. “Mana ada,” katanya. “Ini... gue cuma nggak habis pikir.”

“Emang kenapa?”

“Itu, uang kemarin.” Dira berusaha malingin wajahnya. Dia melirik ke arah buah-buahan yang ada di atas meja, ke luar jendela, lalu balik lagi ke arahku. “Emangnya kamu nggak tau?”

Aku mengernyit. “Kamu tau sendiri kan, Dir. Aku udah lama nggak ke sekolah. Aku nggak tau ada tugas atau pr apa, ada tugas kelompok atau praktek apa. Bahkan aku sendiri aja hampir lupa apa jadwal pelajaran hari ini.” Itu bohong, sih. Aku masih ingat hari ini pelajarannya cukup ringan. Nggak banyak hitung-hitungan. Cuma fisika doang, terus dilanjut bahasa Indonesia, sejarah, bahasa ingris, terus perlajaran terakhirnya seni budaya. Kurasa bohong bukan kata yang tepat. Lebih cocok kalau dibilang bercanda. Aku yakin Dira juga sadar akan hal itu.

Cewek itu terhenyak. “Kamu nggak liat grup chat kelas? Rame banget, lho.”

Aku menggeleng. Kulirik ponselku yang ada di dekat tumpukan majalah. Dari dulu, aku memang nggak terlalu aktif di grup chat kelas. Aku nggak punya sesuatu yang bisa kubagiin ke mereka. Nggak punya curhatan tertentu, dan kadang nggak bisa nyambung ke topik yang sedang mereka bahas. Biasanya sih, aku baca chat grup itu pas mau tanya-tanya tentang tugas doang. Kalau nggak ada, ya... kubiarin chat itu numpuk gitu aja.

Dira menepuk jidat, seolah bilang ‘haduhh, Ran, kamu itu kebangetan banget, ya.’

Itu mungkin salah satu alasan kenapa aku nggak bisa populer.  Tapi ya, mau gimana lagi?

“Emangnya kenapa, sih?” Kunaikin sedikit nada suaraku, nunjukin kalau aku penasaran sama apa yang terjadi.

Dari gelagat Dira, sih, kayaknya ini berhubungan sama gosip. Entah itu gosip percintaan teman sekelas, gosip libur akhir semester yang entah bakal jalan-jalan ke mana, atau mungkin gosip tentang makanan kantin yang pakai bahan-bahan pengawet berbahaya? Aku nggak tau. Aku benar-benar nggak punya petunjuk.

“Bilang aja,” kataku. “Ada apa, sih?”

Dira menunduk, lalu memasang senyum kecut. “Ini tentang Amel.”

Cewek itu, ya. Lama banget rasanya aku nggak dengar nama itu. Dia juga nggak pernah jenguk aku selama ini. “Amel kenapa?” aku tanya. “Jangan bilang... dia bun.....”

Amel bunuh diri juga? Itu nggak mungkin, kan?

Dira menggeleng. Aku tau itu memang nggak mungkin. Tapi, yang dibilang Dira selanjutnya juga rasanya hampir mustahil.

“Amel... hamil.”

Eh? Beneran? Aku tau cewek itu emang dekat sama banyak cowok. Dia punya mantan dari kelas ke kelas. Tapi, hamil? Aku nggak tau. Rasanya aku nggak pengen percaya.

“Setelah dicek, usia kandungannya sudah sekitar tiga bulan,” Dira ngasih tau aku. “Dari gosip yang aku denger-denger sih begitu.”

“Terus, gimana dia sekarang?” Pasti berat banget sih kalau dipikir-pikir. Amel yang udah kayak gitu, pasti sekarang dijauhin, kan? Mungkin nggak ada yang mau temanan sama dia lagi, entah karena takut terseret ke dalam kasusnya, atau karena udah nganggap Amel kayak cewek murahan yang nggak pantas buat diajak berteman.

Dira masih tetap menunduk, seolah ngerasain apa yang Amel rasain. Dira memang nggak terlalu dekat sama Amel. Tapi, sebagai teman sekelas yang hampir setiap hari terjebak satu ruangan bersamanya, kurasa Dira juga merasa sedikit terpukul atas apa yang terjadi pada cewek itu.

“Katanya sih, Amel bakal berhenti sekolah sementara.” Dira kelihatan nggak yakin. “Ada juga yang bilang kalau dia bakal pindah ke rumah kakek-neneknya yang ada di desa.”

Aku mengangguk, mengerti. Itu mungkin keputusan yang terbaik. Mau gimanapun, Amel nggak mungkin tetap sekolah dalam keadaan hamil, apalagi dengan teman-teman yang kemungkinan besar bakal mandang dia sebelah mata.

Kuhela napas berat, ngebayangin apa yang mungkin dilakuin Amel sekarang. Kalau aku jadi dia, mungkin aku bakal mengurung diri di kamar, duduk sambil memeluk lutut, menangis, entah sampai kapan. Apapun yang Amel lakuin sekarang, aku harap dia baik-baik aja.

Dira menatapku dengan sedikit lesu. Emang banyak banget sih yang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari dua kasus bunuh diri, kondisiku yang semakin memburuk, dan sekarang ini, tentang kehamilan Amel. Pasti rasanya sumpek banget di sekolah. Aku pengen ketawa, tapi rasanya bakal anek banget kalau aku ketawa sekarang.

“Kamu... beneran nggak tau?” Dira menaikkan kedua alisnya.

“Tentang kasusnya Amel ini?” Aku menggeleng. Aku beneran baru tau sekarang dari Dira. “Emangnya kenapa?”

Dira ikut menggeleng kecil. “Nggak,” katanya, pelan banget, hampir nggak bisa kudengar. “Aku pikir Rio atau Liam udah ngasih tau kamu duluan.”

Aku... juga sudah lama nggak dengar kabar dari mereka.

Rio sempat satu kali menjengukku di hari pertama aku dirawat di sini. Liam dua kali datang, dia juga sempat membawakanku buah-buahan. Tapi setelah itu, mereka berdua nggak pernah berkunjung ke sini lagi, sampai hari ini.

Sebelumnya, aku sering chat mereka untuk sekadar menyapa atau basa-basi. Rio sama Liam menjawab,  tapi balasnya lama banget. Low respons. Kupikir mereka sibuk, jadi sekarang aku nggak pernah chating-an sama mereka lagi.

“Apa semuanya sia-sia?”

Aku nggak tau. Pada akhirnya, aku sendirian lagi.

Surat yang kutulis hari itu, perkenalanku dengan mereka, waktu yang kami habiskan di kafe bareng, perjalanan pulangku yang dibonceng Rio, main lempar tangkap bola basketku sama Liam. Semua itu ada artinya, kan? Aku yakin semuanya nggak sia-sia. Kami sudah bersenang-senang bareng. Kami sudah berteman.

Lalu kenapa?

Kenapa sekarang aku masih sendirian?

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang