Apa yang aku tau tentang kasus pembunuhan itu?
Aku tau korbannya. Pria yang terbunuh dalam kasus itu tuh ayahnya Marcel (Lebih tepatnya ayah tiri), seorang pengajar dari salah satu universitas ternama di kota, spesialis di bidang neurologu yang berfokus pada sel dan saraf otak manusia. Beberapa orang termasuk Bella sering manggil pria itu dengan sebutan ‘profesor’.
Kapan pembunuhan itu terjadi? Dari berita yang kulihat di TV, kejadiannya terjadi di parkiran bawah tanah rumah sakit, waktu sore hari. Tubuh Profesor ditemuin di dalam mobilnya sendiri, penuh sama luka tusukan.
Tersangkanya? Ada rekaman CCTV di parkiran itu yang sempat merekam, tapi karena waktu itu mobil profesor terparkir di sudut dan titik buta kamera, kejadiannya tidak terekam dengan jelas. Cuma siluet, kayak cewek muda. Tubuhnya pendek, cenderung ramping, dan dia pake jaket yang nutupin hampir semua tubuh bagian atasnya.
Dari rekaman CCTV, terlihat profesor berbincang sebentar sama cewek itu, sebelum akhirnya mereka berdua masuk ke dalam mobil. Cewek itu membunuh Profesor di sana, lalu pergi nggak lama kemudian.
Cewek itu... siapa? Nggak ada yang tau siapa tepatnya cewewk itu. Banyak yang beranggapan kalau cewek itu kemungkinan besar adalah salah satu murid profesor yang sudah bekerja sebagai perawat di sana.
Apa motifnya? Sama kayak sebelumnya, nggak ada yang tau pasti tentang hal ini juga. Banyak yang bilang ini semua karena skandal. Profesor mungkin punya hubungan dengan cewek itu. Mungkin mereka sudah ngelakuin hal-hal yang nggak senonoh sejak cewek itu masih jadi murid Profesor. Mungkin Profesor maksa, ngancam, ngelakuin blackmail atau semacamnya terhadap cewek itu. Atau mungkin juga ini semua cuma karena balas dendam dengan alasan tertentu yang masih nggak diketahui.
“Gimana menurutmu, Dir?” Kutatap layar HP-ku, tempat wajah Dira terpampang. Aku habis searching di internet dan rasanya sekarang ngantuk banget setelah aku minum obat.
Dira juga menguap. Matanya kelihatan sayu. “Nggak tau ah, Ran,” dia bilang gitu. “Aku capek banget habis ngerjain PR.”
Aku berdecih. “Masih jam segini, Nyet. Bantuin aku mikir bentar, napa.” Aku juga ngantuk tapi kalau aku mau populer, aku harus bisa selesaiin kasus ini sebelum polisi-polisi di luar sana nemu jawabannya.
Dira mengerang. Dia meluk gulingnya lebih kuat. Jelas, dia nggak mau diajak mikir lagi. Walaupun begitu, dia tetap ngaktifin HP-nya dan belum mattin video call dariku.
Apa, ya, yang kurang?
Kasus ini seharusnya nggak terlalu rumit. Lokasi dan waktu pembunuhannya sudah diketahui. Metode pembunuhannya pun cukup jelas. Profesor ditusuk pakai pisau, nggak pakai obat-obatan atau racun yang misterius. CCTV sudah merekam siluet pembunuhnya. Kurang apa lagi?
Tinggal nyari tau siapa pembunuhnya, kan?
Cewek itu? Siluet cewek yang pake jaket itu?
Memang banyak yang bilang kalau cewek itu perawat atau murid profesor yang terlibat skandal dengannya, tapi aku masih nggak tau siapa tepatnya. Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, aku sama sekali nggak tau apa-apa tentang profesor dan siapa-siapa aja yang dekat sama pria itu.
“Mungkin kamu emang harus tanya Marcel,” Bella ngasih saran.
Aku menggeleng, “Nggak,” kataku. “Aku udah janji sama Bella kalau aku nggak bakal bahas kasus ini di depan Marcel.”
“Tapi Marcel sendiri kayaknya nggak keberatan kalau ditanyai yang begituan.”
Nggak. “Tetep nggak boleh.”
Dira menghela napas. “Terus gimana?” Dira nanya, kali ini suaranya lebih keras dan terdengar nggak sabar. “Kamu mau nyusup ke rumah Marce, terus nyari dokumen atau file-file yang berhubungan sama murid-murid profesor, gitu?!”
Aku mendengus. Si monyet kalau di situasi kayak gini emang suka banget ngeluarin ide-ide gila. “Nggak mungkin aku nyusup ke rumah Marcel, apalagi ke ruangan pribadi profesor terus lancang baca-baca sesuatu di sana. Nggak mungkin, nggak mungkin.” Itu nggak sopan banget, dan aku nggak mau dianggap kayak maling.
Siapa saja cewek yang pernah berhubungan sama profesor, entah itu rekan kerja, murid, atau mungkin temannya di masa lalu?
Sumpah, aku nggak bisa ngebayangin. Pria itu kerja di kampus, jadi pasti banyak banget orang yang kenal sama dia, apalagi dia punya reputasi yang cukup terpandang sebagai seorang pengajar.
Gimana ya?
Bahkan setelah berhari-hari, pertanyaan itu tetap berputar di kepalaku.
Cewek itu... siapa?
Aku sudah ngelakuin semua yang kubisa. Aku sudah lihat berita sampai hampir tengah malam. Aku juga sudah nyari petunjuk dan artikel-artikel yang mungkin berguna. Aku sudah cek website resmi universitas tempat ayahnya Marcel itu mengajar, sudah cek daftar-daftar alumni yang berprestasi di bidang neurologi dan stalking sosmed-sosmed mereka. Nggak lupa juga pengajar-pengajar lain yang mungkin punya hubungan dekat sama profesor, aku sudah cek semua. Hasilnya? Sia-sia.
Mungkin nggak semuanya sia-sia. Dari banyak murid yang belajar di universitas itu, aku bisa nemu beberapa cewek yang mendalami bidang neurologi, bidang yang profesor ajar. Walaupun begitu, aku nggak bisa nuduh mereka seenaknya. Aku nggak punya bukti apa-apa, dan aku bahkan nggak tau hubungan mereka dan profesor itu kayak gimana.
Data yang kupunya terbatas banget. Aku nggak punya data forensik dan detail-detail lain dalam kasus pembunuhan itu.
Ini buruk. Kepalaku rasanya buntu dan aku sudah ngebuang banyak waktu.
Sudah berapa hari sejak kasus itu dimulai? Sudah berapa minggu? Sudah berapa banyak informasi yang polisi tahu? Sudah sejauh mana perkembangannya? Sama kayak aku, mereka juga terus nyelidikin, kan?
Bodoh, Kirana, bodoh banget!
Sejak awal aku tau semua ini mustahil. Aku bukan pahlawan. Aku bukan detektif. Aku cuma cewek SMA biasa yang waktu ulangan aja masih sering bingung sendiri. Tentu saja, aku nggak bisa mecahin kasus itu.
Setelah seminggu lebih sejak pertama kali aku berniat mecahin kasus itu sendiri, hari ini... kepolisian akhirnya berhasil mengungkap semuanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer