“Menurutmu, hubungan Marcel sama Bella itu kayak gimana?”
Rio meraih sebungkus besar kripik kentang balado yang tersusun di rak paling atas, membaca komposisi dan kandungan nutrisinya, lalu menoleh waktu aku tanya.
“Gue nggak terlalu tau, sih. Gue kan baru pindah.” jawabnya. Alisnya mengernyit, merhatiin aku kayak orang lagi curiga. “Kenapa lo tanya begitu?”
Aku menggeleng, bilang ‘nggak apa-apa’ dalam hati. “Cuma penasaran aja,” kataku. “Mereka kayaknya dekat banget, ya.”
“Ya jelas. Tuh dua orang kan udah sahabatan sejak kecil.”
Kalau itu sih, aku juga sudah tau. Maksudku..., gimana ya cara jelasinnya? Ada sesuatu yang lebih di antara mereka. Kayak... suka, atau cinta, gitu?
“Ada yang bilang begitu juga sih di kelas.” Rio naruh kembali kripik kentang itu di raknya, lalu berganti ke kripik kentang merk lain yang berjejer di sebelahnya. “Ada gosip yang bilang kalau Bella itu sebenarnya suka sama Marcel. Tapi selebihnya, gue nggak tau.”
“Kamu nggak pernah nanya gitu ke orangnya langsung?”
“Nggaklah. Ngapain juga?”
Iya sih, rasanya juga nggak pantas kalau tanya langsung ke mereka. Kepo. Terlalu ikut campur. Rio masih meneliti bungkus kripik kentang itu, lalu menoleh waktu aku menghela napas.
“Lo mau yang mana?” Rio nunjukin bagian depan bungkus kripik kentang itu padaku, ngebuat aku lebih gampang buat milih. “Yang ini kalorinya lebih rendah,” katanya, lalu ngambil satu lagi di atas rak yang barusan ditaruhnya. “Beda dikit kayak yang balado ini.”
Kurapatin bibirku sampai membentk garis lurus. Waktu di kafe kemarin aku memang bilang kalau aku lagi diet. Aku ngurangin porsi makan dan jauhin camilan manis biar aku bisa lebih langsing dan populer di hadapan cowok-cowok. Tapi, kayaknya sekarang aku nggak perlu mikirin diet lagi, deh. Aku sudah punya Rio sekarang.
“Kamu lebih pengen yang mana?” tanyaku, mendongak, natap Rio yang beberapa senti lebih tinggi dariku.
Rio mengernyit, mungkin merasa sedikit kesal karena kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain. Walaupun begitu, dia tetap meresponsku dengan tatapan lembut sambil mengangkat lebih tinggi bungkus yang balado.
“Ya udah, yang balado aja.”
“Lo yakin? Yang ini kalorinya lebih banyak, lho.” Dia kelihatan ragu. “Atau kita beli dua-duanya aja sekalian.”
Aku menggeleng. Sudah banyak camilan yang kami masukin ke keranjang. Mulai dari popcorn, wafer, sampai beberapa cup es krim. Kayaknya nggak bakal habis deh kalau ditambah dua bungkus besar kripik kentang. Bella makannya sedikit, dan aku yakin Marcel juga sama. Habis aku bilang begitu, kami pun akhirnya mutusin buat ngambil satu bungkus kripik kentang yang rasa balado pilihan Rio.
Kurang dari lima puluh ribu. Rio bayar ke kasir dan nerima beberapa lembar kembalian kembalian. Jam tujuh kurang sepuluh, kami baru sampai di kompleks perumahan tempat Marcel tinggal.
Sudah ramai banget kelihatannya di sana. Di teras, ada Bella sama Liam, berdiri mematung, berdiri mematung, dengan mulut menganga dan mata yang terbuka lebar, kayak lagi nonton pertunjukan drama yang diadain di gedung opera.
“Ada apa?” aku langsung tanya gitu habis turun dari motor.
Sebelum mereka menjawab, kulihat Amel keluar dari pintu, langkahnya terburu-buru dan cenderung agresif. Bella sama Liam segera minggir waktu cewek itu berjalan melewati mereka, entah karena nggak pengen tertabrak atau memang nggak pengen berhentiin Amel yang melesat pergi.
Eh, Amel?
Kenapa dia ada di sini?
Aku tau cewek itu emang lagi dekat sama Marcel, tapi kupikir Bella nggak mungkin ngajak Amel buat gabung ke acara ini, deh.
“Kenapa tuh cewek?” Rio yang baru ngelepas helm dan turun dari motor nanya begitu.
Liam mengedikkan bahu. Cowok itu nggak tau, sama bingungnya kayak kami berdua. “Gue juga barusan sampai.”
Kutatap Bella. Karena dia rumahnya yang paling dekat di sini, kukira cewek itu bakal tau apa yang terjadi. Sayangnya, Bella juga nggak punya jawaban.
“Aku habis beli kartu baru buat main.” Bella ngeluarin sekotak kartu UNO yang masih disegel dari kantung celananya, seolah ngasih bukti kalau dia beneran jujur atas apa yang dia bilang barusan. “Pas aku sampai sini, tuh Marcel sama Amel udah berantem di ruang tamu.”
Ada sesuatu yang mengganggu indra penciumanku. Arahnya dari Bella. Minyak wangi? Bukan, lebih kayak detergen, atau mungkin obat-obatan. Cairan antiseptik? Nggak. Aku nggak yakin. Baunya samar banget, tapi aku kayak nggak asing sama aroma ini. Apa, ya? Sesuatu... yang ada di rumah sakit.
“Kalian ngapain ke sini?” Waktu aku lagi ngingat-ingat bau apa yang nyelimutin Bella itu, Marcel, si pemilik rumah, muncul dari balik pintu. Tatapannya tajam, natap kami semua dengan penuh emosi. Kayaknya dia masih terbawa suasana sama pertengkarannya dengan Amel barusan.
“Ka-kami... mau main.” Bella maksain senyum, nada suaranya bikin suasana makin canggung.
“Main? Yang benar aja. Aku sibuk. Masih banyak tugas yang belum aku selesaiin.” Marcel menaikkan dagunya, nunjukin gestur yang mengarah ke pintu gerbang. “Mending kalian pulang sana.”
Awalnya aku juga nggak ngerti kenapa Bella ngadain acara ini. Pesta kecil-kecilan buat ngehibur Marcel? Marcel jadi lebih pendiem dari biasanya? Perilakunya yang aneh? Aku sama sekali nggak paham karena aku sebelumnya emang nggak dekat sama dia. Tapi, melihat sikap Marcel yang kasar kayak gini, kurasa aku jadi sedikit ngerti tentang kekhawatiran Bella.
“Lo punya masalah sama Amel, kan?” Liam yang pertama kali angkat bicara. “Kita ke sini buat ngehibur elo.”
“Yoi, Bro. Chill aja, kali. Kita santai, main bareng. Lupain tuh cewek nggak jelas.” Rio merentangkan tangannya, seolah pengen merangkul pundak Marcel. Sayangnya, cowok kutu buku itu menghindar. “Lagian, masih banyak kok cewek di luar sana yang masih jomblo. Bener nggak, Yam?”
Liam mengangguk. Kesannya sedikit terpaksa. Tapi, cowok itu tetap mengiyakan.
Kulihat telapak tangan Marcel terkepal erat. Emosinya masih belum surut. Apa yang dibilang Rio sama Liam barusan kayak sia-sia banget. Keluar kuping kiri, keluar kuping kanan.
“Kalau kamu punya masalah, kamu cerita aja.” Senyum tipis terbit di wajah Bella, berusaha nenangin sosok sahabat di hadapannya. “Aku bakal dengerin semuanya kok.”
Melihat hal itu, aku jadi sedikit tergerak. “Kali aja kami bisa bantu,” kataku.
“Kita cari solusinya sama-sama.”
Marcel menunduk, nyembunyiin wajahnya di balik bayang-bayang. Kupikir, cowok itu bakal luluh. Dia bakal ngebolehin kami masuk dan mau ikut main kartu sama kami. Sayangnya, nggak semudah itu.
“Aku nggak pengen main. Aku nggak pengen dihibur.” Masih dengan posisi menunduk, Marcel ngangkat satu jari telunjuknya, nunjuk lurus ke arah pagar. “Pergi. Aku nggak pengen kalian ada di sini.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer