“Jadi kalian sekarang resmi pacaran?”
“Mungkin iya, mungkin nggak.” Aku sendiri juga nggak tau mau disebut apa hubunganku sama Marcel. Pacaran? Mungkin nggak. Belum. “Tadi waktu di kafe aku memang bilang kalau aku suka sama dia. Aku pengen kenalan dan pengen tau lebih banyak tentangnya.”
"Terus responsnya si Marcel itu gimana?”
Kuingat-ingat lagi apa saja yang terjadi di kafe tadi sore. Obrolan kami, candaan Rio sama Liam, perkataan Bella. Marcel? Aku sebenarnya nggak terlalu merhatiin Marcel, karena cowok itu memang lebih banyak diam dan mendengarkan. Tapi, waktu aku bilang kalau aku suka sama dia, aku sempat sedikit meliriknya.
Cowok itu berbinar pas natap mataku. Aku nggak tau gimana cara jelasinnya. Waktu mata kami bertemu di satu titik yang sama, tanpa kata, tanpa suara. Sama-sama mematung. Cuma dia yang ada di hadapanku, dan cuma aku yang ada di hadapannya. Rasanya kayak... kayak tenggelam.
“Hmm.” Si Monyet malah senyum-senyum nggak jelas. “Jadi gimana? Rencanaku bagus, kan?”
“Bagus apanya?!” Kunaikkan nada suaraku untuk protes. “Suratmu itu salah sasaran. Bukannya sampai ke loker Rio, tapi malah nyasar ke si Marcel.”
“Tapi tetap aja berhasil, kan?” Dira ketawa. “Buktinya, tadi kami berhasil nongkrong bareng sama Rio dan temen-temennya.”
“Iya, sih. Tapi kan....”
“Harusnya kamu bilang terima kasih ke aku.”
“Terima kasih tai kucing.” Sumpah, ngobrol sama Dira memang kadang bikin kesal, tapi yang dia bilang itu juga ada benarnya, sih. Aku bisa berteman sama anak-anak gaul itu juga karena rencananya si Dira. Nggak cuma berteman doang, tadi aku juga sempat ngambil foto bareng, terus nge-post foto itu di IG.
Foto pertamaku bareng anak-anak populer se-SMA. Dengan kafe sebagai latar belakangnya, langit malam, seragam sekolah yang belum diganti, lalu senyum indah kami berlima. Yang nge-like masih sedikit, sih, tapi aku sudah tag akunnya Rio, Liam, Bella, sama Marcel.
“Mungkin besok baru ramai yang nge-like.”
“Jangan berharap banyak dulu,” Dira mulai bertingkah kayak emak-emak yang sok bijak. “Awas aja ya kalau besok pagi kamu ngomel-ngomel di kelas karena jumlah like-mu nggak nambah.”
Aku ketawa. “Tenang aja, Dir.” Tangga kepopuleran saat ini berada tepat di hadapanku. Selangkah demi selangkah. “Aku yakin banget, besok IG-ku pasti bakal rame.”
Sumpah, nggak sabar. Aku sampai nggak bisa tidur karena deg-degan.
Berapa banyak ya kira-kira yang komen dan nge-like foto baruku itu?
Berapa banyak followers baru yang ngikutin aku?
Aku nggak bisa lihat. Jam sembilan malam. Habis teleponan sama Dira, HP-ku ku-charge dalam posisi mati sekarang.
Tadi aku sempat cek sebentar. Foto bareng yang kuambil di kafe itu tadi sudah dapat enam belas like. Satu dari diriku sendiri, dari Dira, dari Marcel, Rio, Liam, dan Bella, lalu juga dari beberapa saudara jauhku. Besok? Kayaknya bisa dua puluh lebih, deh. Lebih. Lebih dari foto lamaku pas jadi pengiring pengantin dulu.
Aaaaaahhhh, sumpaaaahhh, nggak sabar banget!
Entah jam berapa aku akhirnya bisa tidur kemarin malam. Aku bahkan sampai lupa nggak nutup jendela kamarku. Bodoh sih, tapi untung kayaknya nggak ada maling yang masuk.
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung ngecek HP-ku. Baterainya sudah penuh, kucabut charger-nya, lalu kunyalakan. Layar yang gelap perlahan jadi terang. Bisa kulihat pantulan diriku dengan wajah bangun tidur dan rambut berantakan di sana.
Jam enam pagi. Ada notifikasi dari Youtube, notifikasi dari game yang jarang kumainin, beberapa SMS promo dari Call Center, pemberitahuan kuota internetku yang hampir habis, dan yang terakhir, notifikasi dari IG. Banyak. Banyak banget.
“Jadi berapa sekarang?” Dira tanya begitu waktu kami duduk di kelas. “Dua puluh? Tiga puluh?”
Aku menggeleng sambil menahan senyum. Ini beneran rekor baru yang bahkan aku sendiri nggak bisa percaya waktu pertama kali melihatnya.
“Lima puluh, Dir.” Dua kali lipat dari rekorku sebelumnya. “Lima puluh like!”
Diar mengangkat kedua alisnya tingi-tinggi, seolah nggak percaya. Tapi, bukan Cuma itu saja yang mengejutkan.
Aku juga dapat banyak followers baru. Beberapa teman sekelasnya Rio, anak-anak basket temannya Liam, sampai cewek-cewek gaul yang kayaknya masih satu circle sama Bella. Gila banget, nggak sih?!
“Lumayan, lumayan.” Dira memang nggak terlalu heboh mendengar berita itu, tapi aku tau dia pasti juga ikut senang ngerasain apa yang kurasain saat ini. “Terus? Kamu mau ngapain sekarang?”
Aku... masih nggak tau. Aku nggak berpikir sejauh ini. “Mungkin, aku bakal nemuin Marcel pas jam istirahat nanti.”
Dira mengangguk-angguk, seolah setuju dan sama sekali nggak keberatan sama ideku itu.
“Kalalu kamu nyari Marcel, dia kemungkinan besar ada di perpus,” ujar Dira. “Aku sering lihat dia duduk sendirian di pojok.”
Aku tau. Aku juga sering lihat dia di sana. Tapi, kalaupun aku ke sana dan ketemu sama dia, aku nggak tau apa yang bakal aku omongin. Nggak mungkin kan kalau aku ngobrol tentang followers dan rekor like terbaruku sama dia. Toh, si Marcel itu pun juga kayaknya nggak terlalu peduli sama medsos dan hal-hal yang lagi ngetren di sana.
Kalau dipikir-pikir, sih, sejak awal aku memang nggak ngerti apa-apa tentang Marcel. Aku cuma tau kalau dia itu seorang kutu buku pendiam yang jarang banget berinteraksi sama orang lain. Di akun Instagram-nya pun dia nggak pernah sama sekali posting foto atau video. Kosong melompong, kayak akun baru.
Sumpah, pusing banget!
“Marcel, kamu baca buku apa?” mungkin aku bakal tanya kayak gitu aja waktu ketemu sama Marcel di perpus. Atau, “Marcel, kamu bisa pelajaran yang ini, nggak? Ajarin aku dong.”
Sialan, kok rasanya geli sendiri, ya. Marcel bakal risi nggak sih kalau aku ngomong kayak gitu?
Aku pengen lebih dekat sama Marcel, tapi aku juga nggak boleh bikin dia risi. Aku butuh dia. Aku butuh cowok itu biar aku tetap bisa berhubungan baik sama Rio, Liam, Bella. Biar aku bisa ikut populer bareng mereka.
Waktu aku lagi mikir begitu, aku baru sadar kalau ada Amel yang berdiri di sebelah mejaku. Cewek itu tersenyum lebar, natap aku seolah aku ini salah satu cewek gaul yang satu circle dengannya.
“Kiranaaa, kemarin lo jalan sama Rio, yaaaa?” Suara cempreng khas cheerleader Amel melengking di telingaku. “Gue lihat loh di IG-lo, lo sama Liam, sama Bella juga, kan? Gue nggak nyangka lo ternyata deket sama mereka.”
Kupasang senyum canggung sambil sesekali mengernyit. Aku nggak percaya ini. Amel lihat fotoku? Serius? Aku tahu foto bareng yang ku-post kemarin itu memang bersifat publik dan siapa aja bisa lihat, tapi Amel? Seingatku sih, dia nggak nge-follow akunku.
Apa fotoku seviral itu? Kayaknya nggak deh. Mungkin Amel lihat dari akun-akun yang ku-tag. Mungkin dari akunnya Rio atau Liam. Tapi, bukan itu yang lagi aku pikirin sekarang. Bukan, bukan, bukan, bukan.
Amel datang ke mejaku, ngajak aku ngebrol begini, pasti dia punya maksud dan tujuan tertentu.
“Kiranaaa, kenalin aku ke si murid baru itu, dong!”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer