15

33 14 2
                                    

Apa ada sesuatu yang aku lewatin?

Sesuatu... yang ada di diri Marcel. Yang aku nggak tau.

Sesuatu yang salah.

Aku dipanggil ke kantor kepala sekolah siang ini. Ada dua inspektur kepolisian yang menanyaiku tentang kasus bunuh diri Marcel. Tapi, aku beneran nggak tau apa-apa. Aku nggak tau apa yang salah. Kenapa dia ngelakuin hal konyol kayak gitu, apa penyebabnya, apa masalah yang dia punya. Sumpah, aku sebanyak apa pun aku berpikir dan mengingat-ingat kembali apa-apa saja kegiatan yang sudah kulakuin bareng Marcel, aku tetap nggak ngerti apa-apa.

Marcel Aditya, gantung diri di kamarnya sendiri. Malam hari, tepat setelah kami main kartu di rumahnya.

Sejak awal, semuanya kelihatan baik-baik aja. Kami main dengan cukup santai, tanpa taruhan apa-apa. Cuma main kartu untuk senang-senang biasa. Nggak ada yang salah dengan itu semua, kan?

Lalu kenapa?

Sejak kapan?

Sejak kapan Marcel berencana bunuh diri?

Apa dia di-bully di kelas? Kayaknya nggak, deh. Dia temanan sama Rio, Liam, dan juga Bella. Rasanya nggak mungkin banget kalau dia di-bully sampai bunuh diri kayak gitu.

Keluarganya? Marcel punya orang tua yang baik, kurasa. Kemarin ayahnya menyuruh dia untuk berhenti belajar sejenak dan menyuruh dia bermain dengan kami. Tubuhnya pun bersih, nggak ada luka atau tanda kekerasan lainnya.

Ada beberapa gosip yang bilang kalau Marcel bunuh diri itu karena dia tertekan gara-gara nilainya turun dan dipaksa belajar terus oleh sang Ayah. Tapi, kurasa itu semua nggak benar. Walaupun aku masih baru-baru ini kenal Marcel, tapi menurutku Marcel itu tipe orang yang memang suka belajar. Lalu, aku juga sudah lihat sendiri gimana baiknya Ayah Marcel. Aku yakin banget, pria seramah itu nggak mungkin maksa anaknya sendiri belajar sampai depresi.

Nggak. Nggak mungkin.

“Udah lah, nggak usah dipikirin,” Dira bilang kayak gitu waktu kami berdua duduk dan minum di kantin. “Entar kamu makin sakit lho, kalau kebanyakan pikiran kayak gini.”

Aku tau. Aku seharusnya menghindari stres yang berlebihan. Tapi, kurasa aku juga nggak bisa lari dari ini semua.

Walaupun berawal dari kebohongan, tapi Marcel sudah kuanggap kayak teman dekat. Aku nggak bisa ngelupain dia begitu aja.

“Memangnya kalian ngapain aja kemarin?” Dira tanya begitu.

Sudah kubilang, “Kami cuma main kartu biasa.”

“Nggak aneh-aneh?”

“Nggak.” Aku yakin banget. “Sama sekali, nggak.”

“Mungkin....” Dira mencubit ujung bibirnya sendiri. Alisnya mengerut, kayak orang lagi mikir. “Mungkin nggak, sih. Kalau Marcel itu meninggal bukan karena bunuh diri. Tapi karena... dibunuh?”

Aku seketika ikut mengernyit. “Nggak mungkin,” kataku, walaupun aku sendiri cukup ragu. “Nggak mungkin Marcel dibunuh. Nggak mungkin. Nggak mungkin. Kamu jangan bercanda kayak gitu deh, Dir.”

Marcel meninggal gantung diri di kamarnya, Inspektur Hilman bilang begitu padaku. Kamarnya tertutup rapat, terkunci. Nggak ada orang yang masuk ke rumahnya setelah aku dan yang lainnya pulang habis main kartu.

“Lagi pula, siapa sih yang punya ide jahat, mau bunuh Marcel?” Kayaknya nggak ada, deh. Marcel nggak terlalu mencolok, nggak punya banyak teman. Apalagi musuh. Aku akuin Marcel memang kadang nyebelin, tapi kurasa nggak mungkin banget kalau ada orang yang benci Marcel sampai pengen bunuh dia begitu.

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang