Penyelidik

34 12 12
                                    

“Kamu sudah lihat berita kemarin?”

Aku sebenarnya nggak terlalu suka menonton acara berita di TV, tapi karena berita ini viral banget, aku nggak sengaja lihat salah satu cuplikannya yang beredar di internet.

Ada kasus pembunuhan di kota ini. Korbannya seorang pria yang cukup berumur yang berprofesi sebagai salah satu pengajar di universitas ternama.

Kasus pembunuhan, ya? Biasa aja sih sebenarnya. Dari dulu berita kayak gitu juga lumayan banyak, entah itu pembunuhan berencana atau nggak, siapa pelaku dan apa motifnya. Kebanyakan dari yang kudengar sih gara-gara pelakunya sakit hati, iri, atau dendam. Atau mungkin juga pelakunya seorang perampok yang terpaksa membunuh si korban karena korbannya itu melawan waktu dirampok.

“Menurutmu gimana?”

Dira mengedikkan bahu. “Kalau nggak salah di berita bilang ini bukan perampokan.” Cewek itu naikin alisnya, seolah lagi ngingat-ngingat sesuatu. “Nggak ada barang yang hilang di rumahnya. Nggak ada yang dicuri. Bahkan dompet dan HP si korban masih tersimpan di saku jas.”

Oh, iya, aku baru ingat hal itu juga. Jadi kalau nggak merampok, pelakunya kemungkinan besar bunuh si korban itu murni karena benci atau pengen balas dendam.

Dira kelihatannya kurang setuju. Dia memiringkan kepalanya dan diam untuk waktu yang cukup lama.

“Menurutmu ada motif lain?” aku tanya gitu.

“Mungkin....” Dira perlahan melanin suaranya. Lalu secara tiba-tiba, dia berteriak, “Si pelaku itu psikopat gila yang membunuh untuk bersenang-senang!”

Cewek monyet itu membuka telapak tangannya lebar-lebar, kayak kucing mau nyakar. Sayangnya dia nggak punya kuku, dan tentu itu saja nggak cukup buat nakutin atau ngagetin aku.

“Psikopat?” Aku ketawa. “Emang yang kayak gitu beneran ada, ya? Bukannya cuma ada di film sama novel-novel doang?” Aku bilang gini buat ngisengin Dira. Aku tau kok orang dengan gangguan kayak gitu memang ada.

Dira yang terpancing bercandaanku mulai kelihatan kesal. Dia mengernyit. “Psikopat itu ada, tau, Ran!”

Aku masih pura-pura nggak percaya. “Emang kamu pernah ketemu orang kayak gitu?” tanyaku.

Dira seketika bungkam. “Ya, nggak pernah, sih,” katanya. “Tapi, kan, orang gangguan mental gitu emang ada, Ran. Ada yang sudah kayak gitu sejak lahir, atau yang stres karena sesuatu, mungkin karena pekerjaan atau tugas, sampai jadi depresi dan akhirnya hilang akal.”

“Iya, kah?”

“Banyak ilmu psikologi yang sudah buktiin. Banyak pembunuh-pembunuh di masa lalu yang punya masalah mental kayak gitu juga sebelumnya.”

“Iya, deh, iya.” Capek juga bercandain Dira kayak gini. “Aku percaya, aku percaya.”

“Ih, kirana, nggak asyik!” Cewek yang berdiri di sebelahku itu menggerutu. Bibirnya cemberut, dan matanya jelas nunjukin rasa kesal. “Aku doain kamu ketemu psikopat waktu pulang nanti.”

Aku seketika terhenyak. “Eh, jangan bilang gitu, Nyet!” Kupukul pelan bahunya sampai dia sedikit terdorong. “Nanti kalau ketemu beneran gimana?”

“Bodo amat!”

Aku berdecih. Monyet satu ini emang nggak pernah mikir dulu kalau bercanda.

“Jadi mau sampai kapan kita nunggu di sini?” Masih dengan nada sedikit kesal, dia bertanya. “Udah mau dua jam, nih. Sekolah udah sepi.”

“Sebentar lagi,” kubilang.

Kulihat Dira mulai nggak sabar. “Cowok itu nggak bakal datang, Ran.”

Aku tau. Aku bisa ngerasain hal itu, sejak awal waktu aku naruh surat di lokernya sampai saat ini aku nunggu dia di lapangan belakang. Ini sudah hari kedua. Aku kemarin sudah nunggu di sini sampai gerbangnya mau ditutup. Hari ini kayaknya juga sama. Rio nggak datang, entah karena dia nggak baca suratku, atau emang karena dia sama sekali nggak peduli.

Memang mustahil banget, sih, rasanya. Cowok sepopuler Rio baca suratku dan mau datang ke sini buat kenalan sama aku? Hidup nggak seindah cerita novel-novel romance, Kirana.

“Lalu kenapa kamu masih nunggu di sini?”

Karena nggak ada salahnya juga.

Aku masih pengen bermimpi. Aku masih pengen jadi murid populer. Aku pengen punya banyak teman. Aku pengen hidupku lebih seru sebelum aku meninggal satu atau dua tahun lagi.

Aku pengen hidup sehidup-hidupnya.

“Kamu tau itu, kan, Dir?”

Dira nggak jawab, tapi aku yakin dia tau maksudku. Dia itu cewek yang ngerti banget sama permasalahanku. Aku sudah sering banget curhat sama dia dan dia selalu dengerin semua yang kubicarain.

 “Mungkin ada hubungannya sama kasus pembunuhan itu?” Dira berusaha ngalihin pembicaraan. “Pria yang jadi korban itu Ayah salah satu teman sekelasnya Rio, kan?”

Aku mengangguk. Aku nggak sengaja nguping teman-temanku yang lagi ngomongin hal itu di kelas kemarin. “Kalau nggak salah, sih... ayahnya Marcel? Kamu tau, kan, si cowo kutu buku itu, lho.”

Tentu saja Dira tau. Kami pernah beberapa kali lihat cowok itu waktu kami lewat sekitar perpus. Dia sering duduk sendirian di sana, entah buku apa yang dia baca.

“Mungkin Rio lagi sibuk ngehibur temannya yang masih berduka itu, makanya dia nggak baca surat kamu.”

Apa benar kayak gitu?

Mungkin aja, sih. Walaupun aku nggak tau hubungan Rio sama Marcel itu sedekat apa, tapi sebagai teman sekelas, kurasa wajar saja kalau Rio peduli sama Marcel. Dia mungkin saat ini ada di rumah cowok itu, entah cuma sekadar berkunjung atau untuk nemenin cowok kutu buku itu biar nggak kesepian sehabis kepergian ayahnya.

Enak ya?

Bahkan cowok penyendiri kayak Marcel pun punya teman yang baik kayak gitu.

Sedangkan aku...?

Apa salahku, sih?! Sumpah, aku nggak ngerti. Kenapa nggak ada yang mau temanan sama aku? Kenapa mereka jahat banget?

Teman-temanku di kelas..., nggak ada yang mau dekat-dekat sama aku. Nggak ada yang mau ngajak aku ngobrol. Mereka cuma melirik doang, lalu berbisik seolah mereka terganggu sama keberadaanku yang cuma duduk diam di pojokan kelas.

Kenapa, sih?!

Apa yang salah?!

Perasaan aku nggak ngelakuin hal-hal yang ngeganggu. Aku juga sering senyum, berusaha bersikap ramah sama siapa pun, nggak cemberut, nggak sombong, nggak suka cari masalah. Aku sama kayak mereka. Cewek SMA biasa yang juga pengen berteman, ngobrolin ini-itu bareng-bareng, main sana-sini. Kenapa mereka malah jauhin aku?

Apa mereka takut sama penyakitku?

Nggak. Nggak ada yang tau soal itu. Nggak ada yang tau tentang kondisi tubuhku. Penyakitku, obat-obatan yang kuminum setiap hari, sisa umurku, seharusnya semua itu masih rahasia. Kecuali Dira, teman-teman sekelas yang lain seharusnya nggak tau tentang masalah ini.

Lalu kenapa?

“Cewek aneh,” kata mereka?

Apanya yang aneh?

“Gila.”

“Nggak waras.”

Aku nggak ngerti kenapa mereka ngatain aku kayak gitu? Apa sih yang mereka lihat dariku?

“Jangan deket-deket.”

“Iih, aneh banget.”

“Lihat, dia ngomong sendiri lagi.”

Apanya yang ngomong sendiri, coba? Aku nggak pernah ngomong sendiri. Mereka nggak lihat, apa, waktu aku ngobrol berdua sama Dira?

Benar. Cuma Dira.

Cuma Dira yang bisa aku ajak ngobrol di kelas ini.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang