Selama ini, Bella memang kelihatan beda dari kebanyakan cewek populer lainnya. Aku nggak tau kenapa. Mungkin dari penampilannya yang simpel, atau dari gaya bicaranya? Suaranya? Memang sih, aku kenal cuma beberapa hari ini doang. Tapi, beneran deh, aku kadang lihat Bella itu lebih kayak orang dewasa. Nggak kayak lihat cewek SMA biasa.
Ini mungkin cuma perasaanku doang, sih. Aku juga nggak tau gimana cara jelasinnya.
Sepanjang hidupku hingga saat ini, aku tentu saja banyak ketemu sama orang dewasa. Orang tua, guru di sekolah, orang-orang di jalan, lalu di pasar, di mana-mana pun rasanya pasti ada orang dewasa. Termasuk di rumah sakit juga. Aku dekat sama beberapa orang dewasa di sana. Dokter spesialisku, misalnya. Atau suster Anna yang sering bertugas menjaga apotek, suster Sarah di meja administrasi, juga beberapa ibu-ibu yang berjualan di kantin. Cukup banyak. Tapi, yang paling dekat dan akrab denganku itu mungkin... suster Freya?
Iya, kurasa emang suster Freya. Aku sering duduk di sampingnya buat sekadar ngobrol biasa, atau ngebantu dia bacain dongeng di ruang bermain anak.
Suster Freya itu perawat yang sering ditugasin buat ngecek kondisiku. Aku nggak tau umurnya berapa. Aku nggak pernah tanya. Tapi, kurasa dia berumur di bawah tiga puluh tahunan. Postur tubuhnya ramping, dengan rambut diikat bulat. Senyumnya ramah. Dibanding seorang perawat, aku sudah nganggap suster Freya kayak kakak perempuanku sendiri.
Saat jam istirahat, Suster Freya sering pergi ke lantai empat, lebih tepatnya ruang bermain anak. Sekotak ruangan yang penuh warna. Bola-bola karet berbagai ukuran menggelinding bebas. Boneka-boneka binatang yang lembut dan lucu. Puzzle yang menarik untuk diselesaiin. Satu ruangan yang seratus persen bakal membuat anak-anak penderita penyakit berat kayak kanker dan tumor lupa waktu, entah sebanyak atau sesedikit apa pun waktu mereka.
Aku juga sering kesana, entah karena iseng atau emang pengen ikut ngelupain waktu. Walaupun begitu, aku nggak terlalu dekat sama anak-anak. Aku pernah bantu buat nyelesaiin puzzle atau nyuzun istana kecil dari lego. Tapi, aku nggak banyak ngobrol sama mereka. Anak-anak di bawah umur itu cuma ngelihatin aku dengan penasaran, lalu pas aku sudah selesai, mereka tepuk tangan seolah aku ini seorang pesulap yang habis nunjukin semacam trik ke mereka.
Anak-anak itu kelihatan senang, sih. Beberapa dari mereka bahkan minta aku buat ngajarin buat sesuatu dari lego. Tapi, tetap saja....
Di sisi lain, Suster Freya duduk dengan buku cerita di pangkuannya, anak-anak membentuk setengah lingkaran, mengitari perawat itu kayak anak domba yang berjejer di depan penggembala.
Aku nggak ngerti kenapa, tapi kurasa Bella itu hampir sama kayak suster Freya. Cara dia bergaul sama Rio, lIam, dan Marcel. Matanya yang terus memerhatikan mereka. Waktu mereka ngobrol di parkiran, di kafe sore itu, atau pas kemarin aku sana dia duduk di samping lapangan, nungguin Liam yang main basket sama teman-teman ekskulnya. Bella nggak banyak bercanda, tapi dia cukup ceria dan tawanya pun tulus pas dengar guyonan-guyonan temannya. Persis kayak yang kulihat dari suster Freya pas dia bercanda bareng anak-anak rumah sakit. Orang dewasa yang suka bermain dengan anak di bawah generasinya.
Aku nggak bermaksud ngatain Bella itu kayak orang tua, kakek-nenek, atau semacamnya, ya.
Aku suka berteman sama dia. Aku senang banget. Mau gimanapun, Bella itu salah satu cewek populer di sekolah yang pengen banget aku dekati.
Sekali lagi, ini mungkin cuma perasaanku doang.
Bella mungkin memang begitu dari sananya. Dia punya kepribadian yang dewasa, entah dari lingkungan rumahnya, perlakuan orang-orang terdekatnya, atau semacam sifat turunan dari orang tua? Aku nggak tau.
Tapi, bunuh diri itu bukan suatu keputusan yang bakal diambil orang dewasa, kan?
Aku selalu berpikir kalau orang dewasa itu pasti bisa nyelesaiin masalah apa pun. Kayak Papa sama Mama, misalnya. Mereka berdua selalu bisa diandalin. Papa bisa menuhin kebutuhan ekonomi keluarga, bisa mereparasi barang-barang kayak kulkas, TV rusak, atau alat-alat elektronik lainnya. Di kantornya pun, Papa punya jabatan yang cukup bagus. Mama juga begitu. Mama bisa ngatur waktunya dengan baik. Mulai dari bangun pagi dan buat sarapan, pekerjaannya, hari untuk liburnya, lalu juga waktu aku harus rawat inap di rumah sakit untuk beberapa hari, Mama bisa ngatur semuanya dengan baik.
Rasanya aneh juga sih kalau ngebandingin Bella sama Mama, Papa, bahkan suster Freya. Bella masih cewek SMA kayak aku. Masih labil dan nggak bisa diandalin. Tapi tetap saja, aku nggak ngerti kenapa Bella... bunuh diri?
Hasil investigasi polisi emang bilang kalau Bella itu bunuh diri. Cewek itu menusuk dadanya sendiri pakai pisau dapur. Dua tusukan yang sukses menembus organ vitalnya. Polisi sempat mengira kalau ini kasus pembunuhan. Tapi, sama kayak kasusnya Marcel, itu cuma spekulasi semata. Faktanya, pisau itu ada di dekat Bella pas jenazahnya ditemuin. Cuma ada satu sidik jari di sana. Sidik jari Bella sendiri.
“Ini kasus bunuh diri biasa. Mendiang Bella mungkin punya hubungan lebih dengan mendiang Marcel. Sedih karena ditinggalin, Bella akhirnya mutusin buat ikut bunuh diri untuk menyusul sahabat dekatnya itu,” Orang-orang, termasuk kebanyakan teman sekelasnya nyimpulin kayak gitu.
Tapi apa itu benar?
Ada yang aneh pas polisi mengautopsi tubuh Bella.
Di kamar, tubuh Bella ditemuin di dalam lemari besar, tempat di mana dia biasa nyimpan barang-barang bekas. Tubuhnya sudah kaku banget, terus ada juga semacam lendir yang nyeliputin dari ujung kaki sampai seluruh wajahnya. Cairan pengawet? Polisi menduga begitu. Baunya pun wangi, kayak ada orang yang sengaja ngasih banyak minyak wangi untuk menutupi bau busuk.
Nggak wajar banget, kan?
Orang tua Bella bilang nggak tau apa-apa. Mereka nemuin tubuh Bella sudah kayak gitu pas pagi hari, berniat mau bangunin Bella biar dia nggak telat berangkat ke sekolah. Nggak ada kejanggalan waktu mereka dimintai keterangan oleh polisi. Papa dan Mama Bella bicara jujur dan kayaknya memang benar-benar nggak tau apa yang terjadi sama putrinya itu.
Semuanya masih tanda tanya.
Apa Bella beneran bunuh diri buat nyusul Marcel? Kayaknya nggak, deh. Nggak mungkin cewek kayak Bella ngelakuin hal konyol kayak gitu.
Lalu kenapa? Apa motifnya?
Apa mungkin Bella dibunuh? Aku lebih setuju sama yang satu ini, sih. Tapi siapa? Siapa yang tega ngebunuh Bella?
Kenapa?
Kapan?
Aku nggak ngerti. Kapan waktu kematian Bella yang sebenarnya?
Hasil forensik bilang, Bella sudah meninggal sejak sekitar dua atau tiga minggu yang lalu
Sumpah, aku bener-bener nggak ngerti lagi.
Nggak mungkin Bella mati dua minggu lalu. Nggak mungkin. Nggak mungkin.
Dua minggu lalu itu... aku masih belum naruh surat ke lokernya Rio. Aku belum kenalan sama dia. Nggak mungkin Bella sudah mati waktu itu. Toh, beberapa hari lalu aku lihat dia si sekolah, pakai seragam kayak murid biasa. Kami juga sempat ngobrol, ke kafe bareng, ketawa bareng. Kemarin pun aku sama dia duduk bareng di samping lapangan basket, nungguin Liam yang lagi latihan ekskul.
Aku yakin banget waktu itu Bella masih hidup.
Kalau beneran Bella sudah mati dua minggu yang lalu, terus yang ngobrol denganku kemarin itu... siapa?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer