31. Pendosa

39 10 3
                                    

“Berhentiiii!!”

Aku berlari tanpa pikir panjang, ngikutin kemauan kakiku sendiri yang nekat menerjang ke depan. Terik matahari membakar kulitku, keringatku jatuh, bersamaan dengan rambutku yang beterbangan terbawa angin. Kebuka lebar-lebar kedua telapak tanganku, bersiap untuk mendorong siapa pun yang mendekat.

Di hadapanku, Rio sama Liam lagi berantem. Pukulan demi pukulan melayang secara bergantian, Suara hantaman nggak kunjung berhenti. Dari pipi kanan ke pipi kiri, perut dan kulit lengan yang membiru, bibir yang sobek, ngeluarin darah.

Aku nggak mau. Aku nggak bisa ngebiarin pertengkaran ini lebih lama lagi.

Kenapa, sih?!

“Makan tuh, Top MVP.” Rio ketawa. Ada lebam di ujung bibirnya, tapi hal itu nggak bisa ngehentiin dia buat tersenyum lebar. “Udah lo akuin aja. Gue tuh lebih populer daripada elo!”

Liamnggak terima, keningnya mengerut lebih dalam, emosi terlihat berapi-api dari sudaut matanya yang bercahaya. “Bacot, anak baru.” Cowok itu mengepalkan tangannya di depan dada, siap melancarkan serangan selanjutnya. “Lo itu bukan siapa-siapa!”

Kupercepat langkahku, berlari sampai aku nggak bisa ngerasain kakiku lagi. Seharusnya aku ke sini sejak tadi. Aku nggak nyangka banget. Kupikir mereka berdua cuma ngobrol-ngobrol biasa di rooftop ini, obrolan antar cowok, entah tentang olahraga, film, atau mainan yang mereka sukai. Mungkin mereka juga bakal merokok sedikit karena aku tau Rio bawa sekotak rokok di sakunya. Tapi, bukan ini yang aku harapin.

Setelah lama di parkiran, aku yang sudah bosan nunggu akhirnya mutusin buat nyamperin Rio disini, ngajak dia pulang bareng kayak yang sudah kami janjiin sebelumnya. Sayang, pas aku sudah sampai di tempat mereka ngobrol, yang kulihat bukannya Rio sama Liam yang akrab satu sama lain, tapi malah dua cowok yang saling beradu fisik, menghantam membabi buta kayak hewan liar yang nggak terkendali.

“Murid baru tolol!”

“Top MVP idiot!”

Kupikir aku bakal terlambat. Pukulan Liam sudah melayang di udara, melesat cepat kayak kereta api di tengah malam. Rio juga sama. Piukulan cowok itu mengarah ke perut Liam, tinggal beberapa senti sebelum kepalan tangan itu tepat mengenai sasaran.

Sebelum hal itu terjadi, aku lebih dulu berhasil menghentikan mereka.

Dengan kedua tanganku, kudorong tubuh Rio menjauh. Cowok itu kehilangan keseimbangan, lalu jatuh tersungkur ke sisi rooftop.

“Kirana anjing, Apaan sih lo?!” Rio seketika ngeluapin emosinya padaku. Matanya melotot, dan bisa kurasain diriku sendiri mulai terintimidasi di bawah bayang-bayangnya. “Ganggu aja lo, sialan!”

Kucoba hirauin apa yang Rio bilang. Lalu kutatap Liam yang masih berdiri di tempatnya yang semula. “Udah, berhenti!” seruku, sambil menahan tangis.

Liam nurunin kepalan tangannya. Di buku-buku jarinya ada bercak merah, bekas darah yang keluar dari bibir Rio. “Cowok sok keren kayak dia ini emang harus dikasih pelajaran, Ran.”

Rio ketawa. “Lo cuma ngerasa iri, kan? Gue lebih populer daripada lo.”

“Ngaca. Lo bisa populer tuh gara-gara lo itu murid baru. Beda level sama gue.” Liam terkekeh, mandang rendah Rio. “Gue udah latihan basket tiap hari. Pagi, siang, sore, malam. Sepulang sekolah, terus juga Sabtu-Minggu. Nggak berhenti sama sekali. Sampai akhirnya gue jadi top MVP, three point shooter yang udah berhasil bawa piala buat sekolah ini. Kepopuleran gue abadi, Yo. Nggak kayak elo yang cuma modal gelar ‘murid baru’ doang!”

Mata Liam ketemu sama mataku. Tatapannya nggak seagresif kayak waktu ngomong sama Rio, tapi tetap saja kelihatan tajam dan tegas banget. “Kirana, mending lo nggak usah deket-deket lagi sama cowok ini, deh.” Ujung telunjuknya mengarah ke Rio. “Lo liat sendiri kan perlakuan dia ke elo tadi gimana.”

Aku nggak tau mau ngasih respons kayak giman. Emang benar kalau barusan kata-kata Rio itu nggak enak banget. Dia nyebut aku ‘anjing’ sama ‘sialan’. Awalnya sih aku berusaha buat nggak merhatiin, dan lebih milih buat pura-pura nggak tau. Rio bilang gitu mungkin karena lagi emosi banget aja, makanya dia jadi kasat. Tapi....

“Percuma, Ran. Lo itu nggak ada artinya di mata Rio. Dia baca surat lo dan ngajak lo pulang bareng itu karena dia iri sama Marcel yang bisa jalan sama Amel.”

“Banyak omong, lo!” Rio berusaha bangkit. Aku sudah berusaha menahan pundaknya biar dia lebih tenang, tapi percuma. Cowok itu malah dorong aku, keras banget sampai aku hampir terjungkal.

Aku tau dari awal aku emang nggak punya kesempatan buat berhubungan sama Rio. Dunia kami beda. Rio itu kayak kembang api besar yang meledak di angkasa pas malam tahun baru, beda banget kayak aku, petasan kecil yang sama sekali nggak meriah, nggak ramai, dan nggak bisa menarik perhatian orang-orang.

Rio nggak mungkin suka sama aku, dan sejak awal aku emang nggak tertarik sama dia. Aku cuma manfaatin cowok itu biar aku bisa jadi populer.

Walaupun agak sempoyongan, Rio akhirnya bisa berdiri lagi, menghadap Liam dengan tatapan yang seolah bilang ‘ini semua belum berakhir’.

“Kapan sih lo sadar, Yam? Semua latihan basket lo selama ini sia-sia.” Rio terkekeh. “Lo yang main basket cuma gara-gara pengen populer, kalah lo sama gue. Liat aja buktinya. Di loker, loker siapa yang paling banyak suratnya? Terus waktu di kantin. Siapa yang lebih sering dibicarain? Siapa yang lebih sering dilirik? Siapa yang sering disapa dan disenyumin? Gueeeee!!”

Tawa Rio terdengar menggelegar, kayak awan badai yang bergemuruh di musim hujan. Burung-burung beterbangan, bersamaan dengan matahari yang mulai turun di sebelah barat.

Liam jelas nggak bisa terima begitu saja. Kalau Liam benar-benar main basket cuma biar bisa populer, maka rasanya wajar saja kalau cowok itu benci banget sama Rio. Liam yang dulu populer banget di kalangan cewek-cewek maupun cowok-cowok, sekarang sudah nggak sepopuler itu sejak Rio pindah ke sekolah ini.

Lagi-lagi... tentang popularitas.

Kenapa sih orang-orang pengen banget jadi populer? Bahkan sampai berantem kayak begini.

Sumpah, aku nggak ngerti.

“Popularitas, popularitas... bullshit!”

Bukan aku yang bilang kayak gitu.  Bukan Rio. Bukan Liam juga. Itu suara cewek. Aku kenal suaranya. Dari balik pintu yang menghubungkan rooftop dan lantai di bawahnya, ada suara kaki yang melangkah.

Nggak salah lagi, itu Bella.

“Kalian ini bodoh banget, ya.” Bella yang muncul dari balik pintu, berjalan mendekati kami. “Suka banget bahas hal yang nggak penting kayak gini.”

Ada semacam pisau kecil di tangannya. Awalnya aku nggak yakin karena jaraknya yang lumayan jauh dan sinar matahari yang menyilaukan . Tapi, setelah dia berada cukup dekat di hadapan kami, pisau di genggamannya itu semakin terlihat jelas.

“Marcel bakal bunuh diri malam ini. Kalau kalian nggak bisa nyari tau apa penyebab dan gimana solusinya, akan kubunuh kalian semua di sini.”

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang