29

31 11 4
                                    

Ada beberapa bubuk tepung yang masih tertinggal di poniku. Mungkin bakal lebih gampang kalau kulepas dan kukibas-kibasin sampai tepung-tepung itu terbang semua. Walaupun begitu, aku tetap milih pilihan kedua. Kubasahin lagi sedikit jariku, lalu kususur lembut bagian-bagian rambutku yang masih memutih itu sampai bersih. Kurang dari lima menit, aku sudah keluar dari kamar mandi.

Rio, Liam, sama Marcel sudah nunggu di depan. Wajah mereka sudah bersih, sama sekali nggak mirip bolu atau bayi dibedakin kayak beberapa menit yang lalu.

Aku pengen segera ngehampirin mereka. Tapi, aku nggak sengaja lihat Profesor yang kelihatan lagi teleponan di dapur.

“Aku percayakan semuanya padamu, Freya. Kalau kondisinya semakin parah, coba berikan obat yang dosisnya lebih tinggi.”

Aku nggak bermaksud menguping, tapi aku membuka telinga cukup lebar. Rasa penasaran bikin kakiku bergerak lebih dekat, sampai-sampai aku nggak sadar kepalaku sudah hampir menempel di dinding.

“Kalau begitu, titip salam ke dokter Victor. Aku tunggu perkembangannya.”

Profesor ngejauhin ponsel itu dari telinganya, nekan beberapa tombol sampai layar benda pipih itu mati, lalu menyimpannya di saku celana.  Pria itu berjalan mendekati dispenser. Air segar keluar dari kran, menuhin gelas di tangan profesor sampai penuh.

Menguping itu nggak baik, Kirana. Aku tau itu. Aku pengen pergi dari sini dan ngumpul lagi bareng teman-teman yang lainnya. Tapi, ada satu lagi yang narik perhatianku.

Dari ruang tengah, Bella berjalan ke dapur. Langkahnya pelan dan berhati-hati karena dia membawa nampan yang berisi teko sama gelas bekas kami minum sebelumnya. Kayaknya dia nggak sadar sama keberadaanku di sini. Cewek itu terlalu fokus, menunduk, menjaga barang bawaannya biar nggak jatuh.

Aku pengen bantu dia. Mungkin bantu bawain beberapa gelas, atau cuma tekonya doang. Apa perlu? Kurasa nggak. Bella sudah sampai di dapur. Cewek itu nggak butuh bantuanku. Dia naruh teko dan gelas-gelas kotor itu di rak cuci piring, lalu ngehampirin profesor yang lagi minum nggak jauh di sebelahnya.

“Kalian sudah mau pulang?” Profesor tanya begitu.

Bella mengangguk. Satu anggukan yang tegas. Kupikir dia mau pamit dan berterima kasih karena profesor sudah ngizinin kami untuk masuk, tapi ternyata nggak.

“Prof, ada yang mau aku bicarain.” Tatapan Bella terlihat serius. Dia berdiri tegak, menghadap profesor. “Ini tentang Marcel.”

 Walaupun Bella kelihatan nggak main-main, profesor tetap kelihatan santai. “Lagi?” dia bilang. “Tentang Marcel... yang bakal bunuh diri?”

Kudekatin kepalaku ke dinding, kubuka telinga lebar-lebar. Aku nggak bisa lihat atau dengar dengan jelas apa yang mereka bicarain. Aku cuma bisa dengar samar-samar, lihat dikit-dikit, sambil sesekali menyembunyikan diri.

“Malam ini, Marcel bakal bunuh diri.” Nggak ada getaran ragu dalam suara Bella. Cewek itu bilang gitu dengan penuh keyakinan. “Kalau profesor nggak dengerin aku, profesor sendiri yang bakal nyesel.”

Sumpah, aku sama sekali nggak ngerti sama apa yang mereka bicarain. Marcel? Bunuh diri? Aku ingat Bella pernah ngomong kayak gitu sebelumnya, waktu dia ngajak aku, Rio, sama Liam buat datang ke acara mainnya ini. Alasannya sih karena dia ngerasa kalau Marcel itu jadi sedikit pendiam dan kelihatan badmood akhir-akhir ini. Lalu, kenapa sekarang....

Apa yang kami lakuin malam ini belum cukup?

Aku yakin kami semua sudah bersenang-senang. Main kartu, makan camilan, nonton TV, bercanda. Kulihat Marcel beberapa kali ketawa waktu ada yang kalah dan nerima coretan tepung di wajah mereka. Waktu ngomongin film yang tayang di TV itu dia kayak juga semangat banget.

Marcel lebih baikan sekarang. Aku yakin begitu. Dia seharusnya nggak sakit hati.

Kamu seharusnya nggak perlu khawatir sampai kayak gitu, Bel.

Bilang kalau Marcel malam ini bakal bunuh diri, apa lagi ke profesor yang sudah menganggap Marcel kayak anak kandungnya sendiri.

Kalau aku sih, aku nggak mungkin ngelakuin hal yang kayak gitu. Kasihan Profesor kalau nantinya dia jadi paranoid dan ikut khawatir sendiri. Sebagai seorang pengajar di universitas ternama, aku yakin profesor punya pekerjaan dan tanggung jawab yang berat. Bella nggak seharusnya nambah bebannya dengan bilang begitu.

Untungnya, Profesor kelihatannya bisa menanggapi Bella dengan kepala dingin. Dia nggak terlalu ngedengerin, dan mungkin menganggap apa yang dibilang Bella itu cuma sekadar bercanda doang.

“Ini sudah malam, Bella.” Profesor menaruh gelas bekas minumnya ke atas meja, lalu menghela napas. “Samapi kapan kamu mau bermain-main seperti itu?”

Kayak air yang mendidih, emosi Bella perlahan meluap. Kulihat tangannya mengepal, gemetaran di samping pinggangnya. “Aku nggak main-main, Prof. Ini beneran. Marcel bakal bunuh diri malam ini. Gantung diri di kamarnya.”

Profesor tertegun. “Sudah. Jangan bercanda seperti itu,” katanya. “Ucapan itu doa. Apa kamu mau Marcel benar-benar meninggal seperti yang kamu bilang?”

“Aku nggak mau. Karena itu aku datang ke sini!” Bella menjambak rambutnya sendiri. Beberapa mulai rontok, jatuh berserakan di ubin putih dapur. “Aku datang jauh-jauh ke sini, mengulang lagi, lagi, dan lagi, kubunuh Mama berkali-kali. Apa profesor tau gimana rasanya?!”

Napas Bella mulai tersengal-sengal. Wajahnya memerah. Profesor berusaha nenangin dia, tapi rasanya percuma.

“Aku ke sini bukan untuk main-main!”

“B-bella....” Bukan cuma aku, Profesor juga kayaknya bingung banget. Terlihat dari raut wajah dan tangannya yang gemetaran, nggak tau harus ngapain lagi untuk nenangin cewek yang menangis di hadapannya itu.

 “Berisik!” Bella menepis telapak tangan profesor yang pengen ngerangkul pundaknya. “Bella, Bella, Bella, Bella, Bella, Bella, Bella, Bella. Aku capek pake nama itu! Aku muak. Mamaaaaa....”

 Bulu kudukku berdiri. Angin malam dan tetesan air yang jatuh dari rambut membuat tubuhku membeku. Apa ini? Apa yang terjadi? Rasanya kayak lompat ke bab pertengahan suatu buku tanpa baca bab satu dan dua. Aku sama sekali nggak punya petunjuk kenapa Bella bisa begitu, apa maksud ucapannya, tangisannya. Apa yang Bella tau, dan apa yang aku nggak tau.

Mungkin memang nggak seharusnya aku nguping pembicaraan ini. Bodoh. Sumpah, bodoh banget. Seharusnya habis dari kamar mandi tadi, aku langsung saja ke depan. Ngumpul, ngobrol, bercanda bareng Rio sama cowok-cowok lainnya.

Sekarang, semuanya sudah terlambat.

“Aku gagal lagi, Ma.” Bella menunduk, terisak di bawah poni rambutnya yang berantakan. “Maaf.”

“Bella, sebaiknya kamu segera pulang.” Suara profesor terdengar lirih, cenderung kayak lagi berhati-hati, seolah nggak mau salah bicara dan malah membuat Bella lebih histeris lagi. “Ini sudah malam, dan besok kamu harus bangun pagi ke sekolah, kan?”

Kupikir Bella bakal mengangguk kayak anak kecil yang patuh waktu dengar pertanyaan profesor itu, tapi ternya malah kebalikannya.

Bella menggeleng. “Nggak,” katanya. “Kalau Marcel mati lagi malam ini, aku nggak bakal datang ke sekolah besok.”

Lagi-lagi tentang Marcel dan bunuh dirinya itu?

“Aku nggak bisa ngebiarin Marcel mati. Tugasku di sini cuma untuk nyelamatin dia. Kalau pada akhirnya Marcel tetap bunuh diri, aku harus mengulanginya lagi dari awal. Aku harus kembali lagi ke masa lalu, membunuh Mama, lagi, lagi, lagi, lagi. Apa pun yang terjadi, Marcel nggak boleh mati.”

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang