Pesta kecil-kecilan ini bisa dibilang cukup sukses, kurasa. Walaupun awalnya kerasa cukup panas dan canggung karena Marcel nggak ngizinin kami masuk, tapi pada akhirnya kami bisa tertawa lepas waktu Liam pertama kali kalah dan nerima coretan tepung yang panjang di jidat sama hidungnya.
“Mampus lo!” Kali ini Liam yang ketawa puas, melihat Rio yang pasrah dengan kartu-kartu yang masih tersisa di tangannya. Dia buru-buru nyolek tepung terigu yang ada di plastik, lalu ngusapin bubuk putih itu tepat ke pipi sebelah kanan Rio.
Aku, Bella, sama Marcel juga ngelakuin hal yang sama, hanya saja di tempat yang berbeda. Aku di pipi sebelah kiri, Bella di atas alis, terus Marcel di pipi kanan, di bawah garis putih yang sudah diberikan Liam tadi.
Wajah Rio mengerut karena kesal, tapi hal itu nggak bisa bikin kami berhenti tertawa.
“Kapan lagi sih, lo bisa lihat cowok paling populer di sekolah cosplay jadi bolu begini.”
Liam ketawa. Rio makin nggak terima. Cowok itu mengejek balik, “Ngaca,” serunya. “Elo tuh kayak bayi habis dibedakin.”
“Coba lo ke sekolah kayak tepung kayak gitu juga, masih bisa populer nggak lo?”
“Mau coba?” Rio menantang sambil mengacak lagi kartu-kartunya. “Gue yakin sih gue bakal tetap populer, ya. Malah kalau gue dandan kayak gini ke sekolah, kayaknya gue bakal lebih populer lagi, deh. Cewek-cewek tuh suka yang lucu-lucu, tau. Bener nggak, Ran?”
Habis dengar namaku yang disebut secara tiba-tiba begitu, aku jadi bingung sendiri. Aku nggak tau mau jawab gimana dan cuma bisa senyum-senyum sambil ngangguk doang.
Melihatku yang menyetujui apa yang dibilang Rio, Liam berdecih, mutar bola mata malasnya. “Populer, populer, tai kucing! Udah cepetan sini bagiin kartu-kartunya.”
Babak selanjutnya jadi mimpi buruk buat Bella. Kartu cewek itu jelek-jelek semua, nggak ada wildcard-nya sama sekali. Dia kalah di babak ini, dan dengan terpaksa harus nerima beberapa coretan tepung di wajahnya.
Karena kali ini Bella yang kalah, jadi nggak ada pertengkaran dan saling ejek yang terjadi.
Sudah hampir dua jam sejak pertama kali Liam kalah, Gelak tawa yang menuhin ruangan perlahan menurun, berubah jadi hening panjang yang cukup bikin bosan. Sudah banyak candaan yang kami lontarin. Banyak topik yang sudah kami bahas juga, mulai dari gosip-gosip di sekolah, tugas dan PR untuk minggu depan, sampai beberapa tips percintaan untuk Marcel.
Rasanya sekarang kami sudah kehabisan topik. Bella kelihatannya sadar akan hal itu. Dia meraih remot yang ada di meja, lalu ngehidupin TV besar untuk menghidupkan kembali suasana.
Reincarnate. Aku pernah lihat film ini beberapa kali di tv. Tergolong film lama, tapi cukup bagus dan masih layak untuk ditonton untuk saat ini. Premisnya simpel. Tentang seorang pria yang dibunuh, lalu bereinkarnasi jadi asisten polisi untuk menemukan pembunuhnya yang belum tertangkap di masa lalu.
Bella nggak mengganti chanel TV-nya ke saluran lain. Entah karena dia terpukau sama aksi yang lagi ditayangin di layar, atau cuma gara-gara dia bingung nggak ada acara lain yang lebih bagus.
“Ah, gue tau film ini,” Rio tiba-tiba berseru kayak gitu. “Gue tau nih siapa pembunuhnya. Lo semua mau gue spoilerin?”
“Nggak perlu.” Liam keliatan ketus. “Gue juga udah tau, kali.”
“Eh, tapi menurut lo ada nggak sih, orang yang bisa reinkarnasi beneran?”
Liam seketika nyemburin tawa. “Lo ngapain sih tanya begituan, Yo. Tolol banget. Mana ada yang namanya reinkarnasi.”
“Itu kan cuma film, Yo,” aku nambahin gitu, sambil menahan tawa. Entah kenapa Rio kelihatan kayak anak kecil banget di sini. Dengan wajahnya yang penuh tepung terigu itu, dan juga bibir cemberutnya yang sedikit maju ke depan.
Aku sendiri juga sama sekali nggak percaya dengan yang begituan. Dulu waktu masih kecil mungkin aku masih bisa percaya, tapi sekarang nggak. Aku bukan anak kecil lagi, dan aku nggak bisa terus-terusan bermimpi.
“Reinkarnasi itu... ada.”
Untuk sesaat, aku nggak yakin sama apa yang barusan aku dengar. Marcel...? Marcel bilang apa?
“Mungkin ‘reinkarnasi’ bukan kata yang tepat. Tapi, aku yakin reinkarnasi itu bisa dilakuin.”
Mendadak nggak ada suara yang terdengar, cuma bunyi TV yang terus nampilin adegan-adegan dalam film. Semuanya melongo, natap Marcel dengan kedua bola mata yang terbuka lebar, seolah nggak percaya.
Sumpah, ini Marcel beneran yang bilang begitu? Marcel yang terkenal kutu buku dan pinter banget itu?
“Transfer memori. Mindahin ingatan. Mungkin itu istilah yang lebih tepat.” Senyum melebar di bibir Marcel, nampilin deretan giginya yang sedikit menguning karena bumbu camilan. “Kalian pernah ngebayangin nggak... hipokampus. Sistem limbik. Lobus temporal.”
Aku nggak ngerti apa yang Marcel bilang.
“Pada dasarnya, ingatan itu bagian dari otak.” Dia bilang begitu dengan penuh percaya diri. “Bayangin aja, aku mindahin otakku ke seorang bayi. Secara teknis, ingatanku bakal ikut pindah dan menetap di kepala bayi itu, kan? Begitu juga dengan kesadaranku. Jiwaku. Mirip kayak reinkarnasi, kan?”
Tentu saja, hal itu nggak mungkin dilakuin. Marcel ngejelasin, kapasitas otak bayi dan manusia dewasa itu jauh berbeda. Walaupun secara teori itu hal yang mungkin buat dilakuin, tapi dalam kenyataannya nggak segampang itu. Lagi pula, rasanya jahat banget kalau bayi sampai ngorbanin bayi nggak berdosa kayak gitu. Nggak berperikemanusiaan.
“Kalau begitu, gimana kalau kalian berdua?” Marcel melirik Bella, lalu berganti ke arahku. “Kalian berdua kan sama-sama cewek remaja. Kamu, Bella, mindahin otak kamu ke kepala Kirana. Lalu kamu, Kirana, mindahin otak kamu ke kepala Bella. Tubuh Bella punya ingatan Kirana, dan tubuh Kirana punya ingatan Bella.”
“Bertukar tubuh? Eh... bertukar pikiran?” Liam membanting kartunya ke lantai, lalu merintih frustrasi. “Ahh, setan lo, Cel. Gue ke sini buat main, bukan buat lo bikin pusing begini.”
Rio juga keliatan sama bingungnya. “Udah, udah. Lanjut main kartu ajalah. Ngapain sih bahas yang begituan?!”
Aku setuju sama mereka. Rasanya nggak enak banget ngomongin otak-otak begitu, bikin eneg.
Kutuang sisa air jeruk yang tinggal setengah teko itu ke dalam gelasku. Rasa dingin menyentuh bibirku waktu aku meminumnya. Rasanya sudah nggak semanis tadi karena es batu di dalamnya sudah meleleh, tapi aku cukup bersyukur karena bisa minum dan menyegarkan kembali pencernaanku.
Waktu aku selesai minum, aku nggak sengaja ngelirik Bella.
Cewek itu merhatiin Marcel lekat banget, nggak berkedip sama sekali. Tatapannya tajam dan terkesan serius, kayak kucing jalanan yang merasa terganggu pas ada kucing lain yang masuk ke wilayah kekuasaannya.
Apa Bella masih kepikiran sama apa yang dibilang Marcel tadi?
Tentang reinkarnasi, transfer ingatan, sama mindahin otak itu?
Aku tau itu semua memang bikin pusing dan susah diterima akal sehat. Tapi, kayaknya Bella terlalu serius mikirin itu, deh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer