“Aku bilangin ya, Kirana. Jangan pernah bahas kasus sialan itu di depan Marcel. Jangan pernah!”
Aku tertegun untuk beberapaa saat. Seluruh tubuhku kayak mati rasa. Suara Bella yang melengking dan penuh emosi itu terderu berputar di dalam kepalaku, begitu juga dengan tatapannya yang nggak bisa aku hindarin.
“Bel!” Marcel berdiri dari mejanya. Dia terlihat sedikit panik waktu Bella mendorongku dengan agresif. Kupikir cowok kutu buku itu mau melerai, tapi sayangnya pergerakannya terhalang sama meja besar di hadapannya. “Udah, Bel. Biarin. Lepasin.”
Kalau Marcel bilang begitu, Apa itu artinya dia mau berbagi informasi denganku?
Apa cowok kutu buku itu nggak keberatan kalau aku tanya-tanya tentang kasus kematian ayahnya?
Bella mungkin terlalu berlebihan. Aku tau Bella nggak mau aku bahas kasus itu di depan Marcel biar temannya itu nggak merasa sedih dan teringat lagi tentang kejadian tragis yang menimpa ayahnya. Tapi dari yang kulihat, Marcel sendiri kayaknya nggak keberatan. Dia nyuruh Bella buat ngelepasin aku, dan kayaknya dia juga nggak terlalu marah waktu aku pertama kali buka topik tentang kasus itu.
“Nggak boleh!” Bella bersikeras. Dia narik tanganku seolah nyuruh aku untuk berdiri, lalu membawaku ke sudut rak yang jauh dari penglihatan Marcel.
Kupikir Bella bakalan ngamuk di sana Kayak apa yang dilakuin cewek populer ke cewek non-populer di film-film yang pernah aku tonton, Bella bisa aja mukulin aku, jambak rambutku, marah-marah, teriak-teriak sampai aku nangis dan jatuh nggak berdaya di lantai perpus. Untungnya, Bella nggak begitu.
Cewek itu ngasih tau aku. Dengan air mata yang tertahan di kelopak matanya, dia bercerita.
Beberapa hari yang lalu Bella nggak sengaja nemuin Marcel yang berniat bunuh diri. Bella yang waktu itu mau ke rumah Marcel dan ngajak dia main, ngerasain sesuatu yang aneh. Setelah beberapa kali Bella mengetuk, Marcel lama nggak ngebukain pintu. Di mata Bella, rumah itu kelihatan kosong banget, kayak nggak ada siapa-siapa di dalamnya.
Bella lalu teringat beberapa trik yang dulu pernah diajarin Marcel waktu mereka masih kecil. Ada jendela yang kuncinya sudah longgar, letaknya pun cukup rendah untuk dipanjat. Marcel dulu sering keluar masuk lewat sana waktu dulu mereka berdua main kejar-kejaran. Cukup menekan sudutnya sedikit, lalu diangkat, jendela itu pun bisa terbuka dengan gampang. Dengan cara yang sama, Bella masuk.
Bella bilang, rumah itu dalamnya gelap banget. Kalau bukan karena sinar matahari yang lewat dari sela-sela jendela yang Bella buka, mungkin cewek itu nggak bisa lihat apa-apa. Baunya pun apek, debu-debu terlihat menumpuk tipis di perabotan. Sudah beberapa hari sejak pemakaman profesor, mungkin rumahnya belum disapu atau dibersihkan sejak hari itu.
“Marcel!” Bella berusaha memanggil, neriakin nama sahabatnya itu, tapi nggak ada yang jawab. Sunyi banget..
Setelah beberapa kali teriak dan berkeliling, Bella akhirnya nemuin keberadaan Marcel di dapur. Cowok itu megang pisau di tangannya, tatapannya kosong, natap wajan penggorengan dan beberapa potongan sosis yang hampir gosong di dalamnya.
Marcel mau bunuh diri? Mungkin nggak, tapi ngelihat Marcel melamun kayak gitu tentu saja nunjukin kalau cowok itu lagi banyak pikiran.
Kematian ayahnya, interogasi polisi, sekumpulan wartawan pencari berita yang datang ke rumah Marcel dan maksa mewawancarai cowok itu. Kelanjutan sekolahnya, cara dia menuhin kebutuhan harian dia setelah ini. Banyak pikiran kayak gitu pasti bikin stres, dan tentu itu sama sekali bukan hal yang bagus. Bella nggak mau itu terjadi pada sahabatnya, apalagi kalau rasa sedih dan beban pikirannya itu sampai-sampai membuat Marcel ngelakuin hal-hal nekat.
Setelah Bella cerita begitu, rasanya wajar saja kalau Bella khawatir sama Marcel. Mau gimanapun, mereka sahabat dekat yang sudah kenal satu sama lain sejak kecil.
“Marcel tuh dari luarnya aja kelihatan cuek, tapi di dalamnya... rapuh.”
Aku mengerti. Seenggaknya untuk saat ini, di depan Bella, aku berusaha untuk ngerti tentang apa yang cewek itu khawatirkan.
“Udah aku bilang, kan. Waktu itu aku cuma ngelamun doang,” Marcel bilang kayak gitu waktu aku sama Bella kembali duduk ke meja semula. “Nggak usah bikin cerita aneh-aneh, deh. Bunuh diri? Siapa juga yang mau bunuh diri?!”
Entah Marcel jujur atau nggak soal hal itu, aku sama Bella sudah buat kesepakatan. Nggak ada yang boleh bahas kasus pembunuhan itu lagi di depan Marcel. Nggak boleh. Sedikit pun nggak boleh.
“Kamu tadi mau tanya sesuatu, kan?” Walaupun Marcel sendiri yang mulai bahas hal itu, kami harus segera ngalihin pembicaraan.
“Nggak jadi,” kataku. Senyum canggung membentuk bibirku. Aku nggak mau bikin Marcel sedih, apalagi kalau sampai bunuh diri. Nggak, nggak, nggak, nggak. Aku nggak mau disalahin kalau cowok itu beneran mau bunuh diri.
“Lalu gimana rencana kita?” Dari ujung meja, Dira nanya. “Batal?”
Tentang jadi detektif dan mecahin kasus pembunuhan itu? Aku nggak tau. Aku nggak bisa nyari informasi dari Marcel, tapi mungkin aku bisa nonton lebih banyak acara berita dan berharap bisa nemu petunjuk dari sana.
“Apa itu cukup?”
Dari acara berita yang tayang di TV, dari koran-koran pagi, dari internet dan sosmed. Cukup atau nggak, aku nggak tau, tapi aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa bantu aku mecahin kasus ini.
“Kalau misalnya nggak berhasil?”
Pasti berhasil.
“Kalau nggak?”
Aku tau apa yang Dira mau bilang. Kalau aku nggak berhasil, mungkin aku akan tetap begini-begini aja, tetap jadi murid nggak populer dan dianggap sebagai cewek aneh. Tetap sendirian, sampai tubuhku makin lemah dan akhirnya mati tanpa ada satu pun teman yang mau hadir ke acara pemakamanku.
Aku tau itu, makanya sekarang aku berusaha sekuat yang aku bisa.
Kalau kasus itu tetap nggak bisa kupecahin... seenggaknya aku bisa buat satu kesimpulan dengan versiku sendiri. Satu cerita yang cocok untuk mengisi kejanggalan dan misteri tentang kasus pembunuhan itu.
Dira menghela napas. “Terserah kamu aja, deh, Ran.”
“Jadi serius nih kamu nggak jadi nanya?” Marcel natap aku dengan intens, seolah lagi berusaha meyakinkan dan nyuruh aku biar nggak usah ragu. “Kalau mau tanya, tanya aja. Aku bakal ceritain, kok.”
Kulirik Bella. Cewek itu juga melirikku dengan tajam, kayak bilang ‘nggak. Nggak boleh’.
Aku ngerti, jadi aku menggeleng. “Nggak perlu,” kataku. Walaupun aku masih pengen populer dengan cara mecahin kasus itu, tapi untuk saat ini aku nggak mau bahas hal itu lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Popularishit [END]
Teen FictionWarning! Beberapa bagian cerita mungkin mengandung kata-kata kasar, adegan dewasa, dan isu-isu yang sensitif. Sangat tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun. *** Aku cuma ingin jadi populer