39

20 11 6
                                    

“Kamu nguping, ya?!”

Aku nggak tau kenapa Bella bisa nyadarin keberadaanku di sini. Padahal kupikir aku sudah sembunyi dan sama sekali nggak berada dalam jarak pandang mereka. Di balik rak buku yang tinggi ini, aku juga sudah berpura-pura membaca selayaknya murid kutu buku biasa, Kubuka-buka halaman buku, kugerakin bola mataku seolah fokus lagi baca paragraf-paragraf panjang yang tertulis di sana. Sama sekali nggak mencurigakan, kan?

Gimana caranya cewek bernama Bella ini tau kalau aku dari tadi nguping obrolan mereka?

“A-aku... nggak nguping, kok.”

Bella terus natap aku, jelas dia masih curiga. “Kamu mau apa, sih?!”

Seketika aku langsung menunduk. Napas panjang keluar dengan sendirinya, bersamaan dengan rasa percaya diriku yang memudar. Aku sudah ketahuan mengintip, menguping, dan sekarang kupikir bella sudah tau kalau aku berbohong.

“Maaf.” Cuma itu yang bisa aku katakan. Malu banget, sumpah. Semoga aja Bella sama Marcel nggak nganggap aku kayak orang aneh, stalker nggak, atau cewek-cewek tukang gosip yang suka nyebarin rahasia orang. Aku minta maaf sambil sedikit membungkuk, nunjukin kalau aku benar-benar tulus dan  nyesal banget sama kelakuanku.

Bella masih terus natap aku dengan intens. Sorot matanya tajam dan tanpa ampun, seolah bilang kalau dia nggak bakal maafin aku entah gimanapun caraku minta maaf.

“Sudahlah, Bel.” Dalam tundukan penuh penyesalan itu, kudengar Marcel menengahi. “Biarin aja. Kasihan dia tadi habis jatuh terus ketiban buku.”

Eh? Jadi dia sadar waktu tadi aku pura-pura jatuh buat narik perhatian dia?

“Beneran?” Cemberut di wajah Bella menghilang, digantiin sama senyum geli menahan tawa. “Dia jatuh terus ketiban buku di mana? Di sini?”

Marcel mengangguk.

Bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh banget!

Marcel mulai cerita ke Bella tentang aku yang kesulitan ngambil buku di rak paling atas, lalu hilang keseimbangan waktu menjinjit, sampai jatuh terduduk dan tertimpa buku. Bella ketawa waktu dengar itu semua.

“Terus nggak kamu tolongin?” cewek itu tanya ke Marcel, tapi kurasa dia sudah tau jawabannya. “Jahat banget sih kamu, Cel. Kenapa nggak kamu tolongin, coba?”

“Males.”

Bella berdecih, lalu malah minta maaf balik ke aku. “Maaf, ya,” katanya. “Nih cowok emang kayak kulkas. Dingin. Eh tapi sebenarnya dia baik kok. Maafin dia, ya.”

Kuberi senyum kecil sebagai jawaban. Bella, sesuai sama reputasinya, dia emang kelihatan kayak cewek yang friendly banget. Sedikit cerewet dan banyak omong, kurasa. Suaranya agak cempreng, tapi tetap terdengar ramah. Nggak heran kalau dia bisa populer dan punya banyak teman.

Kuberaniin diriku untuk melangkah, lebih dekat ke meja tempat mereka berdua ngobrol. Sebelumnya aku pengen kenalan sama Marcel, tapi sekarang aku juga pengen temanan sama Bella.

“Nggak apa-apa, kok,” aku bilang gitu sambil ngusap-ngusap bagian kepalaku yang habis kejatuhan buku. “Udah nggak terlalu sakit juga.”

Bella tersenyum. “Kamu ke sini sendirian?” tanyanya. “Nyari buku buat belajar atau apa?”

Aku menoleh ke belakang, ke belakang rak yang kugunain sebagai tempat persembunyian tadi. “Aku... sama Dira.”

Dira keluar dari balik rak. Senyumnya terlihat cukup percaya diri, seolah nggak merasa bersalah sama sekali waktu kami ketahuan nguping tadi. Dia juga berjalan dengan langkah yang pasti, menghampiri kamu bertiga. NIh cewek monyet emang nggak tau malu kayaknya.

Kupukul bahunya waktu dia sampai dan berdiri di sebelahku. “Minta maaf dulu, Nyet. Kamu juga ikutan nguping kan tadi!”

Dira membenarkan posisi kacamatanya yang longgar, lalu menunduk, minta maaf sesuai kayak yang kusuruh.

Bella mengernyit. Marcel juga sama. Aku nggak tau kenapa, tapi mereka kelihatan kayak orang linglung. Dua orang itu celingukan, menatap ke sebelahku, belakangku, sebelahku lagi, belakangku lagi, kayak lagi nyari sesuatu yang nggak kelihatan.

Aku nggak ngerti. Mereka ini nyari apa, sih?

“Kamu bilang, kamu ke sini sama temenmu?” Bella tanya. Kedua alis matanya terangkat. “Mana?”

Hah? Mana...? Cewek ini nggak bisa lihat apa gimana? Jelas-jelas Dira ada di sampingku sekarang.

Kudorong tubuh Dira biar dia lebih mendekat, kutunjuk cewek itu tepat di dadanya. “Ini. Aku ke sini sama cewek ini.” Suaraku mungkin terdengar keras dan sedikit ngotot, tapi aku sama sekali nggak ada niat jahat. “Ini temanku. Namanya Dira. Indira.”

Dira ngulurin tangannya ke hadapan Bella, ngajak cewek itu salaman dan berkenalan. Tapi, Bella nggak merespons sama sekali. Dia tetap natap aku dengan wajah mengerut, persis kayak anak SD yang kebingungan pas dikasih soal perkalian.

Marcel juga sama. Nggak ada satu pun dari mereka yang menyambut jabat tangan Dira. Nggak ada yang senyum. Untuk waktu yang cukup lama, kami cuma saling pandang satu sama lain. Tatapan mereka penuh pertanyaan, dan semakin lama aku berdiri di sini rasanya semakin canggung.

Kenapa sih mereka? Sumpah, aku nggak ngerti.

“Namamu... Kirana, kan?” Bella tanya gitu sambil merhatiin name tag yang terpasang di seragamku. “Kamu... nggak apa-apa?”

Bella bergeser, menyeret posisi duduknya lebih dekat ke arah dinding.

“Coba kamu duduk sini dulu,” katanya, sambil menepuk-nepuk bangku kayu, mempersilahkan aku duduk di sampingnya. “Kamu tadi habis jatuh, kan? Kebentur, nggak? Kepalamu nggak sakit?”

Walaupun aku masih nggak ngerti kenapa Bella nanya kayak gitu, tapi aku duduk sesuai kayak yang dia mau. Di belakang perpus. Satu meja besar. Rak-rak buku tinggi yang berdiri di sepanjang sisi. Buku-buku tua yang berdebu. Novel-novel yang halamannya sudah menguning. Jurnal dan album-album foto milik alumni sebelumnya. Botol teh kemasan milik Marcel yang tinggal setengah. Bungkus snack cokelat milik Bella. Aku. Dira. Apa ada yang salah?

Perpus memang tempat yang hening, tapi aku nggak nyangka rasanya bakal sesunyi ini.

“Kirana..., kamu nggak apa-apa?” Entah sudah berapa kali Bella nanya kayak gitu.

Aku nggak apa-apa. Walaupun aku tadi jatuh, tapi aku sama sekali nggak terluka. Aku sehat. Kepalaku nggak sakit. Kaki sama tanganku juga nggak sakit. Nggak ada lebam atau benjol. Aku yakin seratus persen aku nggak apa-apa.

“Kalian kenapa, sih?!” Aku nggak ngerti, deh. Lalu karena nggak ada yang mempersilakan Dira untuk duduk, aku tanya, “Dira boleh duduk di situ, nggak?” Kutunjuk sisa bangku yang ada di sebelah Marcel. Masih ada cukup tempat di sana. Kasihan kan si monyet ini kalau berdiri terus?

Kupikir Marcel langsung sadar diri dan ngasih tempat untuk Dira duduk, tapi ternyata nggak. Cowok itu masih duduk diam di tempatnya, nggak geser sama sekali.

Sumpah, parah banget nih cowok. Bella tadi bilang kalau Marcel itu emang cowok yang dingin banget, tapi masa iya dia nggak mau geser sedikit buat ngasih tempat duduk Dira, sih?!

Aku berdecih dalam hati, lalu kulirik Bella yang duduk di sebelahku, berharap cewek itu bakal bantu aku nasehatin Marcel dan nyuruh dia geser sedikit. Sayangnya, Bella juga nggak ngomong apa-apa. Dia diam, merhatiin aku dengan tatapan yang nggak bisa kumengerti.

Kenapa, sih?!

“Udah, udah, Ran.” Dira tersenyum, nyuruh aku buat lebih tenang. “Aku bisa duduk di sini kok.”

Aku pengen Dira duduk tepat di hadapanku, tapi karena si kutu buku ini nggak mau geser, akhirnya Dira duduk di sisi meja yang cukup jauh dariku, membentuk garis zig-zag. Aku, Marcel di sebelah kanan hadapanku, Bella di sebelahku, lalu Dira di sebelah kanan hadapan Bella.

Aku nggak suka ini. Walaupun kami tetap duduk di meja yang sama, tapi rasanya aku jauh banget sama Dira.

Kenapa sih si Marcel itu nggak mau geser dikit?! Nyebelin banget!

“Anu, Kirana, aku boleh nanya?” Suara Bella pelan banget, tapi tetap terdengar serius. “Dira itu... siapa?”

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang