9. Pembohong

53 13 0
                                    

“Mau... pulang bareng?”

Dira monyeeet! Bisa-bisanya dia salah naruh surat itu! Tolol banget, sumpah. Ini Marcel si kutu buku ngapain juga ngajak aku pulang bareng?!

“Maaf.” Kutundukkan kepala biar nggak kelihatan terlalu canggung di hadapan Marcel. “Aku bawa motor sendiri,” kataku.

“Begitu, ya.” Cowok itu menghela napas. “Kalau gitu, kita jalan bareng sampai parkiran aja, gimana?”

Mungkin yang satu itu aku masih bisa terima. Kami jalan beriringan kayak murid biasa pada umumnya, nggak pakai pegangan tangan dan terlalu mesra kayak yang kubayangin. Walaupun sebenarnya Marcel cukup good-looking, tapi dia terlalu pendiam. Nggak seru. Kupikir itu salah satu alasan kenapa dia nggak sepopuler Rio atau cowok-cowok lain.

Sayang banget nggak, sih? Kalau aja Marcel lebih gaul, mungkin aku bakal mau diajak pulang bareng dan kenalan lebih jauh sama dia.

“Wih, Marcel.” Di parkiran, seorang cowok bertubuh tinggi ngelambaiin tangannya untuk menyapa kami. “Jadi ini cewek yang mau kenalan sama lo? Lumayan juga.”

Aku kenal cowok itu. Dia Liam, top MVP klub basket di pertandingan antar SMA beberapa bulan lalu. Di sebelahnya ada Bella, salah satu cewek populer di sekolah yang terkenal cantik banget. Lalu... juga ada Rio, murid baru yang seharusnya nerima suratku dan kuajak kenalan di lapangan belakang.

Gila, mimpi apa aku semalam, sampai bisa ketemu murid-murid populer kayak gini di waktu yang bersamaan.

Kami sempat mengobrol sebentar. Marcel ngenalin aku ke mereka, Liam sama Rio menggodanya, bilang kalau Marcel itu pemalu banget dan jarang ngomong sama cewek. Bella nggak banyak bicara, tapi dia selalu ketawa waktu dengar jokes-jokes garing yang dilontarkan Liam dan Rio ke kami berdua.

“Jadi gimana?” Rio menatapku. “Kami bertiga mau mampir ke kafe bentar. Kalian mau ikut?”

Aku mau. Aku mau. Aku mau. Ini mungkin kesempatan yang nggak mungkin bakal aku dapatin untuk yang kedua kalinya. Tentu saja aku mau. Tanpa perlu pikir panjang, aku mengangguk untuk menjawabnya.

Marcel? Marcel tersenyum, lalu ikut mengangguk.

Fix, ini bakal jadi hari yang nggak akan pernah bisa aku lupain!

Kafe tempat mereka biasa nongkrong berada di tengah kota, dekat sama mal besar dan taman yang sudah pasti ramai banget pas lagi ada CFD atau event hari-hari spesial lainnya. Benar-benar surganya anak gaul. Aku pernah sih ke area sini sama orang tuaku, tapi kali ini rasanya beda banget.

Lima buah donat, Lima gelas jus, dan sepiring besar kentang goreng yang bisa kami nikmatin bersama. Kami duduk di dekat jendela besar. Poster Kerr Black Coffee sedikit menghalangi pandangan, tapi kami masih bisa lihat jelas pemandangan taman dan air mancur bercahaya dari tempat duduk kami.

“Lagi diet?” Bella tanya gitu waktu aku masih mengunyah donatku.

Aku menggerakkan gigiku lebih cepat, lalu segera menelannya. “Kok kamu tau?”

Cewek itu tersenyum lebar. “Donat stevia itu....” Dia menunjuk donat yang ada di genggamanku. “Cuma orang diet yang mau makan donat hambar kayak gitu.”

Dia tertawa, tapi bukan tertawa yang bernada mengejek atau merendahkan. Bukan.

Aku tau, dibanding donat coklat atau donat blueberry yang mereka pesan, donat stevia yang kumakan ini mungkin bukan pilihan yang bagus. Bella benar. Aku memang nggak mau nambah kalori lebih banyak lagi untuk hari ini. Ini masih sore, dan aku yakin aku harus makan malam lagi pas sudah di rumah.

“Apalagi kamu juga minum jus alpukat,” Bella menambahkan. “Kelihatan banget kayak orang diet.”

“Liat tuh, Kirana yang udah kurus aja rajin diet.” Liam menoleh, natap Bella dengan senyumnya yang usil. “Lo kapan? Kemarin berat badan lo naik lagi, kan?”

Bella terbelalak, nggak terima sama yang apa yang dibilang Liam. “Cuma nambah satu kilo, doang. Entar juga turun lagi hari kamis, habis pelajaran olahraga.” Dia membuka mulutnya lebar-lebar, lalu menggigit donatnya dengan kesal. Krim blueberry comot di ujung bibir cewek itu. “Lagian, ya, aku ini tipe orang yang nggak bisa gemuk walaupun makan banyak.”

Aku pengen ngasih Bella tisu buat ngebersihin wajahnya, tapi sebelum sempat sempat ngeluarin kotak tisu dari tas, Liam sudah lebih dulu mengambil tindakan.

“Lo itu kalau makan jangan sambil ngomong,” Liam bilang begitu sambil mengusap noda krim di wajah Bella pakai ujung jempol. “Kayak anak kecil aja, makan belepotan.”

“Biarin.”

Liam mendenguskan tawa, begitu juga dengan Rio dan Marcel yang ikut tertawa geli melihat kelakuan teman ceweknya itu.

Aku nggak nyangka Bella punya sifat yang sedikit kekanakan kayak gitu. Aku pernah ngintip akun Instagram-nya beberapa kali, lihat foto-foto dan video yang pernah dia post di sana. Kupikir, Bella itu sama kayak anak-anak gaul lainnya. Sombong, cerewet, egois, suka seenaknya sendiri, tapi ternyata nggak sama sekali. Bella baik banget, senyumnya tulus, nggak heran kalau dia populer dan dekat sama banyak orang.

Aku pengen jadi kayak dia.

“Ngomong-ngomong, Kirana, lo kenapa minta kenalan sama Marcel?” Rio menatapku, alisnya terangkat. “Ceritain, dong!”

“Iya, iya.” Bella juga ikut menatapku. Dia terlihat antusias banget. “Ceritain dong pendapat kamu tentang Marcel. Kenapa dia? Apa menariknya? Perasaanmu ke Marcel itu...?”

?Perasaanku?” Sumpah, aku nggak ngerti mau jawab apa.

“Suka?” Liam tersenyum kecil, seolah lagi menggodaku. “Jujur aja deh, Ran. Lo itu suka sama Marcel, kan?”

Nggak. Bukan begitu.

“Lagian, mana ada cewek yang ngajak kenalan cowok cuma karena pengen kenalan biasa doang? Nggak mungkin ada. Bener, nggak?”

Liam menoleh ke arah Rio. Murid baru itu mengedikan bahu, seolah nggak pengen berdebat.

Jadi begitu, ya. Aku baru sadar. Kehadiranku di sini, alasan kenapa mereka mau berteman denganku, ngajak aku nongkrong bareng di kafe ini, itu semua karena aku baru saja kenalan sama Marcel. Karena surat itu.

Sumpah, ini sial banget, tapi juga beruntung di waktu yang bersamaan.

Mereka ngira aku suka sama Marcel?

Beneran?

Kulirik Marcel. Cowok kutu buku itu terdiam di tempatnya. Wajahnya memerah, bibirnya pun tertutup rapat kayak orang yang lagi nahan grogi.

Aku pengen ketawa, tapi aku aku nggak bisa.

“Aku....”

Kurasa nggak ada salahnya. Aku belum nemu tipe cowok yang kusuka di sekolah. Marcel pun kayaknya juga nggak keberatan dengan keberadaanku.

Demi popularitas, Ran. Dira benar. Rencana si monyet itu mungkin sedikit salah sasaran, tapi hasilnya juga nggak buruk-buruk amat. Aku ada di sini sekarang, nongkrong sama anak-anak gaul, persis seperti yang aku pengen. Makan bareng, ngobrol, ketawa bareng. Aku suka begini.

Apa aku harus jujur dan bilang kalau semua ini cuma salah paham?

Nggak. Jangan. itu tolol banget.

Kalau aku jujur, mereka mungkin bakal ninggalin aku dan nggak nganggap aku sebagai teman lagi.

Nggak. Aku nggak mau itu.

Lagi pula, Rio sama Marcel itu nggak ada bedanya. Selama aku bisa populer dan punya banyak teman gaul yang seru-seru, aku nggak keberatan berhubungan sama siapa aja, termasuk Marcel.

Karena itu, aku membuat satu kebohongan.

Kirana Veralia suka sama Marcel Aditya sejak pertama kali dia melihatnya di perpustakaan. Cowok kutu buku misterius dengan tatapan lembut ketika membolak-balik buku. Tinggi ideal. Pintar. Aura seperti musim gugur yang menghangatkan. Satu-satunya cowok yang berhasil menarik perhatianku.

***

Popularishit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang